Aku kembali menghela napas. Aku meminta Helen mendekat kepadaku. Kedua tangannya kugenggam erat.
"I am so sorry Helen..Ma'am betul-betul tidak tahu kalau mama kamu tidak tinggal lagi bersama kamu."
"Mama kamu ada di mana sekarang? Kerja atau..?" tanyaku lembut.
Sambil berusaha menghapus air mata yang masih tersisa di pipi, Helen menjawab dengan tegas.
"Mama saya sudah bercerai dengan papa. Mama meninggalkan saya dan kakak-kakak saya.."
Hatiku terasa tercabik-cabik begitu mendengar penjelasan Helen. Kasihan dia. Pantas saja dia mengeluarkan semua rasa sedih dan gamangnya dengan perilaku yang menghibur dirinya. Menjadi sosok yang banyak bicara atau cerewet ternyata adalah salah satu caranya untuk menutupi rasa kecewa dan sedih sebagai seorang anak broken home.
Aku merasa semakin miris saat dia bercerita keseharian hidupnya di rumah. Mulai dari makan nasi bungkus setiap hari hingga harus dititipkan ke tetangga jika sang papa harus bekerja jauh darinya.
Helen mungkin bukan satu-satunya murid yang mengalami nasib seperti ini, tetapi sebagai guru sudah selayaknya mengetahui latar belakang murid-muridnya.
Guru harus paham bahwa setiap murid yang bermasalah pasti ada sebab dan latar belakangnya. Dari pengalaman bersama Helen, aku menjadi semakin memahami bahwa menjadi guru itu berat. Kita harus pandai-pandai mengatur emosi diri dan emosi para murid.
Mencari tahu latar belakang penyebab semua masalah murid dan terus berusaha mendampingi mereka dengan sepenuh hati.
"Maafkan Ma'am ya Helen, semoga kamu bisa menjadi anak yang kuat meskipun tidak bersama mama lagi. Tetap doakan mamamu dan mintalah pada Tuhan agar kamu bisa bersatu lagi dengan mama.."pesanku kepadanya.