Penulis : Indah Kusuma
Genre : Fantasy
Bab 3
***
Putra terperanjat ketika melihat harimau benggala mengaum di depan mata. Hewan buas itu tampak gagah. Keempat kakinya melangkah tegas. Kuku-kuku tajam yang siap mengoyak raga. Belum lagi taring-taring berkilat yang dengan senang hati ingin menembus kulit, daging, dan mematahkan tulang-belulang lelaki itu.
Dia menelan saliva. Peluh berlomba terbit di kepala. Ketakutan yang dia pikirkan, nyata sudah. Jika dia berlari, harimau itu jelas akan semakin beringas. Namun, diam juga bukan pilihan yang benar. Setidaknya, ada perjuangan sebelum napas terhenti.
Putra berjalan mundur sebelum mengambil langkah seribu, menembus semak belukar dan berbagai flora Alas Purwo. Pria itu mulai ragu akan jalan keluar. Tak ada secercah asa yang tampak. Tanpa sadar, dia semakin terjerumus lebih dalam ke tengah rimba. Berlari tak tentu arah hingga terjerembap akibat akar pohon yang membentang.
"Aaak!"
Napasnya terengah, peluh bercucuran membasahi sekujur tubuh. Kain yang dia kenakan, tak lagi suci. "Ya Allah, bantu aku."
Geraman harimau kembali terdengar. Sedikit lebih pelan daripada sebelumnya. Mungkinkah hewan buas itu berangsur tenang dan mengabaikan, atau malah hendak mengambil ancang-ancang sebelum menerkam?
Teringat akan tayangan Wild Animals, Putra putus asa. Tubuh harimau itu lebih besar darinya. Bila benar dia sedang mengambil posisi, maka habislah sudah. Harimau itu akan menindih, lalu mengunyah satu per satu dagingnya, seperti rusa yang tercabik berlinang air mata.
Putra menoleh ke belakang. Masih di sana. Semakin dekat. Sang harimau mengaum begitu keras seolah berkata, "Dia milikku!"
Ketika Putra memejamkan mata, mendadak tubuhnya tertarik ke belakang hingga menghantam pohon jati. Dia meringkuk dan mengabaikan nyeri di punggung. Tak lagi peduli apa dan siapa penyebabnya. Satu yang dia mau, keluar dari sandiwara belantara.
Penyesalan beruntung datang menghantui. Andai dia menuruti ucapan sang bunda, andai dia membatalkan niat sesuai permintaan Wandra, andai petuah Pak Sajiman didengar ... sayang, sesuatu yang telah terjadi tak mungkin kembali.
"Kamu baik-baik saja?"
Putra berjingkat. Suara wanita, nyatakah dia?
Perlahan, Putra membuka mata. Paras ayu yang terlihat, menambah keterkejutannya. Putra berteriak lantang, bola matanya membulat, bibir kelu tak bisa berucap. Tanpa kedip, dia memandang kalut.
"Aku tidak akan menyakitimu. Namaku Kusuma. Kamu?" Gadis itu menjulurkan tangan. Sementara Putra hanya bisa menonton gerak jemari lentik yang bercahaya. Dia bertanya kepada hati, Siapa wanita itu?
Putra kembali mengingat akan sederet makhluk gaib yang mampu berubah wujud. Membayangkan jika ternyata gadis cantik di depannya adalah sosok buruk rupa, dia lantas menutup mata rapat-rapat.
"Pergi! Pergi!"
Kusuma mendesah, lalu jongkok di samping pria itu. Dilihatnya sorot mata yang meneriakkan penolakan, juga ketakutan. "Setidaknya, ada ucapan 'terima kasih' sebelum kamu menyuruhku pergi." Dia berdiri, berlagak acuh tak acuh, "baiklah, aku akan pergi. Semoga kamu bisa keluar dari hutan ini tanpa luka."
Kusuma menjauh meski hati menentang itu. Di setiap langkahnya, ada permintaan yang terucap: hentikan aku!
Namun, hingga langkah kelima, pria itu masih bergeming. Tak sabar, Kusuma berbalik dan ....
"Apa kau tahu jalan keluarnya?"
Pria itu berdiri tepat di belakang. Pasrah.
Sudut bibir Kusuma terangkat. Sambil melipat kedua tangan di depan dada, dia berkata, "Aku mengenal betul rimba ini. Jika kamu ragu, lebih baik lupakan."
"Tunggu, Nyai!"
"Kusuma. Cukup panggil namaku saja. Bisakah?"
Senyum manis gadis itu, mengawali kebersamaan mereka. Jejak-jejak yang tersamar dedaunan kering, tampak sejajar dan seirama. Putra sengaja mengimbangi langkah gadis itu. Dia tak ingin kehilangan peta.
Gelap. Senyap. Burung gagak dan burung hantu saling merayu di antara dahan. Derik serangga menjadi nyanyian yang tak terkalahkan. Semak belukar, mendayu bersama angin malam. Nuansa mencekam yang tak pernah terbayang Putra.
Kampung tempat tinggalnya sunyi di kala malam menjelang. Namun, masih terlihat cahaya benderang dari lampu jalan dan teras rumah penduduk. Kadang kala, terlihat beberapa orang mengobrol di warung kopi, dekat masjid. Ada pula yang sekadar berkeliling, ronda.
Kini, dia berjalan layaknya orang buta yang membutuhkan teman. Mata untuk matanya.
"Apa yang membuatmu datang ke sini? Kamu bukan pertapa."
"Aku hendak mengembalikan mustika ayahku." Alibi palsu yang sekali lagi diutarakan. Putra telah melihat langsung sosok yang lain dari manusia. Cukuplah sudah bukti yang dia punya.
"Mustika?"
"Eeem, entahlah. Hanya sebuah kalung berliontin batu akik berwarna toska."
Kusuma berhenti. Ada sesuatu yang dia raba dalam ingatan. "Bolehkah aku melihatnya?"
Mereka saling pandang dalam sekian detik perjalanan waktu. Dalam diamnya, mereka meneliti. Kejujuran dan kebohongan kadang bisa terlihat dengan mudah lewat sorot mata. Namun, ada kalanya pula kedua sifat itu tertutup sempurna.
"Hilang." Putra mendekat, "ada yang harus kau tahu. Aku tersesat bukan karena langkahku. Temanmu, atau apalah itu ... mereka yang membawaku ke sini. Aku tidak tahu pasti. Ketika aku sadar, pohon tua berukuran besar yang pertama kali terlihat olehku."
Putra berkacak pinggang. Kala teringat akan peristiwa yang hampir merenggut nyawa, dia menggeleng.
"Apa itu berarti aku tidak akan mendapat ucapan 'terima kasih'?" Kusuma kembali melangkah setelah bertanya. Dia tersenyum. Sikap lelaki itu terasa unik baginya.
Sering kali, kemolekannya berhasil memikat kaum pria. Tak sedikit yang terlena dan berusaha mendekat dengan nafsu bejat. Jauh berbeda dengan pria itu, yang lebih memikirkan jalan keluar daripada bercinta di tengah keleluasaan.
"Baiklah, terima kasih," celetuk Putra. Nada keterpaksaan terasa kental mengalun bersama kata.
***
Sementara itu, jauh melewati barisan pohon dan perbukitan Taman Nasional Alas Purwo, dua perempuan sedang asyik menatap indahnya liontin bermata biru kehijau-hijauan. Benda yang mereka rampas dari seorang pemuda tampan-manusia yang berniat menentang alam jin.
Sekar semeringah. Dengan bantuan Lastri, liontin itu terpasang di lehernya. Mereka telah sepakat untuk mengenakan benda itu bergantian. Sesuai jadwal, tiga hari sekali kalung berpindah tangan.
"Kok ada yang aneh, ya." Sekar meraba leher.
"Apanya? Bagus kok," ucap Lastri seraya menatap liontin indah itu. "Ah, sudahlah. Ayo kita ke gua istana. Bukankah ada kunjungan Kajeng Ratu Kidul malam ini."
"Wah, gawat. Nyi Roro Kidul akan menghukum kita kalau sampai terlambat. Ayo!"
Kedua makhluk itu mengurai, lenyap terbawa angin hingga hadir kembali di depan gua istana. Ribuan jin dari penjuru tanah Jawa telah berkumpul. Kerumunan itu didominasi sosok bertubuh besar, hitam, dengan rambut awut-awutan. Manusia menyebutnya genderuwo. Ada pula sosok hasil perkawinan jin dan manusia, Garini.
Tak hanya mereka, banyak kaum Adam dan Hawa yang bersila di sekitar mulut gua. Di depan mereka, telah tersaji menu makan malam para lelembut. Kembang, dupa, dan buah-buahan tertata di tampah. Mulut mereka komat-kamit. Doa, permintaan, dan harapan diutarakan. Keyakinan yang membuat mereka lupa akan kuasa Tuhan.
Buruknya manusia akan terlihat bilamana dia gila terhadap harta. Tak jarang, mereka lupa mana teman dan saudara. Demi kekayaan fana, mereka rela mengorbankan sesama. Sering kali mereka berdalih, menganggap hinaan manusia atas ketidaksetaraan adalah alasan terbaik. Kaum jin tertawa. Kurangnya rasa bersyukur tak ubahnya ladang mencari bala.
"Lihatlah! Banyak makanan lezat," ucap Lastri. Dia menoleh ke kanan dan kiri, menatap haus sesaji. Begitu pula Sekar, gadis itu menghirup aroma dupa-makanan kesukaannya.
"Dari mana saja kalian?" Tetiba sesosok wanita hadir di belakang mereka. Safitri. Dia bersedekap, menatap tegas kedua makhluk di depan. Karena tak mendapat jawaban, dia kembali bertanya, "menyesatkan manusia?"
Keduanya tertunduk, saling membisikkan kekhawatiran. Safitri tidak menyukai sikap mereka. Sekar dan Lastri disebut-sebut sebagai Ratu Perusuh. Mereka menggoda siapa saja yang diinginkan tanpa mengindahkan aturan.
"Dia ... dia memiliki tujuan buruk, Safitri. Dia ingin mencari tahu keberadaan kaum kita," cetus Sekar. Wanita itu berbalik, meraih tangan Safitri. "Sungguh. Percayalah padaku! Kami tidak melakukan kesalahan lagi."
Wanita berkemban hijau itu meneliti tindak-tanduk mereka, mencari kejujuran lewat sorot mata. Sesaat, pandangannya jatuh ke liontin yang dikenakan Sekar. Gelap, suram, kalung yang tak berharga. Dia membuang pandang ke jalur utama. Pendar cahaya terang terlihat di sana. Menyadari itu, ketiganya menghentikan obrolan dan menyambut kedatangan penguasa Samudra Hindia.
Safitri mengerutkan kening. Ada yang berbeda dari paras patih kerajaan Pantai Selatan-Nyi Roro Kidul. "Kenapa dia tampak pucat?" gumam Safitri. Dia tak bisa menegur di tengah upacara. Terlebih, ada Kanjeng Ratu di samping sosok itu.
Malam ini, ada senapati baru yang dinobatkan. Narendra, seorang petapa yang telah mencapai moksa. Dia ditugaskan untuk membantu Nyi Roro Kidul menjaga laut selatan, terutama kawasan Alas Purwo.
Parasnya yang tampan, sontak menjadi rebutan para dayang yang hadir dalam ritual tersebut, tak terkecuali Sekar dan Lastri.
Acara berlangsung tanpa hambatan. Kanjeng Ratu Kidul pun telah kembali ke perawangan. Tinggallah Nyi Roro Kidul di sana, duduk di samping singgasana.
"Nyi, ada apakah gerangan?" tanya Safitri.
Wanita itu bergeming. Sementara, Sekar dan Lastri mendekati mereka. Setelah memberi salam hormat, Lastri berkata, "Ampun Nyi Roro. Hamba tadi melihat Putri Kusuma bersama seorang manusia di tengah rimba."
***
Bio :
Indah Kusuma, penulis yang kembali bergelut dengan aksara sejak tahun 2018. Di akun wattpad-nya : imajindah, telah ada tujuh karya yang di-publish. Dua di antaranya telah diterbitkan: Almost Kiss, dan The Sunrise of Love. Satu judul yang kini masuk proses terbit, yakni: Soul Hunter. Kamu juga bisa menjumpai penggemar film action ini di akun instagramnya @indahkusuma.id. Temui juga karyanya di akun wattpad: imajindah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H