Â
RUANG RAUNG PENA.
"Melihatnya seperti ini terus. Terasa sedih, gundah dan kasihan. Tapi, kenapa dia tidak melawan? Dia tidak bisu, tuli, lumpuh, buta, atau apapun. Dia masih bisa melawan, bukan? Kalau dia tidak melawan biar aku yang membantunya untuk melawan..."
 Namanya Risma alizmah, siswi kelas 2 es-em-a yang punya kebiasaan berdiam tanpa kata, selalu dianggap parasit, dia dianggap boneka jalang, dan selalu saja menjadi bahan candaan yang berlebih; di  bully oleh orang teman-teman sekelasnya, hingga kakak tingkatnya. Mungkin setiap gerak-gerik atau ucapannya yang dia utarakan selalu terlihat salah, padahal apa yang dia lalukan adalah perilaku normal. Sampai aku selalau iba padanya, dia yang selalau diam dalam-dalam diam setiap harinya; tanpa secerca kata pun kecuali ya dan tidak.
 "Setiap hari, aku berfikir bahwa kenapa harus dia yang menjadi korban, dia-kan normal-normal saja seperti yang lainnya. Apa salah dia, sih? Hingga saat ini aku yang selalu duduk disampingnya hanya selalu melihat dirinya yang tertunduk dan menulis seusatu di buku diari hitamnya dengan dengan pena merah jambunya..." gumam dalam renungku.
 Mungkin hari ini juga dia akan diam lagi, lagi dan lagi. Sampai, aku yang selalu duduk di sebelahnya ikut murung dan mulai teringat saat aku pernah bersamanya dulu. Pulang dari sekolah, menuju rumah dengan berjalan kaki dan menenteng tas. Â
 Di tengah jalan menuju rumah, di atas jembatan penyebrangan, diantara lalu lalang orang dia berhenti begitu saja. Tertunduk lesu. Lantas aku yang ada disampingnya juga ikut berhenti dan mengajaknya untuk menepi sejenak.
 "Kamu kenapa?" tanyaku.
 Dia tidak menjawab.
 Dia mulai terisak-isak menangis. Aku panik. Aku terus bertanya padanya ada apa? Mengapa kamu menangis? Tapi dia selelu menjawab tidak apa-apa aku baik-baik saja. Ya, aku tau itu adalah jawaban yang sederhana bila ditanya kenapa, tapi seorang Risma teman sebangkuku yang tiap harinya selelu menjadi bahan tertawanya para iblis yang kehilangan hati, menurutku bukan lah hal yang bagus baginya untuk berkata aku baik-baik saja.
 Mulai hari itu, aku bertekad untuk mendapatkan jawaban atas dasar apa dia selalu seperti ini. Aku tahu mungkin awan saja bisa menangis setiap hari kala melihatnya selalu sendiri dengan memedam rasa sakit yang dideritanya. Aku malu, angin pun malu, hujan, pun malu, bahkan air mataku dan tawaku malu dengan dirinya yang selalu di selimuti sendu. Tapi, hari itu dia jatuh tanpa sebab.