Pandemi Covid-19 mengubah wajah industri pariwisata global. Wisata konvensional yang mengandalkan keramaian dan interaksi fisik terpaksa berhenti. Hotel-hotel sepi, destinasi favorit kehilangan pengunjung, dan ekonomi daerah yang bergantung pada wisata merosot tajam.
Lombok, yang selama ini dikenal dengan keindahan alamnya, merasakan dampak yang luar biasa. Kini, di tengah upaya pemulihan, konsep wisata halal muncul sebagai alternatif yang tidak hanya relevan, tetapi juga memiliki daya tarik tersendiri bagi pasar global (Henderson, 2016).
Lombok bukanlah pemain baru dalam wisata halal. Penghargaan sebagai World’s Best Halal Tourism Destination pada 2015 dan 2016 membuktikan bahwa pulau ini telah lama menjadi tujuan favorit wisatawan Muslim. Sayangnya, geliat wisata halal belum merata.
Satu daerah yang kini tengah disorot adalah Desa Kediri di Lombok Barat, yang dikenal sebagai Kota Santri. Identitas ini lahir dari keberadaan tujuh pondok pesantren besar, masjid-masjid bersejarah, serta dua perguruan tinggi Islam yang menjadikan Kediri pusat pendidikan agama di Lombok (Amin, 2020).
Sebagai Kota Santri, Kediri memiliki modal sosial dan budaya yang kuat untuk dikembangkan sebagai destinasi wisata halal. Konsep ini bukan hanya tentang menyediakan makanan halal atau fasilitas ibadah, tetapi juga menawarkan pengalaman berbasis nilai-nilai Islam yang inklusif.
Di berbagai negara, wisata halal telah berkembang menjadi ekosistem yang luas, mencakup edukasi, budaya, hingga ekonomi kreatif. Konsep ini berpeluang diterapkan di Kediri, bukan hanya sebagai strategi pemulihan pasca-pandemi, tetapi juga sebagai arah baru pembangunan wisata Lombok Barat (Battour & Ismail, 2016).
Salah satu potensi utama yang bisa dikembangkan adalah program live-in di pesantren. Wisatawan dapat merasakan langsung kehidupan santri, belajar mengaji, memahami tradisi pesantren, dan mengikuti aktivitas keagamaan.
Program serupa telah sukses diterapkan di beberapa negara, seperti Jepang yang menawarkan pengalaman tinggal di kuil bagi wisatawan yang ingin memahami budaya Zen (Yusof & Shutto, 2014). Jika konsep ini diterapkan di Kediri, wisata halal tidak hanya menjadi pengalaman spiritual, tetapi juga sarana edukasi dan diplomasi budaya.
Selain pesantren, masjid-masjid di Kediri bisa menjadi daya tarik tersendiri. Wisata religi telah lama menjadi sektor penting dalam industri pariwisata global. Masjid-masjid bersejarah di Timur Tengah dan Turki menarik jutaan wisatawan setiap tahun.
Dengan pendekatan yang tepat, masjid di Kediri juga bisa menjadi destinasi menarik bagi mereka yang ingin mengetahui lebih dalam sejarah perkembangan Islam di Lombok. Ini sejalan dengan tren global di mana wisata berbasis heritage semakin diminati (Timothy & Olsen, 2006).
Aspek lain yang tak kalah penting dalam wisata halal adalah kuliner. Lombok dikenal dengan kekayaan kulinernya yang khas. Ayam taliwang, plecing kangkung, hingga kopi Sasak dapat dikemas dalam konsep wisata halal yang menarik. Restoran dan kafe bisa mengusung konsep halal-friendly, tidak hanya dalam aspek makanan, tetapi juga dalam suasana dan pelayanannya.
Studi dari Global Muslim Travel Index menunjukkan bahwa wisatawan Muslim cenderung memilih destinasi yang tidak hanya menyediakan makanan halal, tetapi juga lingkungan yang mendukung gaya hidup mereka (Mastercard & CrescentRating, 2021).
Tak hanya kuliner, sektor ekonomi kreatif juga bisa menjadi pendukung utama wisata halal di Kediri. Produksi songkok haji khas Kediri, misalnya, dapat menjadi suvenir unggulan yang bernilai ekonomi tinggi.
Selain itu, seni dan budaya Sasak yang kaya dengan nilai-nilai Islam bisa dikemas dalam pertunjukan seni, lokakarya pembuatan tenun, dan festival budaya berbasis wisata halal. Studi tentang pariwisata budaya menunjukkan bahwa wisata berbasis komunitas lebih berkelanjutan karena melibatkan partisipasi langsung masyarakat lokal (Scheyvens, 2002).
Namun, pengembangan wisata halal di Kediri tentu menghadapi tantangan. Infrastruktur masih menjadi kendala utama. Akses transportasi yang terbatas membuat wisatawan kesulitan mencapai Kediri. Kesiapan masyarakat dalam menerima konsep wisata halal juga harus ditingkatkan.
Tanpa partisipasi aktif masyarakat, konsep ini akan sulit berjalan. Peran ulama dan tokoh agama sangat penting dalam menjembatani pemahaman masyarakat bahwa wisata halal bukan hanya strategi ekonomi, tetapi juga bagian dari dakwah kultural (Ratten, 2021).
Selain dukungan dari komunitas lokal, generasi muda harus dilibatkan dalam pengembangan wisata halal di Kediri. Peran mereka penting dalam inovasi dan kreativitas, terutama dalam memanfaatkan teknologi untuk mempromosikan destinasi wisata halal secara efektif dan berkelanjutan.
Digitalisasi menjadi kunci pemasaran wisata halal Kediri. Dengan strategi digital yang tepat, destinasi ini bisa dikenal luas. Media sosial, platform pemesanan online, dan aplikasi wisata halal berbasis teknologi harus dimanfaatkan untuk menarik wisatawan global (Rahman et al., 2020).
Untuk mewujudkan wisata halal yang berkelanjutan, sinergi antara pemerintah daerah, akademisi, dan pelaku usaha menjadi faktor kunci. Kabupaten Lombok Barat perlu memiliki Badan Riset, yang salah satu kegiatannya fokus pada pengembangan wisata halal berbasis data dan kajian akademis.Â
Badan ini dapat berperan dalam melakukan riset pasar, menyusun strategi pemasaran, serta merancang kebijakan yang mendukung ekosistem wisata halal yang kompetitif (Hall & Prayag, 2020), dengan melibatkan pesantren dan perguruan tinggi yang ada.
Dukungan regulasi juga diperlukan. Pemerintah daerah bisa menginisiasi kebijakan yang mendukung ekosistem wisata halal, seperti sertifikasi halal untuk pelaku usaha, pelatihan bagi pemandu wisata, serta pembangunan infrastruktur yang ramah Muslim.Â
Studi tentang regulasi pariwisata menunjukkan bahwa kebijakan yang tepat dapat meningkatkan daya saing destinasi wisata secara signifikan (Dredge & Jenkins, 2011).
Peran Tenaga Pendamping Profesional (TPP) atau Pendamping Desa juga sangat penting dalam penataan wisata halal ini. TPP membantu menyusun perencanaan strategis berbasis desa tematik, mendampingi masyarakat, serta memberikan pelatihan pengembangan wisata halal berbasis komunitas.
Kediri memiliki potensi besar menjadi model wisata halal berbasis komunitas. Dengan strategi yang tepat, desa ini bisa menjadi ikon baru yang memperkuat posisi Lombok sebagai pusat pariwisata halal dunia.
Menata wisata halal di Kota Santri bukan hanya tentang ekonomi, tetapi juga membangun pemahaman bahwa wisata berbasis nilai tidak harus eksklusif. Dengan pendekatan inklusif, inovatif, dan berkelanjutan, Kediri bisa menjadi percontohan pariwisata halal yang tetap selaras dengan budaya dan nilai lokal.
Potensi Wisata Halal di Kediri antara lain: Pondok Pesantren – Program live-in dan edukasi keislaman. Masjid Bersejarah – Destinasi wisata religi. Kuliner Halal – Makanan khas Lombok dalam konsep halal-friendly. Ekonomi Kreatif – Songkok haji, tenun Sasak, dan festival budaya. Digitalisasi – Promosi berbasis media sosial dan aplikasi wisata.
Dengan konsep wisata halal yang dikelola secara profesional dan partisipatif, Kediri tidak hanya akan menjadi destinasi yang menarik, tetapi juga menciptakan kesejahteraan bagi masyarakat lokal terutama Lombok Barat.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI