Masjid Agung At-Tsaurah Banten: Sejarah, Arsitektur, dan Nilai Budaya
1. Sejarah Masjid Agung Banten
Masjid Agung Banten didirikan pada tahun 1566 oleh Sultan Maulana Hasanuddin, putra dari Sunan Gunung Jati, yang merupakan salah satu tokoh penting dalam penyebaran Islam di Indonesia. Sultan Hasanuddin yang pertama kali memimpin Kesultanan Banten, menjadikan masjid ini sebagai simbol kejayaan Islam, sekaligus sebagai pusat pemerintahan dan agama.
Masjid ini dibangun dengan tujuan utama menjadi pusat penyebaran Islam di Banten dan sekitarnya. Selain itu, masjid ini juga menjadi tempat diskusi keagamaan, berkumpulnya para ulama, serta pusat pendidikan Islam. Pada masa itu, Kesultanan Banten merupakan salah satu kerajaan Islam terbesar di Nusantara, sehingga masjid ini memiliki peran yang sangat strategis.
Dalam pembangunan masjid ini, Sultan Maulana Hasanuddin dibantu oleh seorang arsitek Tionghoa, Tjek Ban Tjut. Dia merancang berbagai bagian masjid, termasuk menara, dengan sentuhan khas yang membuat masjid ini berbeda. Dukungan dari masyarakat Banten, ulama, dan tokoh pemerintah saat itu sangat membantu kesuksesan pembangunan masjid ini.
Nama Ats-Tsauroh bermakna "kebangkitan," "revolusi," atau "perjuangan" melambangkan masjid ini sebagai pusat pergerakan spiritual dan perjuangan sosial masyarakat Banten sejak zaman Kesultanan hingga sekarang. Dahulu masjid ini bernama "Masjid Pegantungan" karena memiliki riwayat sebagai tempat untuk menggantung pahlawan-pahlawan lokal oleh Belanda.
2. Arsitektur Masjid Agung Banten
Masjid Agung Banten memiliki gaya arsitektur yang menggambarkan perpaduan budaya Jawa, Tionghoa, dan Eropa. Setiap elemen bangunannya mengandung filosofi Islam yang mendalam. Berikut adalah beberapa ciri khas arsitektur masjid ini:
Menara Masjid: Menara setinggi 24 meter ini dirancang oleh arsitek Belanda, Hendrik Lucasz Cardeel. Ia menggabungkan elemen arsitektur Eropa dengan ciri khas lokal. Menara ini dulunya berfungsi untuk mengumandangkan adzan dan juga sebagai menara pengawas untuk mengantisipasi serangan dari laut. Kini, menara ini menjadi ikon Masjid Agung Banten.
Atap Lima Tingkat: Atap lima tingkat yang khas dalam arsitektur Jawa ini melambangkan lima rukun Islam. Desain ini juga sangat cocok dengan iklim tropis yang sering berubah-ubah, membuat atapnya tahan terhadap cuaca panas dan hujan. Ini juga menunjukkan perkembangan teknologi bangunan pada masa Kesultanan Banten.