Ternyata masih banyak siswa yang belum paham bagaimana cara membuangnya.Â
4. Guru menyelipkan edukasi berupa petunjuk bagaimana cara membuang sampah plastik (botol, gelas, sedotan) sebelum dibuang ke tempat sampah.
5. Memberikan kesempatan bagi siswa untuk menyampaikan alasan, gagasan dan pendapat mengenai permasalahan yang terjadi di      dalam kelas mereka. Kali ini saya memberikan tantangan kepada mereka dengan tujuan agar mereka mengakui kesalahan telah meninggalkan sampah di dalam laci mereka. Saya melakukan hal ini untuk mencari tahu siapa saja yang telah melakukannya, karena saat ditanya secara langsung, mereka jarang mengakuinya dan justru angkat tangan dengan mengatakan, "Itu bukan sampah saya/ saya tidak melakukannya"
Ternyata banyak sekali anak-anak (yang menurut saya bukan pelakunya) antusias untuk menyampaikan alasan mereka. Itu dikarenakan iming-iming saya untuk memberikan nilai/poin tambahan. Mereka rela menyatakan alasan (yang dibuat-buat) mengapa meninggalkan sampah di laci meja karena demi mendapatkan nilai/poin dari saya.
Dari cara-cara yang saya lakukan akhirnya saya menyimpulkan bahwa:
1. Berkurangnya rasa peduli dan tanggung jawab terhadap lingkungan sekitar.
2. Minimnya literasi terhadap pemahaman pada pertanyaan dan pernyataan lisan.
3. Siswa cenderung pada score oriented atau berpusat pada perolehan nilai tanpa menikmati dan menjalani proses. Ini terbukti pada antusiasme siswa yang ingin menjawab pertanyaan atau melontarkan gagasan tentang sampah di dalam laci meja.
4. Siswa tidak berani mengungkapkan pendapat dan kritikan terhadap peraturan yang diberikan oleh guru kelas yaitu dilarang berjalan atau keluar kelas dengan alasan membuang sampah ke tong sampah.
Semua yang terjadi di kelas tersebut menyadarkan saya bahwa seharusnya guru adalah pilar terpenting dalam pendidikan karakter yang mampu memberikan contoh nyata yang menginspirasi siswa.
Guru memberikan teladan dalam tindakan sehari-hari dan mendorong siswa  untuk menjadi pribadi yang berkarakter tangguh, cerdas dan berakhlak mulia.