Mohon tunggu...
INASTIANING DYAS DAHANA PUTRI
INASTIANING DYAS DAHANA PUTRI Mohon Tunggu... Mahasiswa - Penulis

Penulis yang berfikir Obyektif dan realitis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kurelakan Suamiku untuk Ibu

29 Juni 2024   18:31 Diperbarui: 29 Juni 2024   18:40 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://greatmind.id/article/ekspresi-rasa-sakit-hatiInput sumber gambar

Aku masih bisa merasakan dinginnya lantai keramik di ruang tamu saat suamiku, Arif, melontarkan kalimat yang mengubah hidupku selamanya. "Aku ingin bercerai," katanya, suaranya terdengar seperti pecahan kaca yang menghancurkan hatiku.

Kami menikah lima tahun lalu dengan cinta yang tulus. Arif adalah sosok suami yang penyayang dan perhatian. Namun, seiring berjalannya waktu, masalah mulai muncul. Aku menyadari bahwa perasaanku terhadap Arif perlahan berubah, sementara ibuku, Kartini, yang tinggal bersama kami sejak setahun lalu, semakin akrab dengan suamiku.

Ibuku adalah seorang wanita cantik di usia lima puluhan. Meskipun usianya sudah tidak muda lagi, pesonanya tetap terpancar. Keputusan membawa ibu tinggal bersama kami adalah karena kesehatannya yang memburuk setelah kematian ayahku. Pada awalnya, kehadiran ibu adalah berkah bagi kami. Dia membantu mengurus rumah dan memberikan nasihat yang bijaksana. Namun, tanpa kusadari, kehadirannya juga membawa masalah yang lebih besar.

Aku mencoba mempertahankan pernikahanku, meskipun mengetahui bahwa hati Arif perlahan berpindah ke ibu. Aku menyaksikan kedekatan mereka yang semakin nyata. Dari tatapan mata yang penuh kasih hingga sentuhan-sentuhan kecil yang mereka pikir aku tidak perhatikan. Aku terluka, tetapi aku juga mencintai suamiku dan tidak ingin kehilangannya.

Suatu malam, setelah mendengar Arif dan ibu tertawa bersama di dapur, aku memutuskan untuk mengajak Arif berbicara. "Arif, aku merasa ada yang berubah di antara kita. Apakah kau masih mencintaiku?" tanyaku, suaraku bergetar.

Arif terdiam sejenak, lalu menghela napas panjang. "Rina, aku masih mencintaimu, tetapi aku juga tidak bisa membohongi perasaanku. Aku... aku mencintai ibumu."

Kata-kata itu menghantamku seperti petir. Aku ingin marah, ingin menangis, tetapi yang kurasakan hanya kehampaan. "Bagaimana bisa? Ibu adalah ibuku," bisikku.

"Aku tahu, ini salah. Tapi aku tidak bisa mengendalikan perasaanku," jawab Arif dengan nada bersalah.

Aku memutuskan untuk berbicara dengan ibu. "Bu, apa yang terjadi antara kau dan Arif?" tanyaku dengan air mata yang mengalir.

Ibu memandangku dengan mata berkaca-kaca. "Maafkan ibu, Rina. Ibu tidak berniat merebut kebahagiaanmu. Tapi, ibu juga manusia yang bisa jatuh cinta."

Malam itu, aku merenung sendirian di kamar. Aku tidak bisa tidur, memikirkan dua orang yang paling kucintai saling mencintai. Aku sadar bahwa mempertahankan pernikahan ini hanya akan menyakiti kami bertiga. Maka, aku membuat keputusan terberat dalam hidupku. Aku harus merelakan Arif demi kebahagiaannya.

Keesokan harinya, aku mengajak Arif dan ibu berbicara. "Aku sudah memutuskan. Aku akan bercerai denganmu, Arif, agar kau bisa menikahi ibu."

Arif dan ibu terkejut mendengar keputusanku. "Rina, kau tidak perlu melakukan ini," kata Arif.

"Tidak, aku sudah memikirkannya. Aku ingin kalian bahagia, meskipun itu berarti aku harus menderita," jawabku dengan tegas.

Proses perceraian kami berjalan dengan cepat. Aku menyerahkan semua harta dan rumah kepada Arif dan ibu. Aku hanya ingin mereka bahagia. Setelah perceraian selesai, Arif menikahi ibu. Mereka pindah ke rumah baru yang lebih kecil, sementara aku pindah ke kota lain untuk memulai hidup baru.

Hidup tanpa Arif dan ibu sangat sulit. Aku merasa kesepian dan sering menangis di malam hari. Namun, aku mencoba untuk tetap kuat. Aku menemukan pekerjaan baru dan mulai membangun hidupku dari awal. Aku menyibukkan diri dengan bekerja dan melakukan kegiatan sosial untuk mengalihkan pikiranku dari rasa sakit.

Beberapa bulan setelah perceraian, aku menerima surat dari Arif. Isinya penuh dengan rasa terima kasih dan permintaan maaf. "Rina, aku tidak pernah berhenti mencintaimu. Kau adalah wanita yang kuat dan luar biasa. Aku berharap kau menemukan kebahagiaanmu sendiri. Terima kasih telah mengorbankan kebahagiaanmu demi kami."

Surat itu membuatku menangis, tetapi juga memberiku kekuatan. Aku sadar bahwa keputusan yang kuambil adalah yang terbaik bagi kami semua. Aku mulai fokus pada diriku sendiri dan mencoba menemukan kebahagiaan dalam kesendirian.

Tahun demi tahun berlalu, aku perlahan-lahan pulih dari luka hati. Aku belajar untuk mencintai diriku sendiri dan menemukan kebahagiaan dalam hal-hal kecil. Suatu hari, aku bertemu dengan seorang pria yang memahami dan menghargai aku. Namanya adalah Budi. Dia adalah seorang duda yang juga memiliki luka hati. Kami saling mendukung dan perlahan jatuh cinta.

Dengan Budi, aku menemukan cinta yang tulus dan tanpa syarat. Kami menikah setahun kemudian dan memulai hidup baru bersama. Meskipun kenangan tentang Arif dan ibu masih ada, aku sudah memaafkan mereka dan diriku sendiri.

Suatu hari, aku menerima kabar bahwa ibu jatuh sakit. Aku memutuskan untuk mengunjungi mereka. Ketika aku tiba di rumah sakit, aku melihat ibu terbaring lemah di tempat tidur, dengan Arif di sampingnya.

"Rina, terima kasih sudah datang," kata ibu dengan suara lemah.

Aku memegang tangan ibu dan tersenyum. "Aku sudah memaafkan kalian, Bu. Aku hanya ingin ibu sembuh."

Ibu meneteskan air mata. "Maafkan ibu, Rina. Ibu sangat menyesal."

"Sudahlah, Bu. Yang penting sekarang adalah ibu sembuh. Aku dan Budi akan selalu mendukung kalian."

Setelah pertemuan itu, aku merasa beban di hatiku perlahan terangkat. Aku menyadari bahwa kebahagiaan sejati bukan hanya tentang memiliki orang yang kita cintai, tetapi juga tentang merelakan dan memaafkan. Aku menemukan kedamaian dalam hatiku dan menjalani hidup dengan penuh syukur.

Cerita ini mengajarkan bahwa cinta tidak selalu berakhir seperti yang kita harapkan, tetapi dengan hati yang ikhlas dan penuh kasih, kita bisa menemukan kebahagiaan yang sejati. Aku merelakan Arif demi ibu, dan pada akhirnya, aku menemukan kebahagiaan yang lebih besar bersama Budi. Kehidupan terus berjalan, dan aku bersyukur atas segala pelajaran yang telah kupetik sepanjang perjalanan ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun