Pak Profesor bertandang ke rumah Pak Imam masjid. Pak Imam seorang pria sederhana yang juga berprofesi sebagai guru agama di sebuah madrasah.Â
Pak Imam membungkuk-bungkuk menyilakan masuk. Berbicara panjang lebar tentang keberuntungan dikunjungi seorang profesor. Pak Profesor jadi agak malu hati, namun tetap mengutarakan maksudnya.Â
Meminta tolong Pak Imam untuk mengecilkan volume speaker saat adzan subuh, atau bahkan membuatnya jadi nol. Toh, semua muslim sudah tahu waktu subuh.Â
Tanpa diteriaki melalui speaker, seharusnya mereka langsung datang ke masjid untuk beribadah pada waktunya. Pak Imam terdiam, menundukkan kepala. Pak Profesor mengira Pak Imam akan marah, lalu mengusirnya sebagai kafir jahat tak beragama.
Tapi tidak. Ternyata lalu Pak Imam mengangkat kepalanya, memandang Pak Profesor dengan tatap mata sendu. Ia meminta maaf dengan suara tulus dan bersungguh-sungguh. Ucapan maaf dan kata-kata yang tak akan dilupakan Pak Profesor sepanjang hidupnya.
"Maaf, Pak Profesor, kalau suara-suara dari masjid mengganggu tidur Bapak. Saya juga minta maaf kalau saya tidak dapat memenuhi permintaan Bapak untuk mengecilkan volume atau sekalian tidak menggunakan speaker saat subuh. Tolong mengerti saya, Pak.Â
Saya berteriak lewat speaker saja, jamaah yang datang salat subuh hanya dapat dihitung dengan jari. Lalu tinggal berapa kalau mereka tak mendengar panggilan adzan?"
Pak Profesor terperangah. Terpana. Menatap wajah murung pak Imam tanpa sanggup berkata-kata. Lalu ia terharu. Dan pulang dengan tangan hampa.
Tapi Pak Profesor tidak menyerah. Dengan kedalaman pikiran ia merenung. Tuhannya sudah menggariskan bahwa setiap subuh ia memang harus bangun. Jadi mengapa ia harus marah-marah pada sebuah rumah ibadah? Toh ia juga sudah diingatkan istri sebelum membeli rumah dekat masjid waktu itu. Ia kemudian memutuskan untuk mengubah 'gangguan' itu menjadi sebuah peluang.
Gangguan itu berubah menjadi anugerah, karena sejak saat itu, Pak Profesor memulai aktivitasnya lebih awal. Ia mempercepat jam tidur malam, lalu bangun di waktu subuh untuk mengecek email, membalas email, dan memeriksa beberapa jurnal di mana ia bertugas sebagai dewan redaksi, juga memeriksa draft paper mahasiswanya.
Sekitar pukul enam, istrinya akan bangun dan membuat kopi. Pak Profesor akan mematikan laptop lalu pergi berjalan-jalan ke sekeliling rumah, dan pulang menyeruput kopi dan jajanan yang sudah disiapkan istrinya, baru kemudian bersiap ke kantor. Dengan kebiasaan barunya, ia merasa lebih sehat dan bersemangat. Dan itu dijalaninya selama dua belas tahun. Tanpa masalah.