Helen sebenarnya anak yang aktif bicara dan cenderung cerewet. Dia termasuk sosok yang berani. Sayangnya kemampuan dia di bidang akademik maupun non akademik biasa-biasa saja justru cenderung di bawah rata-rata.
Helen akhirnya menghadapku. Dengan langkah lunglai dan wajah yang memerah menahan rasa, dia mendekatiku.
"Ada apa Helen?" tanyaku.
Dia menggeleng lesu. Masih terlihat genangan air mata di pipinya. Kali ini Helen tak setegar sebelumnya. Dia yang selalu mengomentari teman-temannya dan yang suka mengadu segala perilaku teman kali ini terdiam.
Helen yang kumarahi dengan amat sangat karena menulis latihan bahasa Inggris di buku mata pelajaran lainnya.
Masih kuingat beberapa menit yang lalu ketika aku menegurnya, "Helen sudah berapa kali saya bilang, buku tulis jangan dicampur-campur. Bagaimana sih cara kamu belajar. Kamu seharusnya tanya sama mama atau papa kamu di rumah. Minta mereka mengajarimu setiap malam!"
Air mata sontak menetes di kedua pipinya yang ranum itu. Wajah cantiknya berubah menjadi durja. Ia menangis tanpa suara, lalu berlari ke bangkunya. Sambil terisak dia mengomel dan menggerutu.
"Helen, jawab saya. Ada masalah apa lagi denganmu?" aku bertanya lebih lanjut. Rasa kesal masih menyelinap dalam diri, terutama kepada Helen.
Dia menggeleng, "Tidak ada apa-apa Ma'am.."
"Jangan bohong, kalau tidak ada apa-apa, mengapa kamu malah mengomel-ngomel tak jelas.."sanggahku cepat.
Dia menunduk, kali ini dia tak mengucapkan sepatah kata pun. Aku semakin  kesal dan penasaran. Suasana kelas menjadi berisik, semua anak tampak kasak-kusuk melihat kejadian ini.