Suara gemeresek dari speaker masjid terdengar di pagi buta. Setelah sebelumnya suara sandal dan langkah diseret - khas gaya Pak Imam - terdengar lewat di depan rumah.Â
Telinga tua Pak Profesor yang masih peka, sudah mendengar itu semua dan ia pun  terbangun di jelang subuh pagi itu. Dan juga di pagi-pagi sebelumnya selama dua belas tahun sudah.
Dua belas tahun lalu, istri tercintanya sudah mengingatkan bahwa rumah yang akan mereka beli itu cantik dan sempurna, namun dekat sekali dengan masjid.
"Kenapa kalau dekat masjid?" tanya Pak Profesor kala itu.
"Bapak nanti terganggu kalau ada adzan atau pengajian dari speaker masjid. Â Belum lagi kalau bulan Ramadan biasanya membangunkan sahur lewat toa masjid juga," jawab istri Pak Profesor sambil mesem.
Ah, waktu itu Pak Profesor tak menghiraukan peringatan istrinya. Bisa semengganggu apa sih, sebuah rumah ibadah? Maka Pak Profesor tetap memutuskan untuk membeli rumah itu.
Dan di subuh pertama dua belas tahun lalu, ia mengakui kebenaran ucapan istrinya. Telinganya yang tentunya jauh lebih peka di saat dua belas tahun lebih muda, terganggu dengan semua ritual subuh.Â
Bebunyian doa-doa sebelum adzan, adzan, kadang pengajian, kadang alunan shalawatan, pernah juga rekaman kaset ceramah seorang ustadz kenamaan. Yang semuanya itu jarang terdengar merdu di telinga Pak Profesor karena speaker masjid sering rusak.
Maka Pak Profesor akan bangun dengan kepala pusing karena kurang tidur sebab baru tidur jam satu dini hari, keasyikan membaca jurnal. Ia terpaksa harus mengomel sendiri sebab sang istri tetap pulas di sampingnya. Perempuan itu tak pernah terganggu bahkan oleh denging nyamuk di dekat gendang telinga. Perempuan itu malah tersenyum dalam tidur seolah sedang bertemu anak dan cucunya dalam mimpi.
Setelah mengalami hal yang sama selama seminggu, Pak Profesor tidak mau lagi terganggu. Tidak lucu kalau ia harus pindah rumah hanya gara-gara suara speaker masjid yang mengganggu telinganya tiap subuh.