Mohon tunggu...
Beryn Imtihan
Beryn Imtihan Mohon Tunggu... Konsultan - Penikmat Kopi

Saat ini mengabdi pada desa. Kopi satu-satunya hal yang selalu menarik perhatiannya...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ujian Nasional, BLT, dan Keluarga Miskin: Dilema Orang Tua di Desa

4 Januari 2025   20:01 Diperbarui: 6 Januari 2025   11:03 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penyaluran Bantuan Langsung Tunai (sumber: dokpri)

Rencana pemerintah mengadakan kembali Ujian Nasional (UN) menjadi topik pembicaraan yang muncul secara spontan antara pendamping desa dan orang tua murid, saat monitoring kegiatan pembagian Bantuan Langsung Tunai Dana Desa (BLT-DD). Wawancara ini dilakukan secara acak di lima desa yang ada di Kabupaten Lombok Tengah.

Pemerintah memandang Ujian Nasional sebagai salah satu aspek penting dalam sistem pendidikan Indonesia, yang berfungsi sebagai ukuran keberhasilan akademik siswa di seluruh tanah air (Kabarbisnis, 24/10/2024). 

Bagi sebagian besar orang tua di desa-desa ini, kehadiran ujian ini justru menjadi sebuah dilema besar. Mereka merasa terjepit antara kewajiban mempersiapkan anak-anak mereka menghadapi ujian dan tantangan kehidupan sehari-hari yang penuh perjuangan.

Dalam wawancara dengan 21 orang tua siswa yang juga merupakan penerima Bantuan Langsung Tunai (BLT), hasilnya menunjukkan gambaran kompleks mengenai bagaimana mereka memandang UN. Sebagian besar orang tua menganggap Ujian Nasional sebagai patokan utama dalam menilai keberhasilan pendidikan anak-anak mereka.

Mereka juga mengungkapkan kekhawatiran bahwa persiapan untuk ujian ini membawa beban tambahan. Kegiatan belajar Dalam menghadapi ujian menghabiskan banyak waktu dan energi anak-anak, yang seharusnya bisa digunakan membantu keluarga bekerja memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Hal ini menunjukkan ketegangan antara harapan untuk keberhasilan pendidikan dan kenyataan ekonomi yang membatasi.

Sebanyak 28% orang tua menyetujui adanya Ujian Nasional, berpendapat bahwa UN adalah patokan untuk menilai keberhasilan pendidikan anak-anak mereka. Bagi mereka, UN menjadi penanda penting untuk mengetahui apakah anak-anak mereka berhasil mengikuti pendidikan yang baik atau tidak.

Mereka berharap ujian ini memberikan gambaran mengenai kualitas pendidikan yang diterima anak-anak mereka, yang pada gilirannya akan membuka peluang bagi masa depan yang lebih baik. Namun, harapan ini tidak sejalan dengan kenyataan yang ada.

Sebagian besar orang tua, sekitar 70%, menolak ujian ini. Mereka merasa bahwa persiapan ujian nasional memerlukan waktu dan biaya yang tidak sedikit.

“Anak-anak kami harus belajar ekstra keras, sementara kami tidak punya cukup uang untuk membeli buku atau bahan-bahan ujian lainnya. Mereka juga harus membantu kami bekerja di sawah, menjadi buruh tani, untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari,” ungkap salah satu orang tua siswa.

Mereka merasa bahwa fokus anak-anak mereka pada ujian akan mengganggu kegiatan sehari-hari yang lebih mendesak, seperti bekerja untuk membantu keluarga. Dengan situasi ekonomi yang sulit, mereka tidak melihat UN sebagai prioritas utama.

Beban tambahan ini semakin terasa dengan adanya realitas kehidupan yang harus dihadapi orang tua miskin di desa. Mereka yang mengandalkan BLT sebagai sumber pendapatan tambahan sering kali harus memilih antara memenuhi kebutuhan dasar keluarga atau menyiapkan anak-anak mereka untuk ujian.

“Uang BLT sudah habis untuk membeli kebutuhan makan dan bayar hutang. Kami tidak bisa menggunakannya untuk mempersiapkan ujian anak-anak,” kata salah satu orang tua. Uang yang diberikan pemerintah melalui program BLT diharapkan bisa sedikit meringankan beban hidup, tetapi kenyataannya lebih banyak digunakan untuk menutupi kebutuhan pokok yang semakin mendesak.

Dalam hal ini, penting untuk memahami konteks sosial ekonomi yang ada di desa-desa tersebut. Keterbatasan ekonomi membuat banyak orang tua merasa terjepit antara kewajiban mempersiapkan anak untuk ujian dan kebutuhan mendasar untuk bertahan hidup.

Dalam kajian mengenai pendidikan di daerah miskin, ditemukan bahwa faktor ekonomi sangat mempengaruhi kualitas pendidikan yang diterima oleh anak-anak. Orang tua yang kesulitan secara ekonomi sering kali tidak mampu menyediakan fasilitas atau dukungan yang dibutuhkan anak-anak mereka untuk sukses dalam pendidikan formal (Berman, 2018).

Meski ada beberapa orang tua yang menyetujui adanya Ujian Nasional, sebagian besar merasa bahwa ujian ini tidak adil bagi mereka yang berada dalam kondisi ekonomi sulit. Mereka merasa terabaikan oleh sistem pendidikan yang lebih menekankan pada ujian, sementara mereka masih berjuang untuk memenuhi kebutuhan dasar sehari-hari.

Dalam hal ini, BLT yang seharusnya menjadi bantuan untuk memperbaiki kondisi mereka, justru tidak cukup untuk menciptakan kesempatan yang setara bagi anak-anak mereka dalam mempersiapkan ujian.

Beberapa orang tua, sekitar 2%, menyatakan bahwa mereka menerima keputusan pemerintah tentang Ujian Nasional dengan sikap pasrah. Mereka menganggap bahwa pemerintah sudah memutuskan dan mereka akan menghadapinya dengan kemampuan yang ada.

“Apa boleh buat, kalau memang harus ujian, kami akan menjalani dengan apa adanya,” ujar salah satu orang tua. Sikap ini menunjukkan ketidakberdayaan yang dirasakan oleh sebagian besar orang tua di desa yang meyakini bahwa mereka tidak memiliki banyak pilihan selain menerima kenyataan yang ada.

Hal yang lebih memprihatinkan adalah sebagian orang tua yang mengaku tidak tahu apakah BLT dapat membantu anak-anak mereka mempersiapkan ujian. Hanya 5% yang menjawab tidak tahu, sementara sisanya merasa bahwa uang BLT tidak cukup untuk tujuan tersebut.

Ini menggambarkan adanya ketimpangan antara harapan dan kenyataan yang mereka hadapi. Uang yang seharusnya dapat digunakan untuk mendukung pendidikan anak-anak mereka justru lebih banyak digunakan untuk kebutuhan harian atau membayar hutang.

Dalam konteks ini, penting memperhatikan bahwa pendidikan tidak hanya bergantung pada kebijakan pemerintah yang mengharuskan siswa mengikuti ujian. Lebih dari itu, pendidikan yang bermutu memerlukan dukungan yang lebih holistik, termasuk perhatian terhadap kesejahteraan ekonomi keluarga.

Dalam masyarakat dengan tingkat kemiskinan tinggi, seperti yang ditemukan di desa-desa Lombok Tengah, kualitas pendidikan akan sangat dipengaruhi oleh kemampuan orang tua untuk mendukung anak-anak mereka secara finansial dan emosional (Mardhani, 2020).

Dengan demikian, keberhasilan pendidikan bukan hanya diukur dari seberapa baik siswa menghadapi ujian, tetapi juga bagaimana mereka mendapatkan kesempatan yang setara dalam mengakses sumber daya yang dibutuhkan.

Kenyataan ini menciptakan tantangan besar bagi pemerintah dalam merumuskan kebijakan pendidikan yang inklusif dan dapat diakses oleh semua lapisan masyarakat, tanpa terkecuali.

Program BLT yang dimaksudkan untuk membantu masyarakat miskin seharusnya dapat dioptimalkan untuk mendukung pendidikan anak-anak mereka. Jika kebijakan ini tidak diintegrasikan dengan strategi pendidikan yang lebih menyeluruh, maka dampaknya tidak akan maksimal.

Hal ini menuntut adanya pendekatan yang lebih berkelanjutan dan memperhatikan aspek sosial ekonomi masyarakat dalam merumuskan kebijakan pendidikan yang lebih baik.

Pada akhirnya, Ujian Nasional harus dilihat dalam konteks yang lebih luas. Bukan hanya sebagai ukuran keberhasilan akademik siswa, tetapi juga sebagai bagian dari sistem pendidikan yang harus adil dan setara untuk semua.

Tanpa memperhatikan faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi pendidikan, seperti kondisi ekonomi keluarga, ujian ini hanya akan menjadi beban tambahan yang semakin memperlebar kesenjangan pendidikan di Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun