Mohon tunggu...
Indah Ayu Nurkumala
Indah Ayu Nurkumala Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

An-Najm 39-41

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Studi Kajian Tafsir Tematik: Kebebasan dalam Beragama

23 Desember 2021   13:56 Diperbarui: 23 Desember 2021   20:59 291
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pendahuluan

Allah menjadikan manusia sebagai khalifah di dumi untuk menjalankan ketetapan dan ketentuan-Nya. dengan demikian manusia diberikan tugas dan kewajiban yang dilengkapi oleh peraturan, ketentuan dan hak asasi agar dapat menjalankan tugasnya dengan baik dan agar mendapat kenikmatan dalam hidup. Hakikatnya, kenikmatan berasal dari ketenangan dan ketentraman batin. Sedangkan ketentraman dan ketengan batin yang hakiki itu sendiri di isi oleh agama.

Agama merupakan salah satu dari keberagaman yang ada sebagai hal yang tidak dapat dihindari, maka dari itu manusia dituntut untuk menghargai dan menghormati setiap perbedaan. Sikap toleransi dalam kehidupan beragama dapat terwujud mana kala terdapat kebebasan dalam kehidupan masyarakat untuk memeluk agama dan keyakinan masing-masing.

 Islam sebagai agama universal mengakui akan adanya pemberian kebebasan kepada setiap manusia untuk menjalankan keyakinan, mengatur hidupnya, dan menentukan nasib masing-masing selama tidak bertentangan dengan nilai dan syarat terciptanya ketertiban di tengah-tengah masyarakat. Dalam hal ini Islam melarang akan adanya pemaksaan kepada penganut agama lain untuk memeluk Islam.

Kebebasan beragama yang dimaksud adalah kebebasan dalam berakidah atau berkeyakianan dan kebebasan melakukan ibadah, maka Islam tidak dapat menerima perlakuan seseorang untuk memaksa orang lain meninggalkan keyakinannya untuk memeluk suatu agama yang tidak ia sukai. Maka dari itu, pada pembahasan kali ini akan dikupas bagaimana Alquran sebagai pedoman umat Islam berbicara tentang kebebasan dalam beragama melalui penafsiran surat al-Baqarah ayat 256.

Surat al-Baqarah Ayat 256.

"Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas (perbedaan) antara jalan yang benar dengan jalan yang sesat. Barang siapa ingkar kepada Tagut dan beriman kepada Allah, maka sungguh, dia telah berpegang (teguh) pada tali yang sangat kuat yang tidak akan putus. Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui."

Asbab al-Nuzul

Asbabun Nuszul ayat ini berdasarkan riwayat dari Ibn Abbas, " Dahulu ada seorang wanita yang melahirkan anaknya beberapa bayi namun tidak satupun dari mereka yang bertahan hidup. Kemudian ia pun bernazar atas dirinya apabila satu saja anaknya yang bertahan hidup maka ia akan menjadikannya seorang Yahudi. Ketika Bani Nadhir diusir dari Madinah karena melanggar perjanjian dengan Nabi, ada beberpa putra kaum anshar yang ikut pergibersama mereka. Mengetahui hal itu, kaum Anshar mengatakan, 'kami tidak membiarkan anak-anak kami meninggalkan Madinah bersama kaum Yahudi itu.' Allah SWT lalu menurunkan ayat, la ikraha fid-din qad tabayyanar-rusydu minal-gayy."

  

Munasabah

Wahbah Zuhaili menyebutkan ayat kursi yang ada pada ayat sebelumnya tentang sifat-sifat Allah bahwa hanya Dia lah yang memiliki sifat ketuhanan, hanya Allah Dzat ayng menguasai segala kesuasaan dan kerajaan di langit dan di bumi, yang Maha Hidup lagi Kekal, Dzat yang mengatur segala perkara tanpa merasa lelah dan susah. Dzat yang ilmu-Nya meliputi segala sesuatu. Oleh karen itu setelah adanya penjelasan dari ayat ini,  pada ayat selanjutnya yakni al-Baqarah ayat 256 dijelaskan bahwa tidak ada paksaan untyk memeluk agama Islam, karena fitrah seluruh alam semesta dan pemikiran yang benar nan lurus ini dapat membawa kepada keimanan akan wujud dan keesaan Allah SWT. membawa keyakinan terhadap Islam sebagai agama dan manhaj kehidupan.

Tafsir

Tafsir Ayat bi al-Ayat 

kata pada awal ini bermakna "tidak ada paksaan", yang berawal darikata dasar  memiliki arti rasa benci, tidak suka, ketidak sayangan, keengganan, ketidak kasihan dan lain sejenisnya diuluang sebanyak 23 kali sebagai kata kerja dalam Alquran.

Pada surat al-Baqarah ayat 256 dinyatakan secara gamblang bahwa tidak ada paksaan dalam menganut suatu keyakinan, Allah menghendaki agar setiap orang merasakan kedamaian. Konsideran yang dijelaskan ayat tersebut adalah karena telah jelas jalan yang lurus. Adapaun ayat yang senada dengan ayat tersebut, antara lain:

 

Yunus (10): 99-100

"Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya? Dan tidak ada seorang pun akan beriman kecuali dengan izin Allah; dan Allah menimpakan kemurkaan kepada orang-orang yang tidak mempergunakan akalnya." 

 

Ayat ini secara tegas mengisyaratkan manusai diberi kebebasan untuk beriman atau tidak, di mana kekuatan tersebut tidak bersumber dari kekuatan manausia melainkan anugerah dari Allah, karena jika Allah (pemelihara dan pembimbing yang dalam ayat tersebut diisyaratkan dengan kata Rabb) menghendaki tentulah beriman seluruh manusia. Hal ini dapat dilakuakan-Nya seperti dengan mencabut kemampuan memilih dan menghiasi jiwa hanya dengan potensi positif tanpa hawa nafsu sebagaimana malaikat. Tetapi hal tersebut tidak dilakukan Allah, karena tujuan utama manusia diciptakan dengan diberi kebebasan adalah untuk menguji. Allah telah menganugerahi manusia dengan akal agar mereka menggunakannya untuk memilih.

Malalui alasan di atas maka segala bentuk bentuk pemaksaan terhadap manusia untuk memilih suatu agama tidak dibenarkan dalam Alquran, seandainya paksaan diperbolehkan maka Allah lah yang akan melakukannya sendiri sebagaimana dalam ayat tersebut. Maka dengan demikian dapat dipahami bahwa tugas para Nabi hanyalah untuk mengajak dan memberi peringatan tanpa paksaan, dan manusia akan dinilai berdasarkan bagaimana sikap dan respon terhadap seruan para Nabi tersebut.

Afa anta tukrihunnasa "apakah engkau memaksa manusia?" adalah kalusa yang pada mulanya ditujukan kepada Nabi Muhammad terkait sikap beliau yang bersungguh-sungguh ingin mengajak manusia seluruhnya beriman, beliau terkadang melakukan hal di luar batas kemampuannya hingga hampir mencelakakn diri sendiri. Pada penggalan ayat ini Allah menengur Nabi dan orang yang berbuat hal serupa, dan dari sisi yang lain memuji kesungguhannya.

 

Al-Kahfi (18): 6

"Maka barangkali engkau (Muhammad) akan mencelakakan dirimu karena bersedih hati setelah mereka berpaling, sekiranya mereka tidak beriman kepada keterangan ini (Al-Qur'an)."

 

Ibnu Katsir menyampaikan dalam kitab tafsirnya bahwa Allah berfirman seraya menghibur Nabi Muhammad atas kesedihan beliau karena tindakan orang musyrik yang meninggalkan dan menjauhnya mereka dari keimanan. Qatadah mengatakan "Engkau membunuh dirimu sendiri karena murka dan sedih atas mereka." Mujahid mengatakan "Yakni keluh kesah."

Setiap pengertian tersebut sangat berdekatan. Maka dengan kata lain, janganlah kamu kecewa terhadap mereka, tetapi sampaikanlah risalah kepada mereka. Barang siapa yang mendapat petunjuk maka yang demikian itu untuk dirinya sendiri. Dan barang siapa yang sesat maka ia sendiri yang telah menyesatkan dirinya. Dan janganlah kamu membinasakan dirimu karena mereka.

 

Al-Fatir (35): 8

"Maka janganlah dirimu binasa karena kesedihan terhadap mereka."

 Al-Kisa'i mengatakan bahwa ini perkataan Arab nan indah, hanya sedikit orang yang mengetahuinya. Makna pada ayat ini adalah Allah melarang Nabi Muhammad untuk berduka dan bersedih terhadap mereka sebagaimana dalam surat al-Khafi (18): 6.

Mansubnya hasaraatin karena sebagai illah (alasan) yakni: lilhasaraati (karena kesedihan). Bisa juga mansubnya karena sebagai haal (keterangan kondisi), seakan-akan semuanya adalah kesedihan, terlalu bersedih, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Sibawaih. Al-Mubarrad berkata, "sesungguhnya ini adalah tamyiz." Al-hasratu adalah kesedihan yang sangat akibat luputnya sesuatu. Maka dari itu Allah melarang Rasulullah untuk bersedih, karena pada awal ayat ini merupakan penegasan apa yang telah dikemukakan tentang perbedaan antar ke dua golongan.

Salah satu hak asasi manusia adalah adanya kebebasan dalam memilih agama mereka bedasarkan keyakinannya. Hal ini yang membedakan manusia dengan makhluk yang lain. Takdir utama atas manusia adalah makhluk yang diberi kebebasan oleh Allah, apakah akan mengikuti petunjuk jalan yang benar dengan memeluk Islam atau memilih keyakinan agama yang lain, semua diserahkan manusai untuk memilihnya. Berdasarkan pilihan yang telah ditentukannya tersebut maka setiap manusia akan dimintai pertanggung jawabannya kelak di akhirat. Prinsip kebebasan ini telah Allah tegaskan dalam surat al-Kahfi ayat 29.

 

Al-Kahfi (18): 29

 "Dan katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir"".

 

Prinsip bahwa sesorang bebas untuk dapat menentukan pilihan agamanya adalah pilar utama dalam tatanan masyarakat. Praktek tersebut dengan sangat baik telah dilaksanakan oleh Rasulullah sepanjang dakwahnya, tidak pernah terdengar bahwa beliau pernah memaksa seseorang untuk masuk Islam.

Prinsip kebebasan beragama ini sama sekali tidak berhubungan dengan kebenaran satu agama, Alquran dengan jelas menyatakan bahwa hanya agama Islam lah yang haq (surah al-Imran (3): 19 dan 85), maka prinsip tersebut bukan berarti Alquran mengakui seluruh agama dalah benar, tetapi poin utamanya adalah bahwa keberagaman seseorang haruslah didasarkan pada kerelaan dan ketulusan hati tanpa ada paksaan, karena di sisi Allah terdapat mekanisme pertanggung jawaban yang akan diterima oleh manusia.

 

Tafsir Ayat bi al-Hadis

Hadist pertama, diriwayatkan dalam Shahih al-Bukhari dalam kitab Abwab al-Jizyah wa al-Muwada'ah: "(Al-Bukhari berkata) Qais bin Hafsh telah menyampaikan kepada kami (katanya), 'Abd al-Wahid telah menyampaikan kepada kami (katanya), al-Hasan bin 'Amru telah menyampaikan kepada kami (katanya), Mujahid telah menyampaikan kepada kami, dari 'Abd Allah bin 'Amru ra dari Nabi SAW, ia berkata: "Siapapun yang memerangi (kafir) mu'ahad, dia tidak (akan) mendapatkan wanginya surge, karena wangi surga itu dapat dijangkau dari empat puluh tahun perjalanan." (HR. Bukhari).

Hadis kedua, diriwayatkan dalam Sunan Abi Daud kitab al-Jihad: "Abu Daud (berkata) Muhammad bin Umar bin 'Ali al-Muqaddami telah menyampaikan kepada kami, katanya Asy'ats bin 'Abdullah (al-Sijistani) telah menyampaikan kepada kami. (Pada jalur yang lain Abu Daud berkata:) Muhammad bin Basysyar telah menyampaikan kepada kami, katanya Ibn Abi 'Adi telah menyampaikan kepada kami, ini adalah ungkapannya. (Pada jalur yang lain pula, Ab Daud berkata:) al-Hasan bin 'Ali telah menyampaikan kepada kami, katanya Wahb bin Jarir telah menyampaikan kepada kami, dari Syu'bah dari Abi Bisyr dari Sa'id bin Jubair dari Ibn 'Abbas, ia berkata: Dahulu ada seorang perempuan yang setiap kali anak yang dilahirkannya selalu meninggal, maka dia pun berjanji, kalau sekiranya nanti anaknya bisa hidup, dia akan memasukkan ke agama Yahudi. Maka ketika suku Bani Nadir telah masuk Islam, mereka masih punya anak-anak Anshr (yang masih beragama Yahudi). Mereka mengatakan: Kita tidak akan membiarkan begitu saja agama anak-anak kita. Maka Allah menurunkan ayat: "Tidak ada paksaan dalam beragama, telah jelas yang benar dari yang sesat". (HR. Ab Dud).

Hadis di atas mengajarkan bahwa setiap pemeluk agama memiliki hak yang sama untuk memeluk dan melaksanakan ajaran agamanya masing-masing tanpa ada tekanan dan paksaan dari manapun. Hadis di atas memberi penjelasan kepada umat Muslim untuk menghargai dan menghormati setiap pemeluk agama meskipun berbeda. Hubungan antara sesama manusia (habl min al-ns) tidak dipandang dari perbedaan agama.

Tafsir Ayat bi al-Mufassir

At-Thabari menafsirkan bahwa sesorang tidak boleh dipaksa untuk memeluk agama Islam, sesungguhnya huruf alif  dan lam pada kata الدين  untuk mema’rifahkan lafadz tersebut, yang Allah maksud dengannya adalah tidak ada paksaan memasukinya yaitu agama Islam. Sungguh sangat jelas perbedaan antara kebenaran dan kebatilan, dan menjadi terang bagi pencari kebenaran dan petunjuk jalannya, maka ia terbebas dari kesesatan dan kekeliruan. Jangan sekali-kali kamu paksa masuk agama kamu (Islam) para ahli kitab dan orang yang aku perbolehkan mengambil pajak darinya; maka sesungguhnya orang yang menyipang dari kebenaran setelah ia mendapatkan petunjuk, maka balasannya diserahkan kepada Allah. dia yang Maha Mengatahui siksa di akhirat. Barang siaa kafir terhadap taghut dan beriman kepada Allah maka sesungguhnya ia telah berlindung dengan ketaatan kepada Allah, yang dengannya seseorang tidak merasa takut dan khawatir akan dihinakan, sebagaimana orang yang berpegang dengan kuat pada suatu ikatan yang dia tidak merasa khawatir akan putus. Dan Allah Maha Mendengar iman orang mukmin, kafir terhadap thagut ketika pengukuhan ke Esaan Allah dan bebas dari sekutu dan berhala yang disembah selain-Nya. Allah Maha Mengetahui dengan keinginan hatinya menauhidkan Allah dan memurnikan ketuhanan-Nya serta membesarkan apa yang mengerumuni hatinya yang dapat berupa segala sesuatu yang disembunyikan dalam diri seseorang. Tidak ada satu pun rahasia yang tersembunyi bagi Allah dan tidak ada satu pun permasalahn yang tertutup dari-Nya. semuanya akan mendapat ganjaran kelak di hari kiamat. Jika merupakan perbuatan baik maka akan dibalas dengan kebaikan, dan sebaliknya.

Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy dalam kitabnya menyebutkan tidak boleh ada paksaan dan tindakan kekerasan untuk masuk ke dalam agama. Iman itu tunduk dan khusdu’. Untuk mencapai hal itu tidak dapat dilakukan dengan paksaan dan tekanan, tetapi harus dengan alasan dan penjelasan yang meyakinkan. Iman adalah urusan hati, maka tidak ada seorang pun dapat menguasai hati manusia. Telah jelas bahwa Islam membawa petunjuk dan kemenangan, sedangkan agama yang lain sesat dan menyimpang dari kebenaran. Karena itu tidak perlu memaksa dan menekan orang lain dalam beragama. Barangsiapa mengkufuri berhala dan segala yang disembah selain Allah dan beriman kepada Allah, mengharapkan pertolongan-Nya, dan mengakui Allah telah mengutus Rasul-Rasul-Nya untuk memberi kabar gembira dan peringatan, sungguh orang tersebut telah berpegang kukuh pada tempat pegangan yang kuat. Allah mendengar segala ucapan mereka yang mengatakan beriman kepada Allah dan mengetahui apa yang dirahasiakan dalam hatinya, baik diucapkan atau tidak. Maka orang yang mengaku segala urusan berjalan dengan ketentuan Allah maka itulah mukmin yang sebenarnya. Sebaliknya, orang yang dalam jiwanya terdapat pengaruh berhala, layak menerima azab.

Dalam tafsir Al-Qurthubi dijelakan bahwa Ayat ini tidak dinasakh, ayat ini turun pada ahli kitab saja. Mereka tidak dipaksa untuk memeluk agama Islam apabila mereka amu menyarahkan upeti. Yang dipaksa memeluk agam Islam adalah penyembah berhala, tidak diterima dari mereka kecuali mereka mau memeluk agama Islam. Mereka inilah yang dimaksud dalam ayat 66 surat at-Tahrim: “Hai Nabi perangilah orang-orang kafir dan orang-orang munafik.” Ini adalah pendapat Asy-Sya’bi,Qatadah, dan Adh-Dhahhak.

selanjutnya dalam tafsir Munir disebutkan janganlah kalian memaksa seseorang untuk masuk Islam, karena bukti dan dalil kebenaran Islam sudah sangat jelas, jadi tidak perlu ada paksaan untuk memeluknya. Karena keimanan adalah kesadaran dan kerelaan, hujjah dan bukti-bukti, jadi tidak ada gunanya segala bentuk paksaan. Telah jalan kebenaran dan jalan kebatilan, telah jelas bahwa Islam adalah jalan kebenaran sedangkan selain Islam adalah jalan kesesatan. Jadi semua orang memiliki kebebasan untuk beriman atau kafir. Allah Maha Mendengar terhadap ucapan orang yang mengaku ingkar kepada thaguut, dan iman kepada-Nya, Maha Mengetahui apa yang tersimpan di dalam hati manusia berupa pembenaran atau pendustaan.

Penafsiran terakhir adalah sebagaimana yang disebutkan oleh M Quraish Shihab yakni mengapa ada paksaan, padahal Dia tidak membutuhkan sesuatu. Allah menghendaki agar setiap orang merasakan kedamaian. Agama-Nya dinamai Islam, yang berarti damai yang hanya dapat diraih oleh dalam keadaan jiwa yang tenang. Paksaan menyebabkan jiwa tidak damai, karena itu tidak ada paksaan dalam menganut keyakinan agama Islam. Mengapa ada paksaan, padahal telah jelas jalan yang benar dan jalan yang sesat. Jika demikian, sangat wajar setiap pejalan memilih jalan yang benar, dan tidak terbawa ke jalan yang sesat. Sangatlah wajar semua masuk agama ini, maka pasti ada yang keliru dalam jiwa seseorang jika menelusuri jalan yang lurus setelah jelas jalan itu terbentang di hadapannya. Barang siapa beriman kepada Allah dan mengingkari segala sesuatu yang mematikan akal dan memalingkannya dari kebenaran, maka sesungguhnya ia telah berpegang teguh pada penyebab terkuat untuk tidak terjerumus ke dalam jurang. Allah Maha Mendengar apa yang kalian katakan, Maha Melihat apa yang kalian lakukan, maka Dia pun akan membalasnya dengan yang setimpal.

 

Manusia dilahirkan dalam keadaan bebas. Kebebasan mereka dalam kehidupan benar-benar mutlak dalam segala hal, hingga bertemu dengan kebenaran atau kebaikan. Hak kebebasan beragama merupakan hak yang esensi bagi manusia yang memungkinkan ia sanggup untuk menjawab dengan bebas panggilan kecintaan dari Tuhan dan untuk menjawab penciptanya. Hak untuk beriman secara bebas termasuk dalam kerangka kebebasan hati nurani perorangan. Kebutuhan untuk menjamin kebebasan beragama harus diikuti dengan perlindungan hak-hak asasi manusia yang lain, yakni hak berkumpul; mencari, menerima, dan memberikan penerangan, dan mengajarkan agama atau kepercayaan. Kebebasan beragama juga mendorong penerapan kebebasan agama atau kepercayaan dalam ranah sosial, ekonomi, dan politik dalam lingkup nasional maupun internasional.

Kebebasan beragama difahami sebagai prinsip bahwa setiap individu bebas memilih dan mengimani agamanya serta mengamalkan sepenuhnya ajaran-ajaran agama yang diyakininya. Islam memberi kebebasan kepada warganya untuk memeluk agama masing-masing dan tidak diperbolehkan memaksakan keyakinannya kepada orang lain. Dengan demikian, maka tidak dibenarkan ada pihak-pihak lain untuk mengganggu-gugat hak yang paling dasar ini, baik berupa pengingkaran sepenuhnya atau hanya sekadar pereduksian.

Meskipun tidak ada kebenaran sekaligus kebaikan yang lebih baik daripada Islam dan meskipun setiap Muslim ditugaskan untuk mengajak manusia memeluk Islam dan mengemukakan argumen-argumen yang memperkokoh Islam, namun mereka tidak diminta menyebarkan iman dengan kekerasan. Siapa pun yang menerima Islam adalah melakukannya atas pilihannya sendiri. Muslim dituntut mengakui dan menghormati keputusan orang lain yang tidak menerima Islam dan dilarang menggunakan tekanan moral, sosial, ataupun politik yang dikenakan terhadap mereka untuk mengubah keyakinannya.

Setiap Muslim wajib menghormati dan menghargai hak asasi sesamanya, yang berupa jaminan atas hidup dan harta kekayaan, perlindungan kehormatan, kepribadian dan jaminan kehidupan pribadi, jaminan kebebasan pribadi, hak untuk menentang tirani, kebebasan mengeluarkan pendapat, kebebasan berserikat, kebebasan mengeluarkan ucapan hati nurani dan keyakinan, perlindungan terhadap sentimen-sentimen keagamaan, perlindungan dari penghukuman yang sewenang-wenang, hak atas kebutuhan-kebutuhan hidup pokok, persamaan kedudukan di hadapan hukum, hak untuk menjauhi perbuatan dosa, dan hak ikut serta dalam urusan negara.

Praktik kebebasan memeluk dan menjalankan suatu agama dalam sejarah Islam sudah terjadi seperti diatur dalam Piagam Madinah dan Piagam Aelia di Jerusalem. Kaum non-muslim diberi kebebasan menjalankan agama mereka dengan batasan-batasan tertentu. Kebebasan beragama bukan kebebasan untuk merusak agama atau menodai agama, karena pengrusakan atau penyelewengan ajaran Islam merupakan tindak kriminal.

Analisis

Nabi Muhammad diutus bukan tidak hanya untuk sekelompok orang tertentu tetapi juga sebagai rahmat bagi seluruh umat manusia bahkan alam semesta. Oleh karenanya ajaran yang dibawa oleh beliau adalah hal-hal yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan sekaligus menjaga harkat dan martabat manusia. Salah satu nilai-nilai kemanusiaan lain yang dijaga adalah jaminan kebebasan beragama.

Kebebasan beragama yang dilakukan Nabi Muhammad SAW ketika berdakwah, beliau tidak memaksa seorangpun yang di dakwahinya untuk masuk Islam. Sejumlah peristiwa di kehidupan Nabi Muhammad SAW membuktikan bahwa beliau adalah seorang pemimpin agama yang tidak memaksakan kehendaknya untuk mengajak orang lain memeluk agama Islam. Bahkan Nabi Muhammad memberikan kebebasan memeluk agama. Selain itu Nabi Muhammad juga menjamin kebebasan beragama atau melaksanakan ibadah masing-masing pemeluk agama. Jaminan tersebut tertuang dalam perjanjian seluruh penduduk Yatsrib (Madnah) yang kemudian dikenal dengan nama Madnah Charter atau Piagam Madinah. Di samping itu umat juga diperintahkan untuk tidak mengolok-olok peribadahan orang kafir, mengganggu dan membantu ibadah mereka.

Allah mengingatkan para hamba-Nya agar memperhatikan perintah-perintah Allah ini, memperhatikan kebaikan dan manfaatnya lalu melaksanakannya, mengingatkan agar memperhatikan keburukan dan bahaya yang terdapat dalam larangan-larangan Allah, agar kemudian menjauhinya. Sebagian besar hukum-hukum dalam syari'at ini mempunyai kemaslahatan yang murni. Keimanan dan tauhid merupakan kemaslahatan yang murni, kemaslahatan untuk hati, ruh, badan, kehidupan dunia dan akhirat. Sedangkan kesyirikan dan kekufuran, bahaya dan mafsadatnya murni, yang menyebabkan keburukan bagi hati, badan, dunia, dan akhirat.

Kebebasan dan toleransi beragama dari Rasulullah SAW sangatlah patut untuk diteladani. Perilaku ini setidak-tidaknya membawa maslahat yang banyak antara lain: Maslahat untuk individu, dengan adanya toleransi dan kebebasan beragama yang telah dijalankan oleh Rasulullah SAW, seseorang akan merasakan ketenangan, kenyamanan dan kedamaian dalam urusan ibadahnya. Tanpa takut akan gangguan yang membahayakan dirinya. Maslahat untuk masyarakat Setiap orang sudah sepatutnya menanamkan pada dirinya sifat toleransi, serta menerapkannya dalam kehidupan sosial bermasyarakat, terutama di daerah yang di dalamnya terdapat berbagai jenis kepercayaan atau agama. Sikap toleransi antar umat beragama merupakan salah satu solusi untuk mengatasi terjadinya perpecahan diantara umat. Dalam kehidupan bermasyarakat kebebasan dan toleransi beragama akan menimbulakan rasa saling tolong menolong dalam mempertahankan wilayah dan menghadapi orang yang ingin menyerang wilayah tersebut. Maslahat untuk agama Islam sendiri, jika wilayah yang dihuni oleh umat Islam penuh dengan ketenangan dan kedamaian, maka dakwah akan semakin lebih mudah untuk dilakukan.

 

Kesimpulan

Firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 256 merupakan sebuah larangan akan adanya paksaan dalam memeluk agama Islam, karena sesungguhnya telah jelas antara yang benar dan yang sesat. Allah menghendaki sebuah kedamian dalam Islam, maka sejatinya kedamaian tidak dapat dicapai dengan sebuah pemaksan. Prinsip kebebasan untuk setiap sesorang bebas untuk dapat menentukan pilihan agamanya adalah pilar utama dalam tatanan masyarakat. Praktek tersebut dengan sangat baik telah dilaksanakan oleh Rasulullah sepanjang dakwahnya, di mana untuk menciptakan kerukunan adalah dengan adanya sikap toleransi, menghargai dan menghormati setiap perbedaan.

 Ada pun prinsip kebebasan beragama ini sama sekali tidak berhubungan dengan kebenaran satu agama, Alquran dengan jelas menyatakan bahwa hanya agama Islam lah yang haq (surah al-Imran (3): 19 dan 85), maka prinsip tersebut bukan berarti Alquran mengakui seluruh agama dalah benar, akan tetapi poin utamanya adalah bahwa keberagaman seseorang haruslah didasarkan pada kerelaan dan ketulusan hati tanpa adanya paksaan dari siapa pun, karena di sisi Allah pada akhirnya kelak terdapat mekanisme pertanggung jawaban yang akan diterima oleh manusia dari apa yang telah dilakukannya.

Daftar Pustaka

Al-Qardhawi, Yusuf. Anatomi Masyarakat Islam. Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2000.

Al-Qurthubi, Imam. Tafsir Al-Qurthubi. Terj. Fathurrahman. Jilid. 3. Jakarta: Pustaka Azzam, 2007.

Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi. Tafsir Alquranil Majid an-Nur. Jilid 1.  Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2000.

Asy-Syaukani, Imam. Tafsir Fathul Qadir. Terj. Amir Hamzah Fachruddin. Jilid 9. Jakarta: Pustaka Azzam, 2013.

At-Thabari, Abu Ja'far Muhammad bin Jarir. Tafsir at-Thabari. Terj. Ahsan Askan, dkk.   Jilid 4. Jakarta: Pustaka Azzam, 2007.

Awwabien, Ari Mulyono dan Muhammad Rasyied. "Konsep Kebebasan dan Toleransi Beragama dalam Islam", The 5th Urecol Proceeding. Februari, 2017.

Az-Zuhaili, Wahbah. Tafsir Munir. Terj. Abdul Hayyie al-Kattani. Jilid 2. Jakarta: Gema   Insani, 2013.

Departemen Agama RI, Tafsir Alquran Tematik Hubungan antar Umat Beragama. Jakarta: Badan Litbang dan Diklat LPMQ, 2008.

Hakim, Lukmanul. "Kebebasan Beragama dalam Perspektif Islam." Jurnal Pemikiran Keagamaan Tajdid, Vol. 20, No.1. Juli, 2017.

Hanafi, Muchlis M. (ed.). Asbabun-Nuzul: Kronologi dan Sebab Turun Wahyu Al-Qur'an. Cet. 2. Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur'an, 2017.

Katsir, Ibnu. Tafsir Ibnu Katsir. Terj, M. Abdul Ghoffar dkk. Jilid 5. Bogor: Pustaka Imam Syafi'i, 2003.

Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur'an, Qu'an Kemenag in Qur'an in Word 2.0. 2021.

Misrah. "Kebebasan Beragama Dalam Perspektif Hadis", Jurnal Miqot, Vol. 34, No.2. 2010.

Shihab, M. Quraish. Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur'an. Jilid 1. Jakarta: Lentera Hati, 2002.

Wijayanti,Tri Yuliana. "Kebebasan Beragama dalam Islam." Jurnal Al-Aqidah, Vol. 11,  No. 1. 2019.

http://quran.bblm.go.id/?id=25651&test=lewat diakses pada tanggal 10, Oktober 2021.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun