Nama          : Inar Setyaningrum
Nim           : 212121035
Mata Kuliah     : Hukum Acara Perdata Islam di Indonesia
Kelas          : 4 A HKI
Dosen Pengampu : Bapak Muhammad Julijanto S.Ag.,M.Ag
                BOOK REVIEW
Judul      : Hukum Perkawinan Indonesia
Penulis    : Prof. Dr. H. Moch. Isnaeni, S.H.,MS.
Penerbit    : PT Refika Aditama
Terbit      : 2016
Cetakan    : Kesatu,Mei 2016
 Buku ini adalah karya dari Prof. Dr. H. Moch. Isnaeni, S.H.,MS. Yang berjudul "Hukum Perkawinan Indonesia", yang menjelaskan secara, lengkap dan terperinci.Mengenai Hukum Perkawinan Indonesia yang didalamnya terdapat penjelasan mengenai Asas hukum perkawinan, dasar perkawinan, syarat Perkawinan, pencegahan dan pembatalan perkawinan, harta benda dalam perkawinan dan perjanjian kawin, hak dan kewajiban suami istri, putusnya perkawinan beserta akibatnya, kedudukan anak, hak dan kewajiban antara orang tua dan anak, perkawinan internasional, dan ketentuan peralihan dan penutup.
 Dalam kehidupan rumah tangga untuk menjadikan keluarga yang samawa perlu adanya kematangan antara suami dan istri, karena perkawinan bertujuan untuk menciptakan keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk mewujudkan kondisi ini, tentunya diperlukan karakter -- karakter suami istri yang sudah memiliki kemampuan baik secara ragawi ataupun rohani sebagai bekal untuk menjadi keluarga yang samawa.Â
Maka di dalam Hukum perkawinan di Indonesia tidak mengherankan jika asas kematangan jiwa raga calon suami istri kemudian menjadi salah satu asas dalam UU perkawinan, ini layak dijadikan salah satu asas  karena dalam kehidupan masyarakat adat sekalipun, ukuran matang kawin juga digaris bawahi urgensinya yakni kalau pihak-pihaknya, lelaki dan wanita sudah "mentas gawe". Kalau dalam islam sudah akil baligh. Jika jiwa dan raga yang belum matang dan ingin segera melakukan perkawinan maka pasti rentan dan potensial runtuh.
 Dasar hukum perkawinan di Indonesia sendiri tidak lain adalah UU perkawinan. Karena di buat oleh pemerintah Indonesia untuk kepentingan semua warga negara, atas dorongan dari nilai-nilai pancasila, serta cita-cita untuk pembinaan hukum nasional. Pasal 1 UU Perkawinan yang memberikan definisi tentang perakawinan yang intinya : " Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga ( rumah tangga ) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang maha esa.Â
Sedangkan dalam hukum perkawinan BW memilih sikap memandang perkawinan hanya dari segi perdatanya saja, sedang UU perkawinan sejak awal justru nuansa agamawi sangat kental mewarnai ketentuan-ketentuannya.
      Keabsahan perkawinan terdapat pada pasal 2 UU perkawinan yang secara redaksional menyatakan :
- Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu.
- Tiap-tiap perkawinan di catat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Tolak ukur agama dijadikan penentu keabsahan suatu perbuatan hukum kawin, dan sudah pasti tiap agama yang dipeluk warga Negara Indonesia mengajarkan prosedur yang tidak sama. Maka dari itu keabsahan merupakan hal penting dalam prosedur perkawinan.
Ketidak seragaman akan terlihat jika menyimak Pasal 2 ayat 2 UU perkawinan yang menegaskan bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat sesuai peraturan perundang-undangan, kejelasan tidak seragamnya pencatatan nikah ini akan terlihat jika kita membaca pasal 2 PP No. 9/1975 yang menetapkan :
- Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agama islam dilakukan oleh pegawai pencatat sebagaimana dimaksudkan dalam undang-undang nomor 32 tahun 1954 tentang pencatatan nikah, talak dan rujuk.
- Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agama dan kepercayaannya itu selain agama islam, dilakukan oleh pegawai pencatatan perkawinan pada kantor catatan sipil sebagaimana dimaksud dalam berbbagai perundang-undangan mengenai pencatatan perkawinan.
- Dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan yang khusus berlaku bagi tata cara pencatatan perkawinan berdasarkan berbagai peraturan yang berlaku, tata cara pencatatan perkawinan dilakukan sebagaimana di tentukan dalam pasal 3 sampai dengan pasal 9 peraturan pemerintah ini.
Pasal 2 UU pekawinan menjadi sumber banyak persoalan, antara lain dalam menyikapi keberadaan "kawin siri" yang sering terjadi di masyarakat menyangkut keabsahannya. Jadi keabsahan perkawinan di Indonesia tidak boleh menikah dengan beda agama dan harus ada pencatatan perkawinan, batu ukur dalam pasal 2 UU perkawinan sudah tentu tidak tepat kalau dikenakan pada jenis perkawinan warga Indonesia yang dilangsungkan di luar negeri, akibat ada unsur asing yang tersemat didalamnya.
 Terdapat Pasal 3 UU perkawinan yang di dalamnya terkandung Asas monogami, asas monogami sendiri adalah asas yang dalam Pasal 27 BW yang  bersifat mutlak dimana dalam waktu yang sama seorang laki-laki hanya diperbolehkan mempunyai satu orang perempuan sebagai istrinya, begitupun dengan seorang perempuan hanya satu orang laki-laki sebagai suaminya. Jika melanggar akan dikenai konsekuensinya sebagai perbuatan pidana kategori kejahatan dengan ancaman pidana penjara selama 5 tahun. Sebaliknya asas monogami dalam UU Perkawinan sifatnya tidak mutlak karena dimungkinkan seorang lelaki mempunyai wanita lebih dari satu sebagai istrinya ( pasal 3 ayat 2 UU Perkawinan ).
Meskipun agama islam memberikan kemungkinan bagi seorang muslim mempunyai istri lebih dari satu dalam waktu yang sama ( poligini ), agar tidak berbenturan dengan asas hukum perkawinan yang dijadikan dasar, oleh pemerintah dilakukan suatu perubahan dengan memunculkan Syarat-syarat seperti yang tertera dalam pasal 4 dan 5 UU Perkawinan. Hal ini dilakukan antara lain untuk mencegah adanya penyalahgunaan yang merugikan pihak-pihak tertentu, khususnya istri yang sudah ada beserta anak dan keturunannnya.
Pengaturan poligini dalam UU Perkawinan beserta aturan penjabarannya, oleh pemerintah dilakukan dengan menciptakan koridor yang terkontrol secara seksama, terlebih -- lebih bagi suami yang berstatus sebagai pegawai negeri sipil. Gambaran ini memberikan ilustrasi bahwasannya suami yang oleh agama islam dimungkinkan untuk mempunyai istri lebih dari satu, pemerintah bersikap bijaksana dengan membuat beberapa peraturan agar lembaga poligini tetap dapat dilaksanakan tanpa perlu membentur asas-asas hukum perkawinan sebagai sendi pokok kehidupan bangsa.
Didalam perkawinan sepakat tidaknya para pihak dalam perkawinan merupakan hal yang penting, karena suatu hubungan hukum yang melibatkan pihak-pihak, perkawinan harus diawali dengan persetujuan dari calon mempelai sebelum naik ke pelaminan. Sepakat dalam ranah perkawinan lebih tertuju kepada kesanggupan para pihak untuk mematuhi ketentuan perkawinan. Ini penting disebabkan para pihak yang bersangkutan bersepakat akan membangun sebuah rumah tangga atau keluarga yang dijadikan dasar dan komponen inti kehidupan sosial. Kesepakatn dalam perkawinan cenderung lebih terfokus pada persetujuan antara dua sejoli untuk memikul kewajiban dan tanggung jawab sebagai suami istri.
Proses penerbitan izin kawin bagi pasangan yang akan naik menuju ke pelaminan, tidak di perkenakan sampai melanggar tatanan agama. Penegasan aturan ini memperkuat arti pentingnya hakikat izin kawin, salah satunya sebagai perwujudan dari rasa hormat yang wajib ditunjukan oleh setiap insan kepada orang tua yang telah melahirkan dan membesarkannya. Pola hidup santun dalam tatanan keluarga, juga dijadikan salah satu ajaran penting dalam agama, sehingga tidak berlebihan kalau pembentuk undang-undang mencantumkan perihal ini dalam salah satu persyartan UU perkawinan.
Perkawinan juga mengatur mengenai batas usia minimum untuk kawin, dapat dilihat dalam pasal 7 UU Perkawinan ditetapkan bahwa usia minimum untuk kawin bagi seorang anak perempuan adalah 16 ( enam belas ) tahun, sedangkan bagi seorang pria adalah 19 ( Sembilan belas ) tahun. Adapun jenis halangan untuk kawin yang terdapat pada pasal 8 UU Perkawinan mengatur tentang larangan kawin bagi mereka yang masih memiliki hubungan darah. Pasal 9 UU Perkawinan menyatakan bahwa :Â
" Seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi, kecuali dalam hal yang tersebut pad pasal 3 ayat 2 dan pasal 4 undang-undang ini". Larangan memiliki pasangan lagi bagi mereka yang masih terikat perkawinan dengan seseorang, sifatnya relatif untuk suami, sebalikya bersifat mutlak untuk istri. Poligami dibolehkan asal ada persetujuan dari istri yang pertama dan suami dapat berlaku adil. Pasal 10 UU Perkawinan melarang adanya pengulangan kawin bagi pasangan yang sama untuk beberapa kali, dengan tetap memperhatikan aturan agama yang bersangkutan.
Kawin cerai yang dilakukan orang tua akan berdampak pada pertumbuhan anak sebagai generasi penerus, untuk itu UU Perkawinan membatasi pengulangan kawin beberapa kali dari pasangan yang sama dengan penyesuaian pada ajaran agama yang bersangkutan. Apabila ada seorang laki-laki ingin menikahi janda maka si laki-laki tersebut harus mengetahui jangka waktu tunggu bagi janda adapun aturan jangka waktu tunggu dalam UU Perkawinan, dengan menyimak Pasal 39 PP No.9/1975 yaitu:
- 130 hari bagi janda akibat kematian suami,
- 3 kali suci, minimal 90 hari bagi janda karena cerai,
- Sampai melahirkan kalau janda yang bersangkutan dalam keadaan hamil,
- 0 ( nol ) hari atau tidak ada jangka waktu tunggu bagi janda yang bercerai tetapi belum mengadakan hubungan seksual dengan suaminya.
Sedangkan untuk tata cara pelaksanaan perkawinan diatur oleh Pasal 2 PP No. 9/1975. Ketentuan yang mengatur tentang tata cara atau prosedur ini, tentu saja berposisi sebagai dwingend recht ( hukum wajib ). Oleh sebab itu, aturan ini menjadi penting karena untuk memenuhi syarat keabsahan perkawinan tersebut. Inilah sikap yang wajib ditegakkan mengingat Indonesia merupakan bagian dari masyarakat internasional yan memiliki tata karma juga. Jika ada orang asing yang yang kawin di Indonesia berarti wajib mematuhu tata cara yang berlaku menurut hukum Indonesia, maka saat pasangan suami istri itu kembali ke tanaha airnya perkawinan mereka juga akan diakui sah oleh pemeritahnya.
 Pencegahan dan Pembatalan nikah merupakan peristiwa yang relative jarang terjadi dalam kehidupan masyarakat, khususnya kalau dibandingan dengan peristiwa putusnya perkawinan. Pencegahan ini dapat bersifat sementara bagi calon memepelai yang bersangkutan.Â
Pencegahan perkawinan diatur mulai Pasal 13-21 UU Perkawinan,agar tidak ada suatu perkawinan yang melanggar syarat-syarat yang sudah ditentukan. Pasal 14 UU Perkawinan menentukan siapa saja yang diberi kesempatan untuk melakukan pencegahan suatu pekawinan yang akan di langsungkan tersebut, antara lain pihak keluarga baik dalam urutan garis keturunan lurus ke atas maupun ke bawah. Pasal 21 UU Perkawinan pada intinya pegawai pencatat perkawinan melaksanakan tugasnya berupa menolak melangsungkan perkawinan berdasar alas an adanya permohonan pencegahan, akan memberikan suatu keterangan tertulis disertai alas an penolakannya.
Sedangkan Pembatalan perkawinan yaitu perkawinan seorang laki-laki dan perempuan yang belum terlaksanakan, keburu dicegah sehingga perkawinan belum terlaksanakan. Pembatalan perkawinan diawali Pasal 22 UU Perkawinan yang menyatakan bahwa perkawinan dapat di batalkan, apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melaksanakan perkawinan. Pembatalan perkawinan, dalam kehidupan sehari-hari memang relatife jarang terjadi, namun andai peristiwa itu benar-benar muncul, persoalan yang di timbulkan tidak mudah untuk mengatasinya.Â
Putusan pengadilan tentang pembatalan perkawinan ini ,memerlukan pertimbangan yang cermat dan akurat dari hakim yang menanganinya, agar dapat dijadikan pegangan oleh hakim berikutnya, sehingga akan terbentuk hukum yurispudensi yang kokoh.
Didalam perkawinan masalah mengenai perjanjian harta benda juga penting, ketentuan menyangkut perjanjian kawin dapat dijumpai dalam pasal 29 UU Perkawinan. Perjanjian perkawinan dibuat oleh para calon mempelai karena keduanya berkehendak untuk melakukan penyimpangan terhadap ketentuan undang-undang yang mengatur seluk beluk harta kawin. Mengikuti sistematika yang benar, Â akan ditelaah dulu aturan tentang harta kawin. Apabila dikaji akibat hukum kawin menyangkut harta, pemerintah Indonesia mengaturnya pada pasal 35 UU Perkwinan yang intinya memakai pola terpisah yang berbeda dengan pola persatuan pada BW. Lengkapnya Pasal 35 UU Perkawinan menegaskan :
- Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.
- Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah dibawah penguasaan masing-masing sepanjak para pihak tidak menentukan lain.
 Untuk masa kini Perjanjian kawin memang belum membudaya bagi keseluruhan warga Negara Indonesia, namun sudah ada beberapa kalangan yang sejak awal mulai berhitung serta mengantisipasi munculnya risiko yang potensial dapat menimpa kehidupan sebuah rumah tangga, lalu mempersiapkan pelindung preventif berupa pembuatan perjanjian kawin.
Hanya saja yang  membuat Perjanjian kawin sedikit menyimpang, karena tidak melulu berisi tentang seluk beluk harta kawin, tetapi menyangkutnpula hal-hal lain yang tidak ada sangku pautnya dengan soal harta. Pembentuk undang-undang memberikan kebebasan kepada calon mempelai untuk mengatur harta kawin mereka sesuai yang diinginkan. Namun tetap didalam koridor yang tidak melanggar batas-batas hukum, kesusilaan, dan agama.
      Dalam perkawinan putusnya perkawinan beserta akibatnya juga sangat perlu diperhatikan. Putusnya perkawinan di tegaskan oleh Pasal 38 UU Perkawinan yang menyatakan, Perkawinan dapat putus karena :
Kematian
Perceraian
Atas keputusan pengadilan
      Salah satu jenis putusnya perkawinan berdasar keputusan pengadilan, antara lain dapat dirujuk sebagaimana pengaturan tentang pembatalan perkawinan yang direntang mulai pasal 22-28  UU Perkawinan. Juga dapat di pergunakan sebagai contoh lain tentang putusnya perkawinan berdasar keputusan hakim, yaitu dalam peristiwa diajukannya taklik talak kedepan pengadilan. Mungkin sesuai perkembangan, penyebab putusnya perkawinan berdasar keputusan pengadilan, dapat mengambil bentu -- bentuk baru yang belum nampakpada saat ini untuk dirinci secara selektif. Meski demikian, jarring pengaman demi monitoring yang diperlukan oleh pemerintah terhadap lembaga perkawinan, sudah sejak dini di persiapkan.
      Adapun hak dan kewajiban antara orang tua dan anak. Kemunculan perikatan antara orang tua dan anak sudah menjadi kewajiban yang harus dipenuhi atau dilaksanakan. Bagi pihak orang tua dengan lahirnya anak maka kewajiban berupa memelihara, membelikan macam-macam kebutuhan anak, ataupun mendidiknya jelas harus dilakukan oleh orang tua. Hal ini dinyatakan secara tegas oleh Pasal 45 UU Perkawinan dengan pernyataan :
Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya.
Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat  (1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antar kedua orang tua putus.
Perkawinan Internasional eksitensi hukum nasional sebagai suatu sistem. Negara yang memiliki kedaulatan tentu akan mempunyai sistem hukum masing -- masing yang berbeda dengan Negara lain seagai hukum nasionalnya, dan bagi hakim setempat itulah yang disebut lex fori. Perbedaan sistem hukum Negara-negara diseantero dunia, disebabkan lintasan alur sejarah yang di tempuh tidak sama. Demikian juga nilai-nilai yang dihayati sebagai landasan sistem hukumnya, sudah barang tentu kadar dan jenisnya tidak bakal sealiran.
 Hukum yang dimiliki oleh setiap Negara, sebagai hukum nasionalnya, terangkum dalam suatu sistem yang tidak lain merupakan himpunan komponen-komponen yang saling berkaitan. Artinya sistem hukum pada setiap Negara, tentu saja terdiri dari komponen-komponen yang berwujud bidang-bidang hukum, misalnya bidang hukum administrasi, hukum pidana, hukum perdata dan sebagainya.
Hukum nasional, diasumsikan untuk mengatur tata kehidupan warganya agar tertib dan sejahtera. Hukum publik sebagaimana misalnya hukum administrasi, diarahkan untuk menata pemerintahan, sedang hukum privat atau hukum perdata dimaksudkan guna menanggani urusan pribadi dan bisnis para warga Negara. Demikian juga untuk kepentingan perkawinan Negara juga sudah menyediakan aturan-aturannya yang kebanyakan dikemas dalam wujud dwingend recht atau ketentuan hukum yang bersifat memaksa. Hubungan bisnis juga dalam perkawinan, apabila dilakukan oleh para warga tentu saja para pihaknya akan mengacu dan mendomani hukum nasional yang tersedia.
 HPI sebagai subtansi hukum nasional, hubungan hukum yang dilakukan antar warga sebatas garis territorial akan menggunakan hukum nasionalnya. Deemikian juga warga Negara Indonesia yang saling terikat antara yang satu dengan yang lainnya, akan tunduk dan patuh pada UU Perkawinan. Ini disebabkan oleh tali perkawinan yang mereka jalani, semua unsur -- unsurnya adalah nasional murni, yakni calon suami berkewenangan Indonesia, demikian juga calon istrinya dan perkawinan di langsungkan di Indonesia. Hal ini menunjukan bahwa semua unsur dari perkawinan tersebut adalah nasional murni, tanpa diselipi unsur asing ( foreign element) maka jenis perkara-perkara ini tergolong perkara perdata intern.
HPI berbeda dengan hukum internasional ( HI ), meski keduanya memakai istilah internasional. Hukum Perdata Internasional ( HPI ), kata internasional disitu bukan ditunjukan pada hukumnya, tetapi justru ditunjukan untuk materinya atau perkaranya, sehingga setiap Negara akan memiliki HPI sendiri sebagai bagian hukum nasionalnya. HPI bersifat nasional kegunaanya sebatas pada perkara perdata yang mengandung unsur asing yang relavan. Jadi dengan adanya unsur asing, maka perkara tersebut masuk dalam ranah HPI.
Tak terbantahkan, bahwasannya eksitensi UU Perkawinan adalah sarat dengan unsur agamawi, namun ini bukan dalih yang harus dikedepankan saat berhadapan dengan sistem hukum Negara lain yang tentu saja sangat berbeda. Sikap menghormati sistem hukum negar lain, adalah sebanding dan sejajar dengan keinginan bangsa Indonesia sendiri yang menghendaki agar sistem hukumnya juga dihargai oleh Negara-negara lain di dunia.
Sikap chauvinistis tak sepatutnya disandang dengan pongah saat ada dalam perjamuan dunia internasional yang berporos pada kesantunan universal. Terlebih bangsa Indonesia sudah dikenal memiliki falsafah pancasila dan selalu menabuh prinsip kekeluargaan bertalu-talu tanpa jeda, demi mewujudkan tatanan masyarakat beradap bagi keseluruhan umat. Â Â Â Â
     Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI