Mohon tunggu...
Indah Novita Dewi
Indah Novita Dewi Mohon Tunggu... Penulis - Hobi menulis dan membaca.

PNS dan Penulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pak Profesor dan Masjid di Samping Rumah

2 Mei 2021   10:48 Diperbarui: 2 Mei 2021   10:48 434
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: David McEachan/Pexels

Suara gemeresek dari speaker masjid terdengar di pagi buta. Setelah sebelumnya suara sandal dan langkah diseret - khas gaya Pak Imam - terdengar lewat di depan rumah. 

Telinga tua Pak Profesor yang masih peka, sudah mendengar itu semua dan ia pun  terbangun di jelang subuh pagi itu. Dan juga di pagi-pagi sebelumnya selama dua belas tahun sudah.

Dua belas tahun lalu, istri tercintanya sudah mengingatkan bahwa rumah yang akan mereka beli itu cantik dan sempurna, namun dekat sekali dengan masjid.

"Kenapa kalau dekat masjid?" tanya Pak Profesor kala itu.

"Bapak nanti terganggu kalau ada adzan atau pengajian dari speaker masjid.  Belum lagi kalau bulan Ramadan biasanya membangunkan sahur lewat toa masjid juga," jawab istri Pak Profesor sambil mesem.

Ah, waktu itu Pak Profesor tak menghiraukan peringatan istrinya. Bisa semengganggu apa sih, sebuah rumah ibadah? Maka Pak Profesor tetap memutuskan untuk membeli rumah itu.

Dan di subuh pertama dua belas tahun lalu, ia mengakui kebenaran ucapan istrinya. Telinganya yang tentunya jauh lebih peka di saat dua belas tahun lebih muda, terganggu dengan semua ritual subuh. 

Bebunyian doa-doa sebelum adzan, adzan, kadang pengajian, kadang alunan shalawatan, pernah juga rekaman kaset ceramah seorang ustadz kenamaan. Yang semuanya itu jarang terdengar merdu di telinga Pak Profesor karena speaker masjid sering rusak.

Maka Pak Profesor akan bangun dengan kepala pusing karena kurang tidur sebab baru tidur jam satu dini hari, keasyikan membaca jurnal. Ia terpaksa harus mengomel sendiri sebab sang istri tetap pulas di sampingnya. Perempuan itu tak pernah terganggu bahkan oleh denging nyamuk di dekat gendang telinga. Perempuan itu malah tersenyum dalam tidur seolah sedang bertemu anak dan cucunya dalam mimpi.

Setelah mengalami hal yang sama selama seminggu, Pak Profesor tidak mau lagi terganggu. Tidak lucu kalau ia harus pindah rumah hanya gara-gara suara speaker masjid yang mengganggu telinganya tiap subuh.

Pak Profesor bertandang ke rumah Pak Imam masjid. Pak Imam seorang pria sederhana yang juga berprofesi sebagai guru agama di sebuah madrasah. 

Pak Imam membungkuk-bungkuk menyilakan masuk. Berbicara panjang lebar tentang keberuntungan dikunjungi seorang profesor. Pak Profesor jadi agak malu hati, namun tetap mengutarakan maksudnya. 

Meminta tolong Pak Imam untuk mengecilkan volume speaker saat adzan subuh, atau bahkan membuatnya jadi nol. Toh, semua muslim sudah tahu waktu subuh. 

Tanpa diteriaki melalui speaker, seharusnya mereka langsung datang ke masjid untuk beribadah pada waktunya. Pak Imam terdiam, menundukkan kepala. Pak Profesor mengira Pak Imam akan marah, lalu mengusirnya sebagai kafir jahat tak beragama.

Tapi tidak. Ternyata lalu Pak Imam mengangkat kepalanya, memandang Pak Profesor dengan tatap mata sendu. Ia meminta maaf dengan suara tulus dan bersungguh-sungguh. Ucapan maaf dan kata-kata yang tak akan dilupakan Pak Profesor sepanjang hidupnya.

"Maaf, Pak Profesor, kalau suara-suara dari masjid mengganggu tidur Bapak. Saya juga minta maaf kalau saya tidak dapat memenuhi permintaan Bapak untuk mengecilkan volume atau sekalian tidak menggunakan speaker saat subuh. Tolong mengerti saya, Pak. 

Saya berteriak lewat speaker saja, jamaah yang datang salat subuh hanya dapat dihitung dengan jari. Lalu tinggal berapa kalau mereka tak mendengar panggilan adzan?"

Pak Profesor terperangah. Terpana. Menatap wajah murung pak Imam tanpa sanggup berkata-kata. Lalu ia terharu. Dan pulang dengan tangan hampa.

Tapi Pak Profesor tidak menyerah. Dengan kedalaman pikiran ia merenung. Tuhannya sudah menggariskan bahwa setiap subuh ia memang harus bangun. Jadi mengapa ia harus marah-marah pada sebuah rumah ibadah? Toh ia juga sudah diingatkan istri sebelum membeli rumah dekat masjid waktu itu. Ia kemudian memutuskan untuk mengubah 'gangguan' itu menjadi sebuah peluang.

Gangguan itu berubah menjadi anugerah, karena sejak saat itu, Pak Profesor memulai aktivitasnya lebih awal. Ia mempercepat jam tidur malam, lalu bangun di waktu subuh untuk mengecek email, membalas email, dan memeriksa beberapa jurnal di mana ia bertugas sebagai dewan redaksi, juga memeriksa draft paper mahasiswanya.

Sekitar pukul enam, istrinya akan bangun dan membuat kopi. Pak Profesor akan mematikan laptop lalu pergi berjalan-jalan ke sekeliling rumah, dan pulang menyeruput kopi dan jajanan yang sudah disiapkan istrinya, baru kemudian bersiap ke kantor. Dengan kebiasaan barunya, ia merasa lebih sehat dan bersemangat. Dan itu dijalaninya selama dua belas tahun. Tanpa masalah.

Jika bulan Ramadan tiba, ia hanya perlu memajukan jam tidurnya lebih awal, lalu ikut bangun saat keributan membangunkan sahur berkumandang. 

Kadang-kadang ia bahkan sengaja ikut sahur dan lalu berpuasa sehari karena ia telah membaca pentingnya berpuasa sebagai upaya detoks pencernaan. 

Ada kalanya organ pencernaan kita harus beristirahat setelah melakukan tugasnya yang berat. Pak Profesor dengan tingkat kebijakannya yang semakin tinggi menjalani semuanya dengan tulus, tanpa merasa khawatir keyakinannya akan terganggu.

Maka kalau sekarang ini ada yang melarang penggunaan speaker di masjid-masjid, terutama di waktu sahur atau subuh, Pak Profesor berjanji justru ia yang akan memrotes larangan itu. Jika masjid sepi, ia akan tidur terlalu nyenyak dan ritme hidupnya akan kembali seperti dulu, kurang produktif.

Jangan. Jangan dilarang. Jika dilarang, Pak Profesor akan kehilangan. Dan Pak Imam mungkin akan semakin sedih menghitung jumlah jamaahnya di waktu subuh.** T A M A T

Catatan:

Cerpen ini terinspirasi kisah seorang profesor yang melakukan pembinaan pegawai di kantor saya belasan tahun lampau. Beliau non muslim yang sempat terganggu suara masjid, lalu mengubah gangguan itu menjadi peluang. Bagian mengubah ritme tidur dan mulai bekerja saat subuh memang beliau lakukan, sedangkan bagian lainnya adalah pengembangan penulis sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun