"Helen, mengapa kamu ngomel-ngomel tak jelas!" bentakku kepada salah satu murid di kelas ini. Anak perempuan itu baru saja kutegur. Saat kembali ke bangkunya, aku lihat dia mengomel dengan teman di sebelahnya. Â Aku yang baru saja meluapkan emosiku kepada semua murid di kelas ini semakin kesal.
Hari itu aku mengajar mata pelajaran bahasa Inggris, di dua jam terakhir. Saat semua orang  sudah mencapai puncak kelelahan. Aku dan murid-muridku harus melewati saat-saat tak nyaman setiap hari Senin. Pukul dua belas lewat tiga puluh menit, waktunya tubuh beristirahat dari berbagai kegiatan sejak pagi.
Entah mengapa juga, hari itu adalah hari yang penuh warna-warna gelap bagiku. Sudah tiga hari belakangan ini aku diterpa sebuah masalah yang tak kunjung usai. Emosi dan gelisah adalah dua hal yang sering mendera hati dan pikiran.
Tidak biasanya aku sebegitu kesal terhadap kelas itu.Semua gara-gara mereka ribut.
Hari-hari kemarin aku selalu mampu melewati jam-jam mengajar dengan penuh suka cita di kelas ini.
Aku dan murid-muridku berbaur dalam kasih dan menyatu dalam ikatan batin. Pembelajaran bahasa Inggris selalu menjadi mata pelajaran yang seru di kelas itu, setiap Senin setelah jam dua belas siang.
"Kalau memang kalian tidak mau belajar, ya tinggal bilang saja sama saya. Saya tidak akan masuk kelas, atau kalian yang keluar kelas!" emosiku semakin menjadi-jadi.
Helen dan teman-temannya terdiam. Mata-mata mereka seakan menanti aksiku selanjutnya. Aku mencoba menghela napas tapi malah rasa sesak yang menghalang.
Helen masih saja mengomel, menggerutu atau apalah itu. Dia seakan tidak takut kalau kumarahi lagi. Hal ini membuat aku semakin kesal. Dia terlalu berani. Dari sikapnya yang balik mengomel setelah kuomeli menunjukkan perlawanan dari dirinya. Aku tak mau tinggal diam, masih dalam keadaan emosi aku memanggilnya.
"Helen, ke sini kamu...cepat!"
Anak perempuan cantik itu awalnya tak beranjak dari bangkunya. Aku memelotinya, dia malah pura-pura tak melihatku. Teman yang duduk di belakangnya mendorong-dorong tubuhnya agar mau berdiri dan menghadapku.
Helen sebenarnya anak yang aktif bicara dan cenderung cerewet. Dia termasuk sosok yang berani. Sayangnya kemampuan dia di bidang akademik maupun non akademik biasa-biasa saja justru cenderung di bawah rata-rata.
Helen akhirnya menghadapku. Dengan langkah lunglai dan wajah yang memerah menahan rasa, dia mendekatiku.
"Ada apa Helen?" tanyaku.
Dia menggeleng lesu. Masih terlihat genangan air mata di pipinya. Kali ini Helen tak setegar sebelumnya. Dia yang selalu mengomentari teman-temannya dan yang suka mengadu segala perilaku teman kali ini terdiam.
Helen yang kumarahi dengan amat sangat karena menulis latihan bahasa Inggris di buku mata pelajaran lainnya.
Masih kuingat beberapa menit yang lalu ketika aku menegurnya, "Helen sudah berapa kali saya bilang, buku tulis jangan dicampur-campur. Bagaimana sih cara kamu belajar. Kamu seharusnya tanya sama mama atau papa kamu di rumah. Minta mereka mengajarimu setiap malam!"
Air mata sontak menetes di kedua pipinya yang ranum itu. Wajah cantiknya berubah menjadi durja. Ia menangis tanpa suara, lalu berlari ke bangkunya. Sambil terisak dia mengomel dan menggerutu.
"Helen, jawab saya. Ada masalah apa lagi denganmu?" aku bertanya lebih lanjut. Rasa kesal masih menyelinap dalam diri, terutama kepada Helen.
Dia menggeleng, "Tidak ada apa-apa Ma'am.."
"Jangan bohong, kalau tidak ada apa-apa, mengapa kamu malah mengomel-ngomel tak jelas.."sanggahku cepat.
Dia menunduk, kali ini dia tak mengucapkan sepatah kata pun. Aku semakin  kesal dan penasaran. Suasana kelas menjadi berisik, semua anak tampak kasak-kusuk melihat kejadian ini.
Akhirnya aku memanggil salah satu muridku yang duduk di belakang Helen.
"Kamu tahu apa yang dikeluhkesahkan oleh Helen tadi..?" tanyaku kepada anak laki-laki itu.
Helen segera menatap temannya, seakan ingin melarang dia untuk buka suara.
"Ayo, katakan kepada saya apa yang diomeli Helen tadi sama kamu..?"
Aku segera berbalik menatap Helen dan memintanya untuk diam.
Dengan suara pelan, anak laki-laki yang bernama Bimo itu menyampaikan sesuatu yang membuat aku menjadi terpukul.
"Helen sedih Ma'am. Dia kecewa sama Ma'am karena Ma'am menyuruhnya belajar dengan mamanya. Helen jadi sedih karena Ma'am seakan menuduh orang tuanya tidak peduli dengan Helen, padahal....."
"Padahal apa Bim?" desakku.
Helen semakin berurai air mata, kali ini isaknya tak terdengar.
"Karena mamanya sudah lama tidak tinggal dengan Helen lagi...sudah hampir setahun."
Penjelasan Bimo sontak membuatku malu dan terpukul. Sebuah penyesalan langsung menyeruak di dalam dada. Pantas saja Helen yang super cerewet itu menangis sesunggukan. Ternyata dia adalah korban broken home.
Aku kembali menghela napas. Aku meminta Helen mendekat kepadaku. Kedua tangannya kugenggam erat.
"I am so sorry Helen..Ma'am betul-betul tidak tahu kalau mama kamu tidak tinggal lagi bersama kamu."
"Mama kamu ada di mana sekarang? Kerja atau..?" tanyaku lembut.
Sambil berusaha menghapus air mata yang masih tersisa di pipi, Helen menjawab dengan tegas.
"Mama saya sudah bercerai dengan papa. Mama meninggalkan saya dan kakak-kakak saya.."
Hatiku terasa tercabik-cabik begitu mendengar penjelasan Helen. Kasihan dia. Pantas saja dia mengeluarkan semua rasa sedih dan gamangnya dengan perilaku yang menghibur dirinya. Menjadi sosok yang banyak bicara atau cerewet ternyata adalah salah satu caranya untuk menutupi rasa kecewa dan sedih sebagai seorang anak broken home.
Aku merasa semakin miris saat dia bercerita keseharian hidupnya di rumah. Mulai dari makan nasi bungkus setiap hari hingga harus dititipkan ke tetangga jika sang papa harus bekerja jauh darinya.
Helen mungkin bukan satu-satunya murid yang mengalami nasib seperti ini, tetapi sebagai guru sudah selayaknya mengetahui latar belakang murid-muridnya.
Guru harus paham bahwa setiap murid yang bermasalah pasti ada sebab dan latar belakangnya. Dari pengalaman bersama Helen, aku menjadi semakin memahami bahwa menjadi guru itu berat. Kita harus pandai-pandai mengatur emosi diri dan emosi para murid.
Mencari tahu latar belakang penyebab semua masalah murid dan terus berusaha mendampingi mereka dengan sepenuh hati.
"Maafkan Ma'am ya Helen, semoga kamu bisa menjadi anak yang kuat meskipun tidak bersama mama lagi. Tetap doakan mamamu dan mintalah pada Tuhan agar kamu bisa bersatu lagi dengan mama.."pesanku kepadanya.
Helen si cerewet itu tersenyum manis. Sekarang dia sudah lebih pandai mengontrol dirinya agar tidak secerewet dulu lagi. Ah Helen!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H