Siang itu, saya berada di sebuah desa di Lombok Tengah. Suasana desa yang masih segar dengan hembusan angin dan hijau sawah-sawah yang membentang di kiri dan kanan jalan membuat perjalanan terasa lebih hidup. Namun, di tengah perjalanan yang baru saja dimulai dari kantor desa, tetiba hujan turun dengan lebat.
Seiring derasnya hujan, saya dan teman seperjalanan memutuskan berteduh. Kami berhenti di sebuah rumah kecil di pinggir jalan. Rumah tersebut tampak sederhana, dengan dinding gedek dan atap seng, dihuni seorang nenek dan cucu lelakinya yang berusia sekitar sepuluh tahun.
Nenek ini, seperti banyak perempuan tua lainnya di desa, menghadapi hidup dengan beban berat. Ia tinggal di rumah itu setelah menggadai satu-satunya harta yang dimilikinya—rumah peninggalan suaminya—untuk biaya anak perempuannya ke luar negeri sebagai buruh migran di Malaysia.
Kini, anak perempuannya bekerja jauh di negeri orang, sementara cucunya yang masih kecil harus menghadapi kenyataan pahit ditinggal ayahnya yang meninggal dunia.
Meski berada dalam kondisi serba kekurangan, nenek ini tetap berusaha bertahan hidup, dan walau dengan sederhana, ia menyuguhkan kami makan siang yang sederhana pula.
Makanan yang kami santap siang itu terdiri dari kacang panjang yang direbus, tempe goreng, dan sambal tomat. Makanan yang disuguhkan jelas bukanlah hidangan mewah, bahkan sangat sederhana dan apa adanya.
Sebuah pemandangan yang kontras dengan gaya hidup modern yang mengenal konsep diet dengan pelbagai standar kesehatan dan nutrisi.
Diet Mediterania, misalnya, yang tengah digemari banyak orang, dengan menu berbahan dasar ikan, minyak zaitun, sayuran, dan biji-bijian, tampaknya begitu jauh dari kehidupan orang miskin di desa.
Orang-orang desa, seperti nenek dan cucu yang saya temui ini, hidup dengan cara yang jauh dari standar diet sehat yang banyak dibicarakan di kalangan kelas menengah dan atas.
Bagi mereka, makan adalah soal bertahan hidup. Mereka tidak mengenal istilah-istilah seperti “diet sehat”, “Diet Mediterania”, atau “low-carb”. Mereka makan apa yang mereka bisa dapatkan.
Makanan mereka didominasi oleh sayuran dari kebun sendiri, kacang-kacangan, biji-bijian, serta buah-buahan yang tumbuh liar di pinggir jalan. Mereka tidak mampu membeli daging dan ikan secara rutin.
Bahkan jika mereka menyantap ikan atau daging, itu hanya terjadi pada saat-saat tertentu seperti saat ada undangan roah atau saat perayaan hari besar agama seperti lebaran atau perayaan tertentu.
Sebagai masyarakat yang hidup di desa, mereka lebih terbiasa dengan pola makan yang bergantung pada hasil alam sekitar dan hasil pertanian yang mereka kelola sendiri.
Buah dipetik dari pohon kebun yang tumbuh alami, sayuran ditanam seadanya, dan bahan-bahan lokal diolah sederhana sebagai bagian dari keseharian mereka.
Ini adalah kenyataan hidup yang jauh dari konsep diet yang ditawarkan oleh banyak ahli gizi atau buku-buku kesehatan.
Diet Mediterania yang seringkali disebut-sebut sebagai pola makan yang sehat, menekankan konsumsi minyak zaitun, biji-bijian, ikan, sayur-mayur, dan buah-buahan. Diet ini dianggap mampu menjaga kesehatan jantung, menurunkan risiko kanker, serta meningkatkan kualitas hidup secara umum.
Namun, bagi orang miskin di desa, Diet Mediterania adalah sesuatu yang tidak terjangkau, baik dari segi bahan makanan yang dibutuhkan, maupun dari segi pemahaman tentang bagaimana cara menyusun menu yang seimbang.
Di tengah ketidaktahuan tentang konsep diet ini, orang desa lebih fokus pada apa yang bisa mereka makan untuk bertahan hidup. Mereka tidak memikirkan apakah makanan yang mereka konsumsi kaya akan omega-3 atau rendah kalori, melainkan apakah makanan tersebut cukup mengenyangkan dan dapat memberikan energi melanjutkan hidup.
Pola makan yang terbentuk akibat keterbatasan ini menunjukkan betapa besar ketimpangan dalam akses terhadap informasi dan sumber daya yang ada di masyarakat kita.
Di kota-kota besar, diet sehat menjadi hal yang biasa dan seringkali menjadi bagian dari gaya hidup. Di sisi lain, di desa-desa seperti ini, pola makan sederhana dan kadang-kadang terbatas menjadi pilihan satu-satunya.
Mereka tidak memiliki banyak pilihan untuk memilih bahan makanan. Sumber daya untuk membeli makanan bergizi atau mengakses bahan makanan berkualitas premium seperti yang disarankan dalam berbagai program diet tidak ada dalam kehidupan mereka.
Masyarakat desa ini lebih berjuang untuk hidup daripada memikirkan cara agar hidup mereka menjadi lebih sehat dengan pola makan yang teratur dan bergizi.
Meski demikian, kehidupan mereka juga membawa banyak pelajaran. Makanan mereka yang sederhana, meski tidak memenuhi standar gizi yang ideal, menggambarkan penerimaan yang tulus dan kekuatan bertahan hidup. Di sinilah letak keindahan dalam kesederhanaan.
Buku The Mediterranean Diet: Health, Science, and Cuisine (Giovanni Esposito, 2017) menjelaskan bagaimana pola makan ini bukan hanya tentang jenis makanan yang dimakan, tetapi juga tentang cara hidup yang lebih terhubung dengan alam.
Dalam konteks desa, meski tidak ada kesadaran tentang Diet Mediterania, mereka secara alami telah menghidupi pola makan yang sederhana, yang pada banyak aspek, mendekati prinsip dasar pola makan tersebut.
Namun, penting untuk dicatat bahwa meskipun pola makan alami ini dapat memberikan beberapa manfaat kesehatan, ketimpangan ekonomi yang besar antara desa dan kota menghambat akses mereka untuk memanfaatkan potensi gizi yang lebih baik.
Karenanya, meskipun Diet Mediterania menjadi pilihan yang sehat bagi mereka yang mampu mengaksesnya, bagi masyarakat miskin desa, makan dengan cara yang sehat adalah sebuah kemewahan yang tidak dapat mereka nikmati setiap hari.
Dalam buku The Rural-Urban Divide: The Challenge of Social Mobility (David B. Grusky, 2014), dikatakan bahwa ketimpangan sosial yang terjadi antara desa dan kota semakin besar, terutama dalam hal akses terhadap kesehatan dan gizi.
Masyarakat desa, meskipun hidup dalam keterbatasan, tetap menjalani kehidupan yang penuh dengan nilai-nilai solidaritas dan kebersamaan yang sulit ditemukan di kota-kota besar.
Sebagai penutup, cerita tentang nenek dan cucunya ini adalah potret kecil dari kehidupan yang jauh dari keindahan Diet Mediterania yang sering dipromosikan di kota-kota besar.
Namun, kehidupan sederhana mereka mengajarkan kita untuk lebih menghargai apa yang kita miliki, dan menyadari bahwa bagi banyak orang di desa, makan bukanlah soal pilihan, melainkan soal bertahan hidup dengan apa yang ada.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H