Mohon tunggu...
Irenna M
Irenna M Mohon Tunggu... Penulis - human

master none

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Menggantung Kebebasan di Halaman Belakang Rumah

28 Oktober 2022   11:42 Diperbarui: 29 Oktober 2022   21:00 464
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. (Foto: Dokumentasi pribadi)

Ibu datang setelahnya. Sama sepertiku, ibu pun hanya tersenyum canggung karena tidak mengerti harus membalas apa.

"Iki tah anakke siro tah Li? Ya ampun ... ayu temen kaya Mbah'e, ya?" Wanita paruh baya yang bernama Woni itu pun mendekat dan memegang pergelangan tanganku. Aku mambalas dengan senyuman. (Ini anak kamu, Li? Ya ampun, cantik banget seperti Eyang Putrinya)

"Iya, Mbak. Namanya Rana," jawab ayah. Antara mereka pun terlibat pembicaraan yang aku sendiri samar-samar mengerti artinya. Namun satu hal yang aku sadari, dari tadi Mbah Woni tidak melepaskan pandangannya kepadaku. Mata itu meneliti penampilanku dari atas hingga bawah. Meskipun Budhe Woni perempuan, tetap saja aku sedikit risih dibuatnya.

"Wis ndue calon durung, Nok?" tanya Mbah Woni tiba-tiba. (Sudah punya calon suami belum, Neng?")

Aku terkejut, lalu tersenyum kikuk mengisyaratkan bahwa aku tak paham arah pembicaraannya ke mana.

"Eh ... nggak ngerti, ya? Maksud Budhe, kamu sudah punya calon suami belum seperti Ani? Enak lho dia, suaminya kaya raya. Juragan sawah dan empang," katanya sambil senyum-senyum, ia bahkan melirik ke arah ayah dan ibu. Entah apa maksudnya.

"Belum, Budhe. Masih mau fokus kuliah," jawabku sesopan mungkin. Namun, aku tidak menyangka bahwa Mbah Woni mengatakan hal yang membuat aku sedikit kesal.

"Kuliah juga nanti ujung-ujungnya kerja di dapur. Kodrat perempuan itu kan begitu. Menikah, mengurus keluarga, dan melayani suami."

Air mukaku benar-benar langsung berubah. Apa bedanya perempuan dan laki-laki? Memang yang boleh bekerja hanya laki-laki saja? Banyak kok perempuan yang bekerja, tetapi masih bisa mengurus keluarganya dengan baik. Stigma seperti itu harus dipatahkan.

Sadar dengan ekspresiku yang berubah, ibu buru-buru menengahi dan berkata, "Eh, Na. Gih sana ke kamar Ani. Puas-puasin main dulu sana!"

Aku langsung paham maksud ibu. Lagipula, aku malas harus berpura-pura menampilkan wajah manis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun