Makanan mereka didominasi oleh sayuran dari kebun sendiri, kacang-kacangan, biji-bijian, serta buah-buahan yang tumbuh liar di pinggir jalan. Mereka tidak mampu membeli daging dan ikan secara rutin.Â
Bahkan jika mereka menyantap ikan atau daging, itu hanya terjadi pada saat-saat tertentu seperti saat ada undangan roah atau saat  perayaan hari besar agama seperti lebaran atau perayaan tertentu.
Sebagai masyarakat yang hidup di desa, mereka lebih terbiasa dengan pola makan yang bergantung pada hasil alam sekitar dan hasil pertanian yang mereka kelola sendiri.Â
Buah dipetik dari pohon kebun yang tumbuh alami, sayuran ditanam seadanya, dan bahan-bahan lokal diolah sederhana sebagai bagian dari keseharian mereka.
Ini adalah kenyataan hidup yang jauh dari konsep diet yang ditawarkan oleh banyak ahli gizi atau buku-buku kesehatan.
Diet Mediterania yang seringkali disebut-sebut sebagai pola makan yang sehat, menekankan konsumsi minyak zaitun, biji-bijian, ikan, sayur-mayur, dan buah-buahan. Diet ini dianggap mampu menjaga kesehatan jantung, menurunkan risiko kanker, serta meningkatkan kualitas hidup secara umum.
Namun, bagi orang miskin di desa, Diet Mediterania adalah sesuatu yang tidak terjangkau, baik dari segi bahan makanan yang dibutuhkan, maupun dari segi pemahaman tentang bagaimana cara menyusun menu yang seimbang.
Di tengah ketidaktahuan tentang konsep diet ini, orang desa lebih fokus pada apa yang bisa mereka makan untuk bertahan hidup. Mereka tidak memikirkan apakah makanan yang mereka konsumsi kaya akan omega-3 atau rendah kalori, melainkan apakah makanan tersebut cukup mengenyangkan dan dapat memberikan energi melanjutkan hidup.
Pola makan yang terbentuk akibat keterbatasan ini menunjukkan betapa besar ketimpangan dalam akses terhadap informasi dan sumber daya yang ada di masyarakat kita.Â
Di kota-kota besar, diet sehat menjadi hal yang biasa dan seringkali menjadi bagian dari gaya hidup. Di sisi lain, di desa-desa seperti ini, pola makan sederhana dan kadang-kadang terbatas menjadi pilihan satu-satunya.
Mereka tidak memiliki banyak pilihan untuk memilih bahan makanan. Sumber daya untuk membeli makanan bergizi atau mengakses bahan makanan berkualitas premium seperti yang disarankan dalam berbagai program diet tidak ada dalam kehidupan mereka.Â