Aku tak tahu apakah itu dapat berlaku pada pasangan abal-abal yaitu aku dan mantan -- hmm, bahkan dalam kondisi kesakitan ini aku sudah rancu menganggap bahwa mantan adalah pasangan.
Keringat dingin mulai keluar dari tubuhku. Aku merasa sebentar lagi aku akan pingsan. Sebelum aku pingsan dan barangkali nanti akan mati tanpa ketahuan seorang manusia pun, aku nekad melakukan perbuatan bodoh keempat -- menelepon mantan untuk meminta pertolongan.
Aku terlalu lemah untuk menyadari bahwa mantanku langsung merespons panggilan ponsel pada dering yang pertama.
"Tolong aku, badanku lemah sekali. Aku perlu ke rumah sakit. Keluarga tante sedang keluar kota, aku sendirian dan..."
"Tunggu dan bertahanlah, aku akan datang dalam lima belas menit. Jangan mati dulu."
Jangan mati dulu. Lelaki macam apa yang mengatakan itu pada perempuan yang pernah ia cintai? Atau aku harus memaknai kata-kata itu sebagai frasa romantis? Entahlah -- aku sedang tidak bisa berpikir.
Aku masih ingat untuk menyeret langkahku menuju pintu ruang tamu dan membuka kuncinya. Lima belas menit lagi kalau aku benar-benar pingsan, dia tak perlu mendobrak pintu ruang tamu.
***
Bau yang kubenci menyeruak masuk ke hidungku menyadarkan aku dari pingsan. Bau obat. Bau rumah sakit.
Yang pertama kulihat dari tempatku berbaring adalah selang infus yang menghubungkan punggung tanganku dengan botol infus.
 Yang kedua -- tentu saja wajah penolongku. Bukan wajah khawatir, namun wajah jutek. Yang anehnya memberikan efek nyaman nan bahagia dalam hatiku. Dasar bucin, aku. Tuhan, maafkan aku selalu lupa bahwa dia sudah mantan.