Bu Sulaiman malah lebih terpuruk lagi. Entah mengapa di saat seperti itu ia ingat hatinya pernah berbisik, alangkah tidak menyenangkan tetangganya yang satu ini. Selalu berlidah tajam dan jarang tersenyum, walau wajahnya lembut keibuan.
Bu Sulaiman mengangguk, mengintip isi rantang untuk melihat nasi pulen dan ikan bakar bumbu lombok yang menerbitkan selera.
"Makanlah. Kau butuh tubuh yang kuat untuk suami dan anakmu. Tak ada yang tahu apa yang akan terjadi besok, tapi selama kau kuat, pasti bisa menghadapinya. Aku pulang."
Bu Sulaiman mengangguk, air matanya kembali mengucur.
"Terima kasih, Mbak."
"Oh ya, bukannya tetangga-tetangga tidak peduli. Tapi sama denganmu, kami semua masih syok dengan kejadian ini. Juga takut jika dianggap terlibat, walau kami yakin  Pak Sulaiman tidak seperti yang mereka bilang. Makanlah. Aku pulang dulu."
Bu Sulaiman mengiringi kepergian Bu Wening dengan tatapan penuh rasa terima kasih. Kebaikan hati Bu Wening di saat ia terpuruk seperti itu, mampu menerbitkan semangat di hatinya. Hari esok pasti akan berpihak kepadanya.**
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H