Mohon tunggu...
Ina Lusyana
Ina Lusyana Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Ingin selalu belajar apapun sepanjang usia

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tak Ingin Memiliki

23 Agustus 2013   23:49 Diperbarui: 24 Juni 2015   08:54 122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Hari ini ada acara perpisahan kelas IX di SMP-ku. SMP-ku selalu menyewa gedung yang sama untuk acara perpisahan. Bahkan kabarnya, alumni dari sekolah kami pun juga menggunakan gedung tersebut untuk acara reuni.

Hari itu suasana yang sangat sibuk tergambar di gedung. Para pelajar putra mengatur interior panggung sedangkan pelajar putri menyiapkan hidangan dan bersih-bersih.

Aku mendapat bagian menata letak makanan yang sudah dimasukkan kotak. Kotak makanan kutata serapi mungkin di atas meja besar dan panjang. Itu akan memudahkan para kru mengambilnya saat pembagian makanan.

"Auwww!!!" teriakku.

Aku bertabrakan dengan siswa lain yang sedang lewat. Aku pun mendongak, sejenak aku terpukau. Ternyata dia adalah seorang yang sangat aku kagumi selama ini. Tapi, aku tidak pernah tahu namanya. Aku tidak sempat membaca namanya pada bedge nama. Aku tidak berani memandangnya lekat-lekat. Aku hanya curi-curi pandang padanya. Aku terlalu takut kalau orang lain tahu aku menyukainya.

"Eh, sorry ya," suara lembut itu menyadarkanku dari lamunan.

"Oh, ehmm..... nggak papa, kok," jawabku kikuk.

"O iya, kamu anak kelas berapa sih? Kok kayaknya aku sering lihat kamu waktu aku latihan nge-band?"

"Aku emang selalu ada diantara anak-anak yang nonton latihan band. Soalnya aku suka musik. Aku anak kelas sembilan D," jawabku seraya menundukkan kepala.

"Wah, unggulan nih!" katanya menggodaku.

"Ah, nggak juga kok," jawabku tersipu malu.

"Udahlah, nggak usah merendah!"

"Bukannya gitu. Kalau dibilang unggulan sih masih belum pantas buat kelas sembilan D. Anak-anak sembilan D kan juga pernah nglakuin kesalahan dan pernah dapat nilai jelek juga."

"Ya...tapi kan kalau dibandingin sama kelas lain, kelas kamu tuh rata-rata IQ-nya termasuk tinggi."

Aku hanya tersenyum simpul. Tidak tahu harus menjawab apa.

"NUN kamu pasti tinggi, donk!" katanya lagi.

"Ya... gitu, deh."

"Gitu gimana? Pasti memuaskan, ya?"

"Aku sih bakalan puas kalau dapat nilai sempurna. Tapi udahlah, nggak usah dibahas lagi."

"Oya, nama kamu siapa?"

"Keiya," jawabku singkat.

"Keiya siapa?"

"Keiyashi Kimitaru."

"Wui, Jepang banget namanya!"

"Yang asli Jepang itu bokap."

"Ooh... gitu. Aku Gleiv Anthony, anak sembilan F," ujarnya seraya mengulurkan tangan.

Kusambut uluran tangannya walau dengan perasaan grogi.

"Wah, nama kamu kebarat-baratan juga ya?"

"Yah, umumnya orang Indonesia kan gitu. Suka nama-nama orang barat. Termasuk bonyok-ku."

"Keiya, sini dong...! Bantuin!" teriak Fincha.

Aku mulai sadar kalau obrolanku dengannya agak lama. Perasaan takut kalau semua orang mengira aku suka dia, muncul lagi."

"Iya, Fin! Udah dulu ya, Gleiv," kataku seraya berlalu meninggalkannya.

Tampaknya kata "Gleiv" masih terasa aneh untuk kuucapkan.

Ketika aku sudah menghampiri Fincha, aku langsung membantunya. Aku berusaha sesibuk mungkin. Aku takut kalau Fincha menanyaiku macam-macam tentang obrolanku dengan Gleiv. Walau aku tahu tidak ada yang spesial dari obrolan kami.

Saat acara perpisahan dimulai, aku duduk di sebuah kursi. Aku sedang mempersiapkan diri untuk tampil membaca puisi. Aku berulang-ulang membaca lirik puisi  agar lancar. Aku juga melatih improvisasiku.

"Hai, Keiy," suara lembut nan merdu milik Gleiv menyapaku.

"Hai juga," jawabku seraya tersenyum.

"Kamu yang baca puisi, ya?" tanyanya seraya duduk di sampingku.

Sebenarnya aku merasa tidak enak kalau sampai dilihat teman0teman lain. Tapi aku juga merasa tidak enak kalau menghindar. Aku merasa serba salah. Aku tetap berpura-pura tenang dan membiarkan dia duduk di sampingku.

"Iya," jawabku kemudian.

"Sukses, ya!" katanya sambil memasang senyum ramah di wajah dan mengulurkan tangan untuk kedua kalinya.

Aku pun menyambutnya dengan riang disertai ucapan terima kasihkarena simpatinya padaku. Belum pernah ada seorang cowok yang bersimpati padaku. Gleiv adalah orang pertamanya. Sungguh membuatku tak bisa melupakan peristiwa singkat ini.

"Oh iya, nama band kamu apaan sih?"

"B-Qen band."

"Ooh..."

"Eh, katanya kamu suka musik. Mau nggak belajar mainin gitar?"

"Ha? Di mana?"

"Di rumahku. Nanti aku ajarin."

Walau dalam hati aku senang karena dia memberi perhatian lebih, aku takut kalau kedekatanku nanti menumbuhkan cinta. Aku tidak ingin jatuh cinta saat ini. Aku takut cinta akan menghancurkan cita-citaku.

"Ehm... gimana ya, Gleiv? Sorry ya, kayaknya aku nggak bisa."

"Kenapa?" tanyanya dengan nada kecewa.

"Kayaknya kegiatanku banyak deh saat SMA nanti."

"Tapi aku yakin kamu bisa bagi waktu. Aku siap kok ngajarin kamu kapan aja."

"Sorry, Gleiv. Bukannya aku nggak mau, tapi aku nggak bisa. Aku kan nggak tahu rumah kamu di mana."

"Tenang aja, nanti aku kasih tahu, kok."

"Nggak usah, Gleiv. Kan nggak baik kalau cewek ke rumah cowok," jawabku mencari-cari alasan.

"Gimana kalau aku yang ke rumah kamu?"

"Jangan," kataku setengah berteriak. Aku merasa dipaksa dan dipojokkan hingga aku tak berkutik. Tapi aku masih punya beribu alasan untuk menolaknya," Kan nggak enak kalau ntar ada yang tahu kamu sering ke rumah aku. Ntar disangkain kita punya hubungan khusus."

"Maksudnya... pacar?"

Aku mengangguk malu.

"Emang kenapa kalau aku disangkain pacar kamu?"

"Ha? Ehmm... ya nggak papa sih," kali ini aku tak bisa menjawab.

"Keiy, dari dulu tuh aku ngrasa kalau kamu selalu merhatiin aku."

Tiba-tiba aku gugup. Aku takut kalau dia menyangka aku jatuh cinta padanya. Padahal, aku kan hanya suka. Tidak lebih dari itu.

"Yaa... terus kenapa, Gleiv?" tanyaku penasaran.

"Apa kamuuu..." Gleiv tidak menyelesaikan kalimatnya.

"Aku apa? Aku kenapa? Apa ada yang salah sama aku?" aku meluncurkan pertanyaan yang bertubi-tubi padanya.

"Apa kamu memendam rasa cinta sama aku?"

Apa yang kutakutkan ternyata benar terjadi. Aku gugup, tak tahu harus berkata apa. Aku merasa sulit untuk menjelaskannya kepada Gleiv. Bibirku terasa kelu. Seolah Gleiv pun mengetahui kegugupanku.

"Maaf Keiy, bukannya aku terlalu PD. Aku cuma pengen tahu isi hati kamu yang sesungguhnya."

"Gimana ya, Gleiv? Aku susah ngejelasinnya. Selama ini aku memang nge-fans sama kamu. Tapi bukan berarti aku cinta. Aku masih belum berani dan belum tertarik untuk terjun ke dunia cinta. Aku harap kamu bisa ngertiin aku, Gleiv."

Seusai menyelesaikan ucapanku, aku meninggalkan Gleiv yang tengah tenggelam dalam renungannya. Aku membiarkannya sendiri.Baru meninggalkannya beberapa langkah, aku menoleh ke arahnya. Tatap mataku berpapasan dengan tatap matanya. Aku melihat matanya berbinar dan senyum terhias di bibirnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun