Mohon tunggu...
Indah AriestyLiyan
Indah AriestyLiyan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Aktif Sosiologi Universitas Brawijaya

Saya memiliki hobi menulis, saya sangat menyukai sastra, seperti puisi, novel selain itu saya juga memiliki ketertarikan pada Teater, film, nyanyi, dan sosial

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Eksklusi Sosial dan Kesehatan: Eksklusi Sosial Penderita Epilepsi

7 Juni 2021   20:11 Diperbarui: 7 Juni 2021   20:33 1458
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Oleh : Indah Ariesty Liyan
Kesehatan merupakan kebutuhan dasar manusia. Melalui tubuh yang sehat individu mampu menjalani kehidupannya dan hidup berdampingan dengan individu lainnya. Sayangnya,  praktik eksklusi sosial dalam bidang kesehatan kerapkali terjadi dan dibingkai dalam berbagai alasan. 

Eksklusi tersebut yang membuat individu yang sakit tidak bisa hidup berdampingan dengan masyarakat. Seringkali pengidap penyakit tertentu seperti ODGJ (Orang Dalam Gangguan Jiwa), Disabilitas, HIV/AIDS mendapat deskriminasi dari masyarakat.  Eksklusi sosial yang diterima pengidap penyakit tertentu berbagai macam mulai dari dihidari, dideskriminasi, distigma,  hingga kekerasan fisik. 

Hal ini berakhir dengan tidak maksimalnya peran pengindap penyakit tertentu dalam akses pelayanan publik dan kontribusi  di sektor sosial, ekonomi, politik, dan lain sebagainya. Salah satu penyakit yang juga sering dieksklusikan adalah penderita epilepsi.  Menurut Suryawijaya ddk (2019) Epilepsi merupakan penyakit yang tidak hanya menyangkut masalah kesehatan, namun juga menyangkut sosial dan ekonomi. 

Rendahnya pengetahuan masyarakat akan epilepsi berpengaruh buruk terhadap kualitas hidup penyandang epilepsi, sehingga mereka dijauhi secara sosial dan tidak bisa berkontribusi di bidang ekonomi (Suryawijaya, Sam, & Gelgel, 2019).


A) Epilepsi dan Masayarakat 

Dalam  Mahalini dan widodo (2010)  Epilepsi merupakan ganguan neorologi yang cukup serius dan bersifat kronis. Epilepsi merupakan ganguan syaraf yang menyerang fungsi listrik otak dengan karateristik yang mendasar adalah kejadian berulang dan kejang tanpa provokasi. 

Menurut Suryawijaya dkk (2019) penyakit epilepsi ini merupakan ganguan neorologi tertua di dunia dan merupakan penyakit syaraf yang menempati urutan kedua setelah stroke.  Namun selama ini masyarakat awam yang belum mengerti dan memehami apa itu epilepsi seringkali meletakkan pandangan yang keliru terhadap penyakit tersebut. Epilepsi telah lama dikenal oleh masyarakat dengan sebutan "ayan".

Dalam Suryawiajaya dkk (2019) dijelaskan bahwa negara berkembanglah yang berisiko lebih besar terhadap kemunculan penyakit ini dan memberikan perilaku buruk kepada penderita. Beradasar pada observasi penulis, istilah "ayan" dalam masyarakat awam dipandang sebagai penyakit yang aneh, tidak wajar, tidak normal, dan menakutkan.

Hal ini bersumber pada kepercayaan yang keliru terhadap epilepsi.  Kepercayaan keliru tersebut berasal dari budaya serta adat yang diyakini masyarakat. Contohnya kebudayaan yang berada di Kecamatan Kawapante, Kabupaten Sikka yang meyakini epilepsi sebagai penyakit "mati kambing".

Istilah tersebut muncul disebabkan penederita epilepsi kerapkali kejang dan berteriak-teriak seperti kambing dan setelah itu mati atau pingsan.  Dalam kebudayaan tersebut masyarakat Kawapante menyakini bahwa kondisi  penederita epilepsi tidak normal dan akan lebih parah jika ia mengonsumsi daging.

Tidak berhenti disitu saja, masayarakat cenderung menjauhi penderita epilepsi dengan alasan takut tertular (Rumah Sakit Panti Rapih, 2021).  Hal tersebut kian menunjukkan bahwa masyarakat dan epilepsi seolah berdiri berseberangan, dimana penderita epilepsi adalah seseoarng yang berada di seberang masyarakat. Mereka terstigama, dijauhi, dihindari, dan dianggap tak normal.

B) Eksklusi dalam Epilepsi


Eksklusi sosial yang diterima oleh penderita epilepsi erat kaitannya dengan bagaiamana stigama yang muncul dan diterima penderita.  Di Nigeria, penderita epilepsi di stigma melalui pandangan budaya dan agama, dimana epilepsi dinilai sebagai penyakit kutukan dari Tuhan (Suryawijaya, Sam, & Gelgel, 2019). Sementara itu, stigma yang muncul di Indonesia lebih banyak seperti epilepsi penyakit yang menular, penderita epilepsi berbahaya, dan lain sebagainya.


Stigma epilepsi ini tentunya membawa dampak negatif yang menyebabkan psikopatologi baik terhadap penderita ataupun keluarga dan orangtuanya, apabila dibiarkan hal ini akan menyebabkan berkurangnya interaksi sosial pada penderita epilepsi dan keluarganya. Hal ini akan semakin parah, karena penderita eksklusi dapat tereksklusi melalui berbagai hal.  Adapun bentuk-bentuk eksklusi sosial terhadap penderita epilepsi adalah sebagai berikut;

1) Eksklusi terhadap penderita


Bentuk eksklusi sosial yang pertama adalah eksklusi terhadap penderita. Eksklusi ini berkenaan dengan bagaimana penderita mendapat perlakuan dari masyarakat. Pada umumnya penderita epilepsi mendapat stigma, deskrimininasi, dijauhi, bahkan mendapat kekerasan. Epilepsi sering distigma sebagai penyakit menular. Stigma tersebut membaut sebagian masyarakat merasa takut jika bertemu dengan penderita epilepsi. 

Pada kasus penderita epilepsi saat terjadi serangan atau kejang, beberapa orang takut mendekatidan memberi pertolongan, karena stigma yang berkembang air liur penderita epilepsi dapat menularkan penyakit tersebut.Sehingga stigma dan eksklusi sosial tersbut membuat penderita epilepsi merasa malu dan menutupi penyakitnya, alhasil epilepsi tidak maksimal dutangani dan penederita merasa dikucilkan oleh lingkungan, terhambat karir, dan lain seabagainya (Rumah Sakit Panti Rapih, 2021).

2) Eksklusi terhadap keluarga penderita


Bentuk eksklusi sosial terhadap keluarga berkaitan erat dengan stigma yang muncul. Sehingga untuk menghindari rasa malu keluarga dan orang tua memilih untuk menutup-nutupi kondisi anak yang menderita epilepsi.  

Fakta di lapangan menunjukkan bahwa tidak hanya penderita epilepsi saja yang dieksklusikan oleh masyarakat, akan tetapi juga keluarga dan orang tua. Keluarga dan orang tua penderita epilepsi dipandang dengan setumpuk penilaian buruk akan epilepsi yang diderita oleh anak. Bahkan keluarga penderita epilepsi dinilai buruk dan berpotensi membawa garis keturunan yang memiliki penyakit serupa.

 3) Eksklusi secara sosial


Bentuk eksklusi secara sosial tergambar melalui interaksi yang terjalin dengan penderita epilepsi.  Beberapa masyarakat merasa keberatan jika berinteraksi atau berteman dengan penderita  dengan alasan takut tertular, atau takut penderita epilepsi akan mencelakai mereka. 

Hal ini dikarenakan ayan/epilepsi sangat aneh dalam kacamata masyarakat awam.  Selain interaksi, masyarakat juga merasa keberatan jika harus menikah atau membangun rumah tangga dengan penderita ayan, adapun alasan dari rasa keberatan tersebut yaitu takut jika keturunannya menderita penyakit serupa, dan merasa epilepsi akan merepotkan anggota keluarga lainnya (Suryawijaya, Sam, & Gelgel, 2019).


4) Eksklusi secara ekonomi


Dalam Suryawijaya (2019) penderita epilepsi juga tereksklusi secara ekonomi. Terutama dalam bidang pekerjaaan. Penyandang epilepsi tidak boleh memiliki pekerjaaan yang sama dengan orang yang dinilai "normal". Penyandang epilepsi dilarang untuk bekerja berat dan berada pada tempat yang berbahaya seperti dekat laut, perairan, dan mengendarai motor. Hal ini bukan untuk menghindarkan hal yang tidak diinginkan pada penderita epilepsi namun justru merasa hal tersebut berpotensi mengganggu pekerja yang lain.

5) Eksklusi secara kebudayaan dan agama


Eksklusi sosial dalam kebudayaan dan agama bagi penderita epilepsi adalah kemunculan stigma terhadap mereka. Masayarakat meyakini bahwa epilepsi berhubungan kuat dengan praktik agama dan budaya. Dalam konteks negara Indonesia, hal ini juga dipengaruhi oleh beragam adat istiadat, suku dan tradisi dari penduduk asli akan doktrin-doktrin yang digua berpengaruh pada perilaku masyarakat kepada penderita epilepsi. Penderita epilepsi distigma sebagai kutukan dari Tuhan, takhayul atau masuknya roh-roh jahat (Suryawijaya, Sam, & Gelgel, 2019).

C) Mengapa Mereka Tereksklusi dan Berbeda


Penderita epilepsi yang tereksklusi bukan karna suatu hal. Tentunya saja ada beberapa faktor yang menyebabkan penderita teresklusi. Adapun faktor tersebut antara lain;


1) Pengetahuan masyarakat yang kurang tentang epilepsi, sehingga merasa bahwa epilepsi adalah penyakit aneh, menakutkan dan menular.


2) Masyarakat merasa bingung jika dihadapkan dengan penderita epilepsi saat kejang, sehingga memilih untuk menghindar dan menjauh. 


3) Faktor Sosial Budaya seperti adat, agama, budaya, serta norma dan nilai yang dianut masyarakat.


Referensi:
Mahalini, D. S., & Widodo, D. P. (2010). Sigma Epilepsi : Psychopathologic Impact Parent of Children With Epilepsy.
Rumah Sakit Panti Rapih. (2021, March). Purple Day, Hapus Stigma Negatif Tentang Epilepsi.
Suryawijaya, N., Sam, C. I., & Gelgel, A. M. (2019). Pengetahuan Masayarakat Tentang Epilepsi dan Perilaku Terhadap Penyandang Epilepsi pada Masayarakat Kewepante Kabupaten Sikka. Callosum Neorology Bali, 89-96.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun