Mohon tunggu...
Beryn Imtihan
Beryn Imtihan Mohon Tunggu... Konsultan - Penikmat Kopi

Saat ini mengabdi pada desa. Kopi satu-satunya hal yang selalu menarik perhatiannya...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ladang Gandum

23 Januari 2025   17:35 Diperbarui: 23 Januari 2025   18:38 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Matahari perlahan memanjat langit, menyiram hamparan ladang gandum PT. Sangat Waras dengan rona emas yang gemilang. Di tepi lahan itu, sebuah gubuk kecil berdiri kaku, menjadi saksi bisu dari kebimbangan yang bersarang di hati seorang lelaki. 

Wadi duduk bersandar pada tiang kayu yang mulai keropos, menggenggam ponselnya seolah benda itu mampu menjawab segala kegelisahan.

Dalam layar mungil itu, sebuah Surat Keputusan (SK) baru saja diunggah di grup WhatsApp buruh. 

Mata Wadi menelusuri daftar nama yang tercantum, matanya berharap menemukan jejak namanya di antara barisan huruf itu. Degup jantungnya bagai palu yang terus memukul.

Namun, harapan itu layu. Namanya lenyap dari lembaran nasib. Tidak ada pemberitahuan sebelumnya, tidak ada suara telepon yang memanggil. 

Hanya deretan nama yang terasa asing, menggantikan harapannya. Dadanya terasa sesak, seperti ada beban yang mengimpit tanpa ampun.

“Kok namaku gak ada, ya?” gumamnya, suaranya serak diterbangkan angin pagi yang dingin. Ia mencoba menghibur diri, meyakinkan bahwa ini mungkin hanya sebuah kekeliruan kecil, sekelebat salah yang akan segera lurus. 

Tapi rasa itu runtuh seiring jawaban tegas dari mandor dan rekan-rekannya, kontraknya tak diperpanjang.

-----

Setahun silam, keberanian Wadi pernah melawan arus. Ia adalah buruh yang dikenal tenang, namun hari itu, keadilan memaksa dirinya bersuara. Gaji yang terlambat berminggu-minggu telah memuncak menjadi kemarahan kolektif, dan Wadi berdiri di hadapan Pak Butos, manajer lahan yang keras dan tak sabaran.

“Pak, ini bukan hanya soal uang. Kami punya keluarga yang harus makan,” ujar Wadi dengan nada tertahan. Namun, nada tenang itu dianggap sebagai duri oleh Butos.

“Apa kau pikir aku tak punya tanggung jawab lain?” bentak sang manajer, matanya menyala penuh amarah. Sejak saat itu, hubungan mereka membeku seperti es yang enggan mencair, meskipun Wadi tetap bekerja sebaik mungkin.

Kini, bayangan dendam itu kembali hadir, merayap di sela-sela pikirannya yang berkabut. Apakah ini harga dari keberaniannya?

-----

Kebingungan mengantarkan Wadi pada seorang teman seprofesi, berharap empati menjadi pelipur lara. Namun, yang ia terima justru tawa kecil yang menyakitkan.

“Sudahlah, Wadi. Jangan terlalu baper. Kau hanya sakit hati karena kontrakmu tak diperpanjang,” kata temannya dengan santai, seperti angin lalu.

Tawa itu menggema di kepala Wadi, lebih keras daripada deru traktor di ladang. Ia hanya ingin berbagi, tapi balasan yang ia dapatkan adalah dingin yang menusuk. Dalam hati, ia berdoa lirih, “Semoga kau tak pernah merasakan getir ini.”

-----

Langkah berikutnya membawanya ke kantor Ombudsman. Ia tahu, melawan sistem adalah pertempuran yang tak mudah, tapi ia juga tahu diam hanya akan membiarkan ketidakadilan terus tumbuh. Investigasi pun dimulai, dan perlahan tabir kelam itu tersingkap.

Ternyata, SK itu bukan sekadar urusan dendam pribadi. Direktur PT. Sangat Waras menandatangani dokumen tersebut tanpa verifikasi, sebuah tindakan yang mengabaikan prosedur perusahaan. Maladministrasi menjadi kata yang bergema di ruang rapat.

“Ini jelas pelanggaran. Baik manajer maupun direktur harus bertanggung jawab atas ketidakadilan ini,” ujar petugas Ombudsman dengan nada tegas.

Namun, sebelum kasus itu benar-benar menemu akhir, kabar mengejutkan tersiar. Pak Butos ditemukan tewas di ruang kerjanya. Sebuah dosis berlebih menghentikan detak jantungnya untuk selamanya.

-----

Berita itu menghantam Wadi seperti badai. Marah, lega, sedih — semua rasa bercampur menjadi satu. Ia tak pernah membayangkan konflik kecilnya akan berakhir pada tragedi seperti ini.

Perusahaan akhirnya meminta maaf kepada Wadi, menawarkan kontrak baru lengkap dengan kompensasi atas kerugian. Namun, Wadi memandang ke arah ladang yang membentang, emasnya kini terasa hambar di matanya.

Di bawah sinar matahari yang perlahan turun, Wadi meninggalkan kantor itu. Langkahnya terasa berat, namun hatinya tahu, ia sedang berjalan menuju kebebasan dengan luka yang tak mungkin segera sembuh, meski dibalut beribu maaf.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun