Maria terdiam sejenak, lalu menatapku dengan mata berkaca-kaca.
"Jo, aku minta maaf. Sebenarnya, aku juga mencintaimu sejak lama. Aku tidak tahan melihatmu dekat dengan Luluk. Aku tahu ini salah, tapi aku tidak bisa mengendalikan perasaanku," jawab Maria dengan suara gemetar.
Pengakuan Maria membuatku terkejut. Aku tidak pernah menyangka bahwa sahabatku sendiri ternyata menyimpan perasaan yang begitu dalam padaku. Aku merasa bersalah karena tidak menyadari hal ini lebih awal. Aku mencoba mengerti perasaannya, tetapi situasi ini menjadi semakin rumit.
"Maria, aku mengerti perasaanmu. Tapi, ini tidak adil untuk Luluk. Kita harus jujur padanya," kataku dengan lembut.
Maria mengangguk setuju, meski terlihat enggan. Kami berdua memutuskan untuk berbicara dengan Luluk dan menjelaskan semuanya.
Saat kami bertemu dengan Luluk, dia tampak tenang meskipun aku tahu hatinya pasti terluka. Maria menjelaskan semuanya, termasuk perasaannya yang sebenarnya padaku.
"Jo, Maria, aku menghargai kejujuran kalian. Tapi aku butuh waktu untuk merenung. Aku tidak ingin ada kebohongan dalam hubungan ini," kata Luluk dengan bijak.
Beberapa minggu berlalu. Aku dan Maria memberikan ruang kepada Luluk untuk berpikir. Selama waktu itu, aku dan Maria semakin dekat. Kami sering berbicara tentang perasaan kami dan masa depan yang mungkin. Tanpa disadari, aku mulai merasakan sesuatu yang lebih dari sekadar persahabatan dengan Maria.
Akhirnya, Luluk menghubungiku dan Maria. Kami bertemu di taman kampus, tempat yang sama di mana aku pertama kali mengungkapkan perasaanku pada Maria.
"Jo, Maria, aku sudah memikirkan semuanya. Aku rasa aku belum siap untuk hubungan yang rumit seperti ini. Kalian berdua lebih baik bersama. Aku hanya ingin kalian bahagia," kata Luluk dengan senyum tulus.
Keputusan Luluk membuat hatiku campur aduk. Aku sedih karena harus melepaskannya, tetapi juga lega karena Maria, yang telah lama mencintaiku, kini bisa bersama denganku tanpa ada rahasia lagi.