Didalam perkawinan masalah mengenai perjanjian harta benda juga penting, ketentuan menyangkut perjanjian kawin dapat dijumpai dalam pasal 29 UU Perkawinan. Perjanjian perkawinan dibuat oleh para calon mempelai karena keduanya berkehendak untuk melakukan penyimpangan terhadap ketentuan undang-undang yang mengatur seluk beluk harta kawin. Mengikuti sistematika yang benar, Â akan ditelaah dulu aturan tentang harta kawin. Apabila dikaji akibat hukum kawin menyangkut harta, pemerintah Indonesia mengaturnya pada pasal 35 UU Perkwinan yang intinya memakai pola terpisah yang berbeda dengan pola persatuan pada BW. Lengkapnya Pasal 35 UU Perkawinan menegaskan :
- Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.
- Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah dibawah penguasaan masing-masing sepanjak para pihak tidak menentukan lain.
 Untuk masa kini Perjanjian kawin memang belum membudaya bagi keseluruhan warga Negara Indonesia, namun sudah ada beberapa kalangan yang sejak awal mulai berhitung serta mengantisipasi munculnya risiko yang potensial dapat menimpa kehidupan sebuah rumah tangga, lalu mempersiapkan pelindung preventif berupa pembuatan perjanjian kawin.
Hanya saja yang  membuat Perjanjian kawin sedikit menyimpang, karena tidak melulu berisi tentang seluk beluk harta kawin, tetapi menyangkutnpula hal-hal lain yang tidak ada sangku pautnya dengan soal harta. Pembentuk undang-undang memberikan kebebasan kepada calon mempelai untuk mengatur harta kawin mereka sesuai yang diinginkan. Namun tetap didalam koridor yang tidak melanggar batas-batas hukum, kesusilaan, dan agama.
      Dalam perkawinan putusnya perkawinan beserta akibatnya juga sangat perlu diperhatikan. Putusnya perkawinan di tegaskan oleh Pasal 38 UU Perkawinan yang menyatakan, Perkawinan dapat putus karena :
Kematian
Perceraian
Atas keputusan pengadilan
      Salah satu jenis putusnya perkawinan berdasar keputusan pengadilan, antara lain dapat dirujuk sebagaimana pengaturan tentang pembatalan perkawinan yang direntang mulai pasal 22-28  UU Perkawinan. Juga dapat di pergunakan sebagai contoh lain tentang putusnya perkawinan berdasar keputusan hakim, yaitu dalam peristiwa diajukannya taklik talak kedepan pengadilan. Mungkin sesuai perkembangan, penyebab putusnya perkawinan berdasar keputusan pengadilan, dapat mengambil bentu -- bentuk baru yang belum nampakpada saat ini untuk dirinci secara selektif. Meski demikian, jarring pengaman demi monitoring yang diperlukan oleh pemerintah terhadap lembaga perkawinan, sudah sejak dini di persiapkan.
      Adapun hak dan kewajiban antara orang tua dan anak. Kemunculan perikatan antara orang tua dan anak sudah menjadi kewajiban yang harus dipenuhi atau dilaksanakan. Bagi pihak orang tua dengan lahirnya anak maka kewajiban berupa memelihara, membelikan macam-macam kebutuhan anak, ataupun mendidiknya jelas harus dilakukan oleh orang tua. Hal ini dinyatakan secara tegas oleh Pasal 45 UU Perkawinan dengan pernyataan :
Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya.
Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat  (1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antar kedua orang tua putus.