"Mustika?"
"Eeem, entahlah. Hanya sebuah kalung berliontin batu akik berwarna toska."
Kusuma berhenti. Ada sesuatu yang dia raba dalam ingatan. "Bolehkah aku melihatnya?"
Mereka saling pandang dalam sekian detik perjalanan waktu. Dalam diamnya, mereka meneliti. Kejujuran dan kebohongan kadang bisa terlihat dengan mudah lewat sorot mata. Namun, ada kalanya pula kedua sifat itu tertutup sempurna.
"Hilang." Putra mendekat, "ada yang harus kau tahu. Aku tersesat bukan karena langkahku. Temanmu, atau apalah itu ... mereka yang membawaku ke sini. Aku tidak tahu pasti. Ketika aku sadar, pohon tua berukuran besar yang pertama kali terlihat olehku."
Putra berkacak pinggang. Kala teringat akan peristiwa yang hampir merenggut nyawa, dia menggeleng.
"Apa itu berarti aku tidak akan mendapat ucapan 'terima kasih'?" Kusuma kembali melangkah setelah bertanya. Dia tersenyum. Sikap lelaki itu terasa unik baginya.
Sering kali, kemolekannya berhasil memikat kaum pria. Tak sedikit yang terlena dan berusaha mendekat dengan nafsu bejat. Jauh berbeda dengan pria itu, yang lebih memikirkan jalan keluar daripada bercinta di tengah keleluasaan.
"Baiklah, terima kasih," celetuk Putra. Nada keterpaksaan terasa kental mengalun bersama kata.
***
Sementara itu, jauh melewati barisan pohon dan perbukitan Taman Nasional Alas Purwo, dua perempuan sedang asyik menatap indahnya liontin bermata biru kehijau-hijauan. Benda yang mereka rampas dari seorang pemuda tampan-manusia yang berniat menentang alam jin.