Mohon tunggu...
INAR SETYANINGRUM
INAR SETYANINGRUM Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Nyanyi

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Hukum Perkawinan Indonesia

14 Maret 2023   18:01 Diperbarui: 14 Maret 2023   18:07 168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pengaturan poligini dalam UU Perkawinan beserta aturan penjabarannya, oleh pemerintah dilakukan dengan menciptakan koridor yang terkontrol secara seksama, terlebih -- lebih bagi suami yang berstatus sebagai pegawai negeri sipil. Gambaran ini memberikan ilustrasi bahwasannya suami yang oleh agama islam dimungkinkan untuk mempunyai istri lebih dari satu, pemerintah bersikap bijaksana dengan membuat beberapa peraturan agar lembaga poligini tetap dapat dilaksanakan tanpa perlu membentur asas-asas hukum perkawinan sebagai sendi pokok kehidupan bangsa.

Didalam perkawinan sepakat tidaknya para pihak dalam perkawinan merupakan hal yang penting, karena suatu hubungan hukum yang melibatkan pihak-pihak, perkawinan harus diawali dengan persetujuan dari calon mempelai sebelum naik ke pelaminan. Sepakat dalam ranah perkawinan lebih tertuju kepada kesanggupan para pihak untuk mematuhi ketentuan perkawinan. Ini penting disebabkan para pihak yang bersangkutan bersepakat akan membangun sebuah rumah tangga atau keluarga yang dijadikan dasar dan komponen inti kehidupan sosial. Kesepakatn dalam perkawinan cenderung lebih terfokus pada persetujuan antara dua sejoli untuk memikul kewajiban dan tanggung jawab sebagai suami istri.

Proses penerbitan izin kawin bagi pasangan yang akan naik menuju ke pelaminan, tidak di perkenakan sampai melanggar tatanan agama. Penegasan aturan ini memperkuat arti pentingnya hakikat izin kawin, salah satunya sebagai perwujudan dari rasa hormat yang wajib ditunjukan oleh setiap insan kepada orang tua yang telah melahirkan dan membesarkannya. Pola hidup santun dalam tatanan keluarga, juga dijadikan salah satu ajaran penting dalam agama, sehingga tidak berlebihan kalau pembentuk undang-undang mencantumkan perihal ini dalam salah satu persyartan UU perkawinan.

Perkawinan juga mengatur mengenai batas usia minimum untuk kawin, dapat dilihat dalam pasal 7 UU Perkawinan ditetapkan bahwa usia minimum untuk kawin bagi seorang anak perempuan adalah 16 ( enam belas ) tahun, sedangkan bagi seorang pria adalah 19 ( Sembilan belas ) tahun. Adapun jenis halangan untuk kawin yang terdapat pada pasal 8 UU Perkawinan mengatur tentang larangan kawin bagi mereka yang masih memiliki hubungan darah. Pasal 9 UU Perkawinan menyatakan bahwa : 

" Seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi, kecuali dalam hal yang tersebut pad pasal 3 ayat 2 dan pasal 4 undang-undang ini". Larangan memiliki pasangan lagi bagi mereka yang masih terikat perkawinan dengan seseorang, sifatnya relatif untuk suami, sebalikya bersifat mutlak untuk istri. Poligami dibolehkan asal ada persetujuan dari istri yang pertama dan suami dapat berlaku adil. Pasal 10 UU Perkawinan melarang adanya pengulangan kawin bagi pasangan yang sama untuk beberapa kali, dengan tetap memperhatikan aturan agama yang bersangkutan.

Kawin cerai yang dilakukan orang tua akan berdampak pada pertumbuhan anak sebagai generasi penerus, untuk itu UU Perkawinan membatasi pengulangan kawin beberapa kali dari pasangan yang sama dengan penyesuaian pada ajaran agama yang bersangkutan. Apabila ada seorang laki-laki ingin menikahi janda maka si laki-laki tersebut harus mengetahui jangka waktu tunggu bagi janda adapun aturan jangka waktu tunggu dalam UU Perkawinan, dengan menyimak Pasal 39 PP No.9/1975 yaitu:

  • 130 hari bagi janda akibat kematian suami,
  • 3 kali suci, minimal 90 hari bagi janda karena cerai,
  • Sampai melahirkan kalau janda yang bersangkutan dalam keadaan hamil,
  • 0 ( nol ) hari atau tidak ada jangka waktu tunggu bagi janda yang bercerai tetapi belum mengadakan hubungan seksual dengan suaminya.

Sedangkan untuk tata cara pelaksanaan perkawinan diatur oleh Pasal 2 PP No. 9/1975. Ketentuan yang mengatur tentang tata cara atau prosedur ini, tentu saja berposisi sebagai dwingend recht ( hukum wajib ). Oleh sebab itu, aturan ini menjadi penting karena untuk memenuhi syarat keabsahan perkawinan tersebut. Inilah sikap yang wajib ditegakkan mengingat Indonesia merupakan bagian dari masyarakat internasional yan memiliki tata karma juga. Jika ada orang asing yang yang kawin di Indonesia berarti wajib mematuhu tata cara yang berlaku menurut hukum Indonesia, maka saat pasangan suami istri itu kembali ke tanaha airnya perkawinan mereka juga akan diakui sah oleh pemeritahnya.

 Pencegahan dan Pembatalan nikah merupakan peristiwa yang relative jarang terjadi dalam kehidupan masyarakat, khususnya kalau dibandingan dengan peristiwa putusnya perkawinan. Pencegahan ini dapat bersifat sementara bagi calon memepelai yang bersangkutan. 

Pencegahan perkawinan diatur mulai Pasal 13-21 UU Perkawinan,agar tidak ada suatu perkawinan yang melanggar syarat-syarat yang sudah ditentukan. Pasal 14 UU Perkawinan menentukan siapa saja yang diberi kesempatan untuk melakukan pencegahan suatu pekawinan yang akan di langsungkan tersebut, antara lain pihak keluarga baik dalam urutan garis keturunan lurus ke atas maupun ke bawah. Pasal 21 UU Perkawinan pada intinya pegawai pencatat perkawinan melaksanakan tugasnya berupa menolak melangsungkan perkawinan berdasar alas an adanya permohonan pencegahan, akan memberikan suatu keterangan tertulis disertai alas an penolakannya.

Sedangkan Pembatalan perkawinan yaitu perkawinan seorang laki-laki dan perempuan yang belum terlaksanakan, keburu dicegah sehingga perkawinan belum terlaksanakan. Pembatalan perkawinan diawali Pasal 22 UU Perkawinan yang menyatakan bahwa perkawinan dapat di batalkan, apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melaksanakan perkawinan. Pembatalan perkawinan, dalam kehidupan sehari-hari memang relatife jarang terjadi, namun andai peristiwa itu benar-benar muncul, persoalan yang di timbulkan tidak mudah untuk mengatasinya. 

Putusan pengadilan tentang pembatalan perkawinan ini ,memerlukan pertimbangan yang cermat dan akurat dari hakim yang menanganinya, agar dapat dijadikan pegangan oleh hakim berikutnya, sehingga akan terbentuk hukum yurispudensi yang kokoh.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun