Hal ini dikarenakan ayan/epilepsi sangat aneh dalam kacamata masyarakat awam. Â Selain interaksi, masyarakat juga merasa keberatan jika harus menikah atau membangun rumah tangga dengan penderita ayan, adapun alasan dari rasa keberatan tersebut yaitu takut jika keturunannya menderita penyakit serupa, dan merasa epilepsi akan merepotkan anggota keluarga lainnya (Suryawijaya, Sam, & Gelgel, 2019).
4) Eksklusi secara ekonomi
Dalam Suryawijaya (2019) penderita epilepsi juga tereksklusi secara ekonomi. Terutama dalam bidang pekerjaaan. Penyandang epilepsi tidak boleh memiliki pekerjaaan yang sama dengan orang yang dinilai "normal". Penyandang epilepsi dilarang untuk bekerja berat dan berada pada tempat yang berbahaya seperti dekat laut, perairan, dan mengendarai motor. Hal ini bukan untuk menghindarkan hal yang tidak diinginkan pada penderita epilepsi namun justru merasa hal tersebut berpotensi mengganggu pekerja yang lain.
5) Eksklusi secara kebudayaan dan agama
Eksklusi sosial dalam kebudayaan dan agama bagi penderita epilepsi adalah kemunculan stigma terhadap mereka. Masayarakat meyakini bahwa epilepsi berhubungan kuat dengan praktik agama dan budaya. Dalam konteks negara Indonesia, hal ini juga dipengaruhi oleh beragam adat istiadat, suku dan tradisi dari penduduk asli akan doktrin-doktrin yang digua berpengaruh pada perilaku masyarakat kepada penderita epilepsi. Penderita epilepsi distigma sebagai kutukan dari Tuhan, takhayul atau masuknya roh-roh jahat (Suryawijaya, Sam, & Gelgel, 2019).
C) Mengapa Mereka Tereksklusi dan Berbeda
Penderita epilepsi yang tereksklusi bukan karna suatu hal. Tentunya saja ada beberapa faktor yang menyebabkan penderita teresklusi. Adapun faktor tersebut antara lain;
1) Pengetahuan masyarakat yang kurang tentang epilepsi, sehingga merasa bahwa epilepsi adalah penyakit aneh, menakutkan dan menular.
2) Masyarakat merasa bingung jika dihadapkan dengan penderita epilepsi saat kejang, sehingga memilih untuk menghindar dan menjauh.Â
3) Faktor Sosial Budaya seperti adat, agama, budaya, serta norma dan nilai yang dianut masyarakat.
Referensi:
Mahalini, D. S., & Widodo, D. P. (2010). Sigma Epilepsi : Psychopathologic Impact Parent of Children With Epilepsy.
Rumah Sakit Panti Rapih. (2021, March). Purple Day, Hapus Stigma Negatif Tentang Epilepsi.
Suryawijaya, N., Sam, C. I., & Gelgel, A. M. (2019). Pengetahuan Masayarakat Tentang Epilepsi dan Perilaku Terhadap Penyandang Epilepsi pada Masayarakat Kewepante Kabupaten Sikka. Callosum Neorology Bali, 89-96.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H