Mohon tunggu...
Indah Novita Dewi
Indah Novita Dewi Mohon Tunggu... Penulis - Hobi menulis dan membaca.

PNS dan Penulis

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Bersuci di Titik Nol

10 Mei 2021   23:15 Diperbarui: 10 Mei 2021   23:19 972
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hanya pada yang Maha membolak-balikkan hati, kubersimpuh... (Ilustrasi: monstera/pexels).

Kompleks Mutiara Indah di pagi hari, seperti biasa sepi. Hanya ada satu sudut yang cukup ramai. Biasanya penuh kerumunan ibu-ibu, yang walau sudah ada larangan berkerumun, tetap tak mau ketinggalan ritual pagi - belanja sayur sambil bergosip.

Betul. Sudut yang ramai itu adalah tempat Mas Mukijo menjajakan dagangan sayurnya di atas mobil bak terbuka. Aneka ragam jualannya, tak cuma sayur. Ia juga membawa daging, ikan, ayam, tahu, tempe, dan bahan pangan basah lainnya. Karena itulah ia selalu dicintai ibu-ibu kompleks. Karena jualan yang lengkap, ditambah profil diri yang terkenal tidak pelit. Suka memberi diskon dan bonus.

Tapi kisah ini tak hendak bercerita tentang Mukijo, melainkan tentang salah satu ibu yang tinggal di kompleks Mutiara Indah. Rumahnya tak jauh dari tempat mangkal Mas Mukijo. Rumah bercat abu-abu, yang kini tampak lengang. Pintu dan jendela tertutup rapat. 

Bu Vanesa tampak memilih-milih kangkung dengan serius, walau dari tadi ujung ekor matanya selalu melirik rumah bercat abu-abu.

"Bu Nesa, bagaimana kabarnya Pak Sulaiman, apa sudah dilepas sama polisi?" senggol Bu Rara mengagetkan Bu Vanesa.

"Sssh, Bu Rara jangan keras-keras. Tidak enak kalau didengar Bu Sulaiman," sergah Bu Vanesa. 

Bu Rara memasang muka heran.

"Kenapa harus tidak enak segala? Dan kenapa harus bisik-bisik? Kejadian kemarin itu jelas sekali terpampang nyata. Pak Sulaiman dicokok polisi karena ketahuan sebagai teroris!"

"Husssh, Bu Rara!" Bu Vanesa berusaha mencegah Bu Rara ngomong lebih jauh lagi. Karena cuma kangkung yang ada di tangannya, ia terpaksa menyodorkan kangkung tepat di mulut Bu Rara agar tetangganya itu diam. Bu Rara jadi gelagapan, lalu misuh-misuh karena kangkung kotor itu menodai skinker sultan yang ia pakai di wajahnya. Skinker yang dibelinya atas hasil ngirit-ngirit uang belanja selama enam bulan.

"Jadi Pak Sulaiman itu benaran teroris, Bu?" Mas Mukijo ikut-ikutan kepo. "Gak nyangka ya, padahal orangnya lembut dan santun."

"Jangan mudah tertipu oleh penampilan, Mas Kijo," ucap Bu Wening yang mukanya kalem halus tapi mulutnya bisa setajam pinggiran tutup kaleng sarden. "Banyak orang berpenampilan lembut, tapi kenyataannya sadis. Pembunuh berdarah dingin."

Bu Vanesa dan Bu Rara berpandangan, lalu mengangguk. Kelihatan sekali mereka berdua segan terhadap Bu Wening.

"Bawa pisau tajam, kan? Belah jadi dua ikan ini ya, aku mau bakar nanti. Sebelumnya aku mau lomboki dulu bagian tengah perutnya," Bu Wening memberi instruksi pada Mas Mukijo yang langsung mengerjakan tugasnya.

"Ngeri nggak sih, perut dilomboki ... sadisnya," bisik Bu Vanesa pada Bu Rara dengan suara super pelan, agar jangan sampai didengar Bu Wening.

"Bu Nesa, segera putuskan mau beli kangkung apa bayam. Lalu Bu Rara apa datang belanja apa cuma mau nggosip saja?" Bu Wening meneruskan obrolannya pada dua ibu muda tetangganya itu.

Bu Vanesa dan Bu Rara tersenyum kecut, lalu segera menuntaskan acara belanja setelah memilih tahu, tempe, dan kangkung. Gara-gara ngeri dengan mulut tajam Bu Wening, mereka jadi sepakat kompak masak bahan yang sama.

"Jangan lupa salat dhuha dulu sebelum masak!" teriakan Bu Wening membahana mengiringi langkah Bu Vanesa dan Bu Rara ngibrit pulang ke rumah masing-masing.

***

Dari balik gorden rumahnya, Bu Sulaiman melihat tetangganya berceloteh. Dari tempatnya ia memang tidak dapat mendengar apa yang sedang diobrolkan tetangganya, namun dari gerak tubuh mereka, tatapan penasaran ke arah rumahnya - Bu Sulaiman tahu benar mereka sedang memperbincangkannya.

Bu Sulaiman mengusap air mata yang tiba-tiba jatuh di pipinya.

Kemarin sebelum berangkat salat subuh ke masjid, ada beberapa pria berseragam yang tiba-tiba datang menjemput suaminya. Mereka mendakwa suaminya terlibat jaringan terorisme. 

Bagai petir menyambar jantungnya. Bu Sulaiman bahkan tak sempat mengemaskan baju, suaminya sudah keburu dibawa pergi. Selama dua hari ini, beberapa pria berseragam menjaga di sekitar rumahnya. Entah mau apa. Apa mereka mengira akan dapat menangkap tamu asing yang kebetulan datang? 

Mereka bahkan enggan menjawab pertanyaannya tentang lokasi suaminya ditahan. Mereka hanya diam tanpa ekspresi saat ia berusaha menjelaskan bahwa suaminya hanyalah seorang guru ngaji di sebuah yayasan. Sampai seseorang dari mereka kelihatan kesal, lalu menyanggah kasar.

"Bu, kami sudah banyak menemukan teroris yang menyembunyikan jati dirinya di depan keluarga. Ibu harus menerima kenyataan bahwa suami ibu selama ini berbohong tentang pekerjaannya."

Tidak! Itu tidak mungkin. Mereka telah berjuang bersama-sama sejak di organisasi Islam kampus. Ia tahu betul bagaimana suaminya memahami Islam sebagai rahmatan lil alamin. Islam tidak merusak. Islam itu mengasihi.

Sudah dua hari suaminya pergi tanpa berita. Di mana dia? Apakah ia sempat mandi dan berganti pakaian? Apakah ia mendapatkan makanan yang layak?

Uluran tangan ibu mertuanya hanya dijawab Bu Sulaiman dengan gelengan kepala. Ia bermaksud untuk bertahan. Menunggu suaminya di rumah ini. Hanya dua anaknya yang ia minta ikut tinggal di rumah neneknya sementara. Dengan sendiri ia berharap ia dapat memikirkan semua kerumitan yang berkelindan di otaknya. Ia berharap ia dapat menemukan jawaban.

"Dasar teroris tidak punya otak!!!" teriakan keras dari anak muda yang berboncengan motor, ngebut di depan rumahnya, lalu kabur - membuat Bu Sulaiman kaget. Ada bungkusan yang dilemparkan. Bu Sulaiman membuka pintu rumah dan mendapati teras rumahnya sudah penuh dengan tai.

Darah mendidih di dalam dada Bu Sulaiman. Beberapa tetangga keluar, tapi hanya melihati saja. Tidak bersuara, namun tatapan mereka menghujam. Inikah yang namanya kuasa Allah - dengan mudah membolak-balikkan nasib manusia? Keluarganya yang dulu dipandang hormat. Ia berdua dengan suaminya adalah guru yang disegani. Kedua anak mereka hafidz dan hafidzah. Namun sekarang itu semua tak berarti di mata tetangga - hanya sebab tuduhan terorisme yang belum tentu terbukti benar?

Bu Sulaiman merasa hatinya sakit. Ia membersihkan teras rumahnya segera. Menyemprot semua tai dengan air. Menyabun lantai. Menghilangkan najis. Lalu berikutnya ia bersuci membersihkan tubuhnya yang terkontaminasi bau tai, ia gosok semua daki bagai menggosok dosa-dosa yang mungkin tak ia sadari. Ia basahi seluruh tubuhnya dari kepala hingga ujung kaki. Lalu bersimpuh memohon pertolongan dari ilahi. Memohon terurai simpul dari persoalan ini. Berjam-jam ia menangis di atas sajadah sampai tersadar oleh suara ketukan di pintu rumah. 

Sosok orang yang berdiri di depan pintu rumahnya adalah sosok yang tak pernah ia bayangkan hadir sebagai penolong di saat iman dan rasa percaya dirinya tersuruk di titik nol seperti saat ini.

"Kau tidak keluar-keluar setelah membersihkan rumahmu dari ulah berandal-berandal itu. Jadi kukira kau pasti belum sempat masak, apalagi makan. Ini kubawakan makanan. Ini juga ada kartu nama ponakanku yang seorang petinggi polisi. Coba kautelpon dia untuk tanya kabar suamimu," Bu Wening menyerahkan rantang makanan dan selembar kartu nama.

Bu Sulaiman malah lebih terpuruk lagi. Entah mengapa di saat seperti itu ia ingat hatinya pernah berbisik, alangkah tidak menyenangkan tetangganya yang satu ini. Selalu berlidah tajam dan jarang tersenyum, walau wajahnya lembut keibuan.

Bu Sulaiman mengangguk, mengintip isi rantang untuk melihat nasi pulen dan ikan bakar bumbu lombok yang menerbitkan selera.

"Makanlah. Kau butuh tubuh yang kuat untuk suami dan anakmu. Tak ada yang tahu apa yang akan terjadi besok, tapi selama kau kuat, pasti bisa menghadapinya. Aku pulang."

Bu Sulaiman mengangguk, air matanya kembali mengucur.

"Terima kasih, Mbak."

"Oh ya, bukannya tetangga-tetangga tidak peduli. Tapi sama denganmu, kami semua masih syok dengan kejadian ini. Juga takut jika dianggap terlibat, walau kami yakin  Pak Sulaiman tidak seperti yang mereka bilang. Makanlah. Aku pulang dulu."

Bu Sulaiman mengiringi kepergian Bu Wening dengan tatapan penuh rasa terima kasih. Kebaikan hati Bu Wening di saat ia terpuruk seperti itu, mampu menerbitkan semangat di hatinya. Hari esok pasti akan berpihak kepadanya.**

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun