Mohon tunggu...
Indah AriestyLiyan
Indah AriestyLiyan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Aktif Sosiologi Universitas Brawijaya

Saya memiliki hobi menulis, saya sangat menyukai sastra, seperti puisi, novel selain itu saya juga memiliki ketertarikan pada Teater, film, nyanyi, dan sosial

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Eksklusi Sosial dan Kesehatan: Eksklusi Sosial Penderita Epilepsi

7 Juni 2021   20:11 Diperbarui: 7 Juni 2021   20:33 1458
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hal ini dikarenakan ayan/epilepsi sangat aneh dalam kacamata masyarakat awam.  Selain interaksi, masyarakat juga merasa keberatan jika harus menikah atau membangun rumah tangga dengan penderita ayan, adapun alasan dari rasa keberatan tersebut yaitu takut jika keturunannya menderita penyakit serupa, dan merasa epilepsi akan merepotkan anggota keluarga lainnya (Suryawijaya, Sam, & Gelgel, 2019).


4) Eksklusi secara ekonomi


Dalam Suryawijaya (2019) penderita epilepsi juga tereksklusi secara ekonomi. Terutama dalam bidang pekerjaaan. Penyandang epilepsi tidak boleh memiliki pekerjaaan yang sama dengan orang yang dinilai "normal". Penyandang epilepsi dilarang untuk bekerja berat dan berada pada tempat yang berbahaya seperti dekat laut, perairan, dan mengendarai motor. Hal ini bukan untuk menghindarkan hal yang tidak diinginkan pada penderita epilepsi namun justru merasa hal tersebut berpotensi mengganggu pekerja yang lain.

5) Eksklusi secara kebudayaan dan agama


Eksklusi sosial dalam kebudayaan dan agama bagi penderita epilepsi adalah kemunculan stigma terhadap mereka. Masayarakat meyakini bahwa epilepsi berhubungan kuat dengan praktik agama dan budaya. Dalam konteks negara Indonesia, hal ini juga dipengaruhi oleh beragam adat istiadat, suku dan tradisi dari penduduk asli akan doktrin-doktrin yang digua berpengaruh pada perilaku masyarakat kepada penderita epilepsi. Penderita epilepsi distigma sebagai kutukan dari Tuhan, takhayul atau masuknya roh-roh jahat (Suryawijaya, Sam, & Gelgel, 2019).

C) Mengapa Mereka Tereksklusi dan Berbeda


Penderita epilepsi yang tereksklusi bukan karna suatu hal. Tentunya saja ada beberapa faktor yang menyebabkan penderita teresklusi. Adapun faktor tersebut antara lain;


1) Pengetahuan masyarakat yang kurang tentang epilepsi, sehingga merasa bahwa epilepsi adalah penyakit aneh, menakutkan dan menular.


2) Masyarakat merasa bingung jika dihadapkan dengan penderita epilepsi saat kejang, sehingga memilih untuk menghindar dan menjauh. 


3) Faktor Sosial Budaya seperti adat, agama, budaya, serta norma dan nilai yang dianut masyarakat.


Referensi:
Mahalini, D. S., & Widodo, D. P. (2010). Sigma Epilepsi : Psychopathologic Impact Parent of Children With Epilepsy.
Rumah Sakit Panti Rapih. (2021, March). Purple Day, Hapus Stigma Negatif Tentang Epilepsi.
Suryawijaya, N., Sam, C. I., & Gelgel, A. M. (2019). Pengetahuan Masayarakat Tentang Epilepsi dan Perilaku Terhadap Penyandang Epilepsi pada Masayarakat Kewepante Kabupaten Sikka. Callosum Neorology Bali, 89-96.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun