Program Sekolah Perjumpaan dirancang sebagai model pemulihan sosial bagi masyarakat yang menghadapi berbagai ketegangan sosial. Ketegangan tersebut meliputi konflik horizontal, seperti mesiat, yaitu bentuk perang menggunakan senjata tajam antar kelompok.
Hingga akhir tahun 2017, Sekolah Perjumpaan di Bangket Bilong telah berkembang pesat. Program ini berhasil menciptakan komunitas pembelajaran di 50 lokasi pada 20 desa yang tersebar di berbagai kabupaten di Nusa Tenggara Barat (Putrawan, 2018).
Diseminasi model ini bertujuan membentuk karakter masyarakat yang berkualitas. Fokus utamanya adalah mengedepankan nilai-nilai keterbukaan, toleransi, dan kesetaraan di tengah masyarakat yang sebelumnya mengalami konflik sosial yang cukup tajam.
Keberhasilan program ini di Bangket Bilong menjadi inspirasi bagi banyak desa lain di Indonesia. Pendekatan serupa mulai diadopsi untuk membangun kembali harmoni dan mewujudkan masyarakat yang damai, khususnya di daerah yang rawan konflik.
Peran Pendamping Desa
Pendamping desa memainkan peran kunci dalam keberhasilan Sekolah Perjumpaan. Mereka menjadi katalisator yang memastikan setiap tahapan program berjalan dengan lancar.
Tahap awal biasanya dimulai dengan pemetaan sosial guna memahami dinamika konflik. Pendamping desa juga dilatih menjadi fasilitator yang mampu menjaga suasana dialog tetap kondusif.
Dalam praktiknya, fasilitator Sekolah Perjumpaan desa Karang Bongkot memanfaatkan pendekatan partisipatif. Mereka melibatkan warga dalam perencanaan dan pelaksanaan program, sehingga masyarakat merasa memiliki proses tersebut.
Pendekatan ini mengacu pada prinsip community-driven development yang diterapkan di berbagai program pembangunan berbasis komunitas di Asia Tenggara (Sumber: World Bank, 2018).
Mengadopsi Praktik Global
Penerapan Sekolah Perjumpaan di Indonesia dapat belajar dari pengalaman serupa di negara lain. Di Rwanda, setelah genosida 1994, pemerintah dan organisasi non-pemerintah mengembangkan program Gacaca Courts.
Program ini mempertemukan korban dan pelaku untuk berdialog dan mencari solusi bersama. Meskipun berfokus pada keadilan transisi, pendekatan ini menekankan pentingnya dialog dalam memulihkan hubungan sosial.
Di Kolombia, program Escuelas de Perdn y Reconciliacin (Sekolah Pengampunan dan Rekonsiliasi) juga menjadi model inspiratif. Program ini menggunakan teknik psikososial untuk membantu masyarakat yang terlibat konflik bersenjata kembali membangun kehidupan bersama.