Mohon tunggu...
Irenna M
Irenna M Mohon Tunggu... Penulis - human

master none

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Menggantung Kebebasan di Halaman Belakang Rumah

28 Oktober 2022   11:42 Diperbarui: 29 Oktober 2022   21:00 464
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. (Foto: Dokumentasi pribadi)

Kata-kata Ani penuh dengan makna. Seorang yang terpaksa harus melepas mimpi dan cita-citanya. Sesuatu hal yang memilukan. "Kamu masih bisa lulus SMA dan berkuliah, Ni. Menurutku komunikasi dalam rumah tangga itu penting, termasuk menceritakan tentang mimpimu."

"Mbak ... lapisan sosial kita berbeda. Mungkin di luar sana, hal itu bisa saja terjadi. Tetapi di sini ... kami punya aturannya sendiri. Setelah menikah, perempuan menyerahkan seluruh hidupnya untuk keluarga. Di mana perempuan dijadikan objek, di mana pendidikan bagi perempuan dianggap percuma atau bahkan sia-sia." Ani bangkit dari kasurnya, berjalan menuju jendela kamar untuk membukanya. "Bersyukurlah Mbak Rana yang merdeka. Merdeka untuk menentukan sendiri hidupnya, merdeka untuk mencari ilmu, serta pengalaman sebanyak-banyaknya. Melihat betapa luas dunia. Tidak sepertiku, dunia bagai kotak dalam kotak. Penuh aturan, stigma, ketidakbebasan."

Ani berusaha mengatur mimik wajahnya yang terlihat putus asa. Ia menyeka kembali sisa bulir putih dipelupuk matanya. Barangkali dia tidak mau membagikan kesedihnnya pada sembarang orang, termasuk aku.

Sore itu, aku mencerna lebih dalam makna apa yang Ani katakan. Selama ini, aku merasa pendidikan itu membatasi kebebasan. Bagaimana dalam pendidikan selalu ada aturan-aturan yang mengikat. Waktu sekolah, kami disuruh berangkat pagi pulang sore. Kami harus bisa menyentuh nilai KKM dalam setiap mata pelajaran. Padahal aku benci Matematika, apalagi Fisika. Di kuliah, kami disuruh berpikir kritis, tetapi ketika kami menyuarakan pendapat, kami dibungkam.

Namun, apa yang Ani katakan ada benarnya juga. Aku punya perspektif baru untuk itu. Dunia begitu luas. Jika kita hanya melihat satu sisi, kita tidak akan pernah melihat sisi lainnya. Ketika kita menilai sesuatu dengan keburukan saja, kita tidak akan pernah menemukan kebaikan dibalik semua itu.

Bagiku, kuliah hanya menjalani kata ayah, tetapi bagi Ani, kuliah adalah cara dia menjelajahi dunia. Mungkin itu yang disebut impian. Namun sayang, sebelum memulai, Ani sudah harus menguburnya dalam.

"Kamu bisa kabur, Ni." Saranku terdengar konyol, mungkin karena aku tidak punya pengalaman dalam hal ini. Beruntung saja sinetron Indonesia pernah menayangkan kisah wanita yang dijodohkan, tetapi berhasil kabur. Sesungguhnya aku sebal memujinya, tetapi dalam keadaan genting seperti ini, aku patut berterima kasih pada penulis skrip untuk ide gila itu. "Setelah kabur ... kamu bisa bebas."

Ani mengulas senyum kecil, mungkin dalam hati ia mengumpat sambil tertawa bagaimana aku bisa memberikan ide itu. "Kabur nggak menyelesaikan masalah. Setelah kabur ... aku masih harus menjalani hari esok dengan segudang permasalahan lain seperti memikirkan di mana aku tinggal, bekerja apa untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, dan makan apa nanti malam, Mbak."

"Jadi ... kamu mau menyerah begitu saja?" tanyaku saat itu penuh emosi. Ani terang-terangan menunjukan betapa ia menderita tanpa menyelesaikan masalahnya.

"Sebentar lagi aku akan bebas," katanya dengan nada lirih. "Aku nggak sabar untuk itu."

"Bagaimana caranya?" tanyaku penasaran.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun