"Jangan mudah tertipu oleh penampilan, Mas Kijo," ucap Bu Wening yang mukanya kalem halus tapi mulutnya bisa setajam pinggiran tutup kaleng sarden. "Banyak orang berpenampilan lembut, tapi kenyataannya sadis. Pembunuh berdarah dingin."
Bu Vanesa dan Bu Rara berpandangan, lalu mengangguk. Kelihatan sekali mereka berdua segan terhadap Bu Wening.
"Bawa pisau tajam, kan? Belah jadi dua ikan ini ya, aku mau bakar nanti. Sebelumnya aku mau lomboki dulu bagian tengah perutnya," Bu Wening memberi instruksi pada Mas Mukijo yang langsung mengerjakan tugasnya.
"Ngeri nggak sih, perut dilomboki ... sadisnya," bisik Bu Vanesa pada Bu Rara dengan suara super pelan, agar jangan sampai didengar Bu Wening.
"Bu Nesa, segera putuskan mau beli kangkung apa bayam. Lalu Bu Rara apa datang belanja apa cuma mau nggosip saja?" Bu Wening meneruskan obrolannya pada dua ibu muda tetangganya itu.
Bu Vanesa dan Bu Rara tersenyum kecut, lalu segera menuntaskan acara belanja setelah memilih tahu, tempe, dan kangkung. Gara-gara ngeri dengan mulut tajam Bu Wening, mereka jadi sepakat kompak masak bahan yang sama.
"Jangan lupa salat dhuha dulu sebelum masak!" teriakan Bu Wening membahana mengiringi langkah Bu Vanesa dan Bu Rara ngibrit pulang ke rumah masing-masing.
***
Dari balik gorden rumahnya, Bu Sulaiman melihat tetangganya berceloteh. Dari tempatnya ia memang tidak dapat mendengar apa yang sedang diobrolkan tetangganya, namun dari gerak tubuh mereka, tatapan penasaran ke arah rumahnya - Bu Sulaiman tahu benar mereka sedang memperbincangkannya.
Bu Sulaiman mengusap air mata yang tiba-tiba jatuh di pipinya.
Kemarin sebelum berangkat salat subuh ke masjid, ada beberapa pria berseragam yang tiba-tiba datang menjemput suaminya. Mereka mendakwa suaminya terlibat jaringan terorisme.Â