“Pak, ini bukan hanya soal uang. Kami punya keluarga yang harus makan,” ujar Wadi dengan nada tertahan. Namun, nada tenang itu dianggap sebagai duri oleh Butos.
“Apa kau pikir aku tak punya tanggung jawab lain?” bentak sang manajer, matanya menyala penuh amarah. Sejak saat itu, hubungan mereka membeku seperti es yang enggan mencair, meskipun Wadi tetap bekerja sebaik mungkin.
Kini, bayangan dendam itu kembali hadir, merayap di sela-sela pikirannya yang berkabut. Apakah ini harga dari keberaniannya?
-----
Kebingungan mengantarkan Wadi pada seorang teman seprofesi, berharap empati menjadi pelipur lara. Namun, yang ia terima justru tawa kecil yang menyakitkan.
“Sudahlah, Wadi. Jangan terlalu baper. Kau hanya sakit hati karena kontrakmu tak diperpanjang,” kata temannya dengan santai, seperti angin lalu.
Tawa itu menggema di kepala Wadi, lebih keras daripada deru traktor di ladang. Ia hanya ingin berbagi, tapi balasan yang ia dapatkan adalah dingin yang menusuk. Dalam hati, ia berdoa lirih, “Semoga kau tak pernah merasakan getir ini.”
-----
Langkah berikutnya membawanya ke kantor Ombudsman. Ia tahu, melawan sistem adalah pertempuran yang tak mudah, tapi ia juga tahu diam hanya akan membiarkan ketidakadilan terus tumbuh. Investigasi pun dimulai, dan perlahan tabir kelam itu tersingkap.
Ternyata, SK itu bukan sekadar urusan dendam pribadi. Direktur PT. Sangat Waras menandatangani dokumen tersebut tanpa verifikasi, sebuah tindakan yang mengabaikan prosedur perusahaan. Maladministrasi menjadi kata yang bergema di ruang rapat.
“Ini jelas pelanggaran. Baik manajer maupun direktur harus bertanggung jawab atas ketidakadilan ini,” ujar petugas Ombudsman dengan nada tegas.