Mohon tunggu...
Indah budiarti
Indah budiarti Mohon Tunggu... Guru - https://www.kompasiana.com/indahbudiarti4992

Guru biasa dalam kesederhanaan. Berani mencoba selagi ada kesempatan. Menulis untuk keabadian.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Sampah di Dalam Laci Meja Ruang Kelas

2 November 2024   16:35 Diperbarui: 2 November 2024   16:53 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya pernah membaca sebuah postingan yang sempat berseliweran di media sosial saya bahwa orang tua di Jepang lebih khawatir jika anaknya tidak bisa mengantre dari pada tidak bisa matematika. Bagi saya itu adalah suatu keyakinan akan perkembangan karakter seseorang dimulai pada usia dini. Lalu mengapa hal tersebut terjadi berbalik dengan di Indonesia?

Mengapa masih banyak orang tua yang takut dan kecewa akan hasil dari kemampuan akademik putra-putrinya? Masih adakah orang tua yang malu jika anak-anaknya tak pandai matematika atau mata pelajaran lainnya?

Memang benar sekali jika pendidikan karakter seorang anak dimulai dari keluarga. Orang tua memegang peranan penting dan yang paling bertanggung jawab dalam hal ini. Bagaimana dengan sekolah? Berapa persenkah peran serta pendidikan di sekolah terutama dalam perkembangan karakter?

Ternyata sekolah juga berperan besar dalam perkembangan karakter seorang anak asal dilaksanakan dengan dasar rasa cinta dan kasih. Ini artinya adalah sebuah sekolah harus memiliki guru-guru yang tidak hanya berkualitas dalam ilmu pedagogik dan akademik saja namun juga guru yang memiliki wawasan dan rasa memiliki, peduli dan tentu saja cinta.

Saya akan menuliskan sebuah pengalaman yang sangat berarti bagi saya sebagai seorang guru yang masih sangat sederhana dan harus terus belajar.

Saya adalah guru pada sebuah sekolah dasar. Saya bukan guru kelas tetapi guru mata pelajaran yaitu bahasa Inggris. Ada suatu hal yang mengharuskan saya untuk tidak mengajarkan materi bahasa Inggris di salah satu kelas. 

Saya menemukan bahwa kelas tersebut sedang dalam keadaan sedang tidak baik. Ada sesuatu yang harus saya benahi saat itu juga. Tentu saja hal ini membuat saya berpikir keras bagaimana dan apa yang harus saya lakukan di kelas ini.

Beberapa hari sebelumnya saat saya hendak memulai pelajaran, saya melihat lantai kelas kotor. Ada beberapa sampah yang tergeletak di sana, seperti masker, bungkus plastik, sobekan kertas dan gelas plastik bekas minuman. Tentu saja hal ini membuat tak nyaman untuk memulai kegiatan belajar. 

Saya tidak meminta siswa di kelas itu untuk membersihkannya. Saya tetap memulai kegiatan dengan materi pelajaran yang saya ampu.

Untuk mengetahui tingkat kesadaran siswa di kelas itu, saya sisihkan waktu untuk mengambil sampah-sampah tadi di saat mereka sedang mengerjakan latihan tertulis. Saya tidak mengambilnya dengan diam, tetapi sambil meminta izin kepada mereka agar saya diperkenankan untuk mengumpulkan semua sampah tersebut dan memasukkan ke dalam kantong plastik besar.

Saya sungguh berharap ada rasa kepedulian mereka pada hal yang saya lakukan, namun sayang tidak ada yang peduli. Tidak ada siswa yang mau membantu saya atau setidaknya mengucapkan kata maaf dan terima kasih.

Hal ini membuat saya berpikir lebih keras lagi, bagaimana menyadarkan mereka akan semua itu. Baiklah, aksi berikutnya saya tunjukkan kepada mereka. Kantong plastik yang berisi sampah-sampah tadi saya letakkan di depan kelas. Selanjutnya saya berharap ada siswa yang peduli dan membuangnya ke tempat sampah yang ada di luar kelas. Namun apa yang terjadi, membutuhkan waktu yang lama bagi mereka untuk membuangnya.

Tidak sampai di situ saja, kelas ini ternyata kembali membuat ulah. Setelah dua hari, saya kembali menemukan sampah di dalam kelas ini, kelas yang sama. Kali ini mereka tidak membuangnya di lantai, namun menyimpannya di dalam laci. Saya menemukan banyak laci meja di kelas ini yang berisi dengan sampah yang sengaja atau tidak sengaja dilakukan oleh para siswa.

Tugas saya semakin berat. Ada masalah apa dengan mereka sehingga laci mereka penuh dengan sampah? Tidak hanya sampah bekas pembungkus makanan atau lainnya, tetapi saya juga menemukan makanan. Duh!

Suatu hari, saya masuk ke kelas itu dan tidak berencana memberikan materi pelajaran yang saya ampu. Semalaman saya mencoba merancang kegiatan bagi siswa di kelas itu agar mereka lebih peduli dengan kebersihan dan sekaligus mencari tahu masalah apa yang sedang dihadapi.

Inilah beberapa tips dari saya untuk mengatasi hal tersebut:

1.  Memberikan kegiatan berupa kuis atau pertanyaan stimulus agar anak mampu bernalar kritis :

     - menebak beberapa arti kata dalam bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia seperti zero waste, plastic waste, reuse, recycle dan                lain-lain.

2. Siswa diberikan tantangan untuk menghitung barang atau benda bekas pakai yang termasuk ke dalam golongan plastic waste atau        organic waste.

    Ini bertujuan untuk melatih rasa ingin tahu dan meningkatkan kepedulian dan pengetahuan mengenai jenis-jenis sampah dan pengetahuan kosa kata bahasa Inggris.

3. Siswa diminta untuk menunjukkan aksi bagaimana cara membuang sampah/botol plastik yang benar.

     Ternyata masih banyak siswa yang belum paham bagaimana cara membuangnya. 

4. Guru menyelipkan edukasi berupa petunjuk bagaimana cara membuang sampah plastik (botol, gelas, sedotan) sebelum dibuang ke tempat sampah.

5. Memberikan kesempatan bagi siswa untuk menyampaikan alasan, gagasan dan pendapat mengenai permasalahan yang terjadi di          dalam kelas mereka. Kali ini saya memberikan tantangan kepada mereka dengan tujuan agar mereka mengakui kesalahan telah meninggalkan sampah di dalam laci mereka. Saya melakukan hal ini untuk mencari tahu siapa saja yang telah melakukannya, karena saat ditanya secara langsung, mereka jarang mengakuinya dan justru angkat tangan dengan mengatakan, "Itu bukan sampah saya/ saya tidak melakukannya"

Ternyata banyak sekali anak-anak (yang menurut saya bukan pelakunya) antusias untuk menyampaikan alasan mereka. Itu dikarenakan iming-iming saya untuk memberikan nilai/poin tambahan. Mereka rela menyatakan alasan (yang dibuat-buat) mengapa meninggalkan sampah di laci meja karena demi mendapatkan nilai/poin dari saya.

Dari cara-cara yang saya lakukan akhirnya saya menyimpulkan bahwa:

1. Berkurangnya rasa peduli dan tanggung jawab terhadap lingkungan sekitar.

2. Minimnya literasi terhadap pemahaman pada pertanyaan dan pernyataan lisan.

3. Siswa cenderung pada score oriented atau berpusat pada perolehan nilai tanpa menikmati dan menjalani proses. Ini terbukti pada antusiasme siswa yang ingin menjawab pertanyaan atau melontarkan gagasan tentang sampah di dalam laci meja.

4. Siswa tidak berani mengungkapkan pendapat dan kritikan terhadap peraturan yang diberikan oleh guru kelas yaitu dilarang berjalan atau keluar kelas dengan alasan membuang sampah ke tong sampah.

Semua yang terjadi di kelas tersebut menyadarkan saya bahwa seharusnya guru adalah pilar terpenting dalam pendidikan karakter yang mampu memberikan contoh nyata yang menginspirasi siswa.

Guru memberikan teladan dalam tindakan sehari-hari dan mendorong siswa  untuk menjadi pribadi yang berkarakter tangguh, cerdas dan berakhlak mulia.

Ternyata sekolahpun bisa menjadi bagian terbesar dari perkembangan karakter anak asal saja gurunya mau bersinergi untuk mewujudkan generasi muda yang tangguh di masa mendatang. Guru harus memiliki keterampilan untuk berkomunikasi dan melakukan pendekatan dengan siswa dan permasalahannya di sekolah.

Menjadi guru kelas bukan saja bertanggung jawab pada penyampaian materi kepada siswanya saja, tapi lebih dari itu untuk membentuk karakter anak dari hal-hal kecil seperti menegur anak yang membuang sampah tidak pada tempatnya. Memberikan keleluasaan bagi anak untuk menyampaikan pendapat pada sebuah peraturan yang tidak sesuai bagi mereka.

Karena sang guru kelas mengizinkan anak makan di dalam kelas, namun melarang anak keluar masuk kelas untuk membuang sampahnya dengan alasan agar tidak ketinggalan pelajaran.

Menjadi guru tidaklah gampang, banyak hal yang harus dikuasai dengan baik seperti mengatur kelas, mengatasi masalah di dalam kelas, memberi teladan dan menanamkan karakter baik. Memberikan materi pelajaran tidaklah cukup bagi mereka, namun memberikan pendidikan dasar tentang bagaimana bertingkah laku baik (well being attitude) adalah modal utama bagi anak-anak sekolah dasar. Jangan sampai kita sebagai orang tua dan guru selalu bangga pada hasil akademis siswa namun bentukan sikap dan perilaku mereka terabaikan.

Yuk bersama kita peduli agar tidak ada lagi sampah di dalam laci meja ruang kelas, tidak ada lagi perilaku perundungan dan semua yang tidak kita harapkan. 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun