Beban tambahan ini semakin terasa dengan adanya realitas kehidupan yang harus dihadapi orang tua miskin di desa. Mereka yang mengandalkan BLT sebagai sumber pendapatan tambahan sering kali harus memilih antara memenuhi kebutuhan dasar keluarga atau menyiapkan anak-anak mereka untuk ujian.
“Uang BLT sudah habis untuk membeli kebutuhan makan dan bayar hutang. Kami tidak bisa menggunakannya untuk mempersiapkan ujian anak-anak,” kata salah satu orang tua. Uang yang diberikan pemerintah melalui program BLT diharapkan bisa sedikit meringankan beban hidup, tetapi kenyataannya lebih banyak digunakan untuk menutupi kebutuhan pokok yang semakin mendesak.
Dalam hal ini, penting untuk memahami konteks sosial ekonomi yang ada di desa-desa tersebut. Keterbatasan ekonomi membuat banyak orang tua merasa terjepit antara kewajiban mempersiapkan anak untuk ujian dan kebutuhan mendasar untuk bertahan hidup.
Dalam kajian mengenai pendidikan di daerah miskin, ditemukan bahwa faktor ekonomi sangat mempengaruhi kualitas pendidikan yang diterima oleh anak-anak. Orang tua yang kesulitan secara ekonomi sering kali tidak mampu menyediakan fasilitas atau dukungan yang dibutuhkan anak-anak mereka untuk sukses dalam pendidikan formal (Berman, 2018).
Meski ada beberapa orang tua yang menyetujui adanya Ujian Nasional, sebagian besar merasa bahwa ujian ini tidak adil bagi mereka yang berada dalam kondisi ekonomi sulit. Mereka merasa terabaikan oleh sistem pendidikan yang lebih menekankan pada ujian, sementara mereka masih berjuang untuk memenuhi kebutuhan dasar sehari-hari.
Dalam hal ini, BLT yang seharusnya menjadi bantuan untuk memperbaiki kondisi mereka, justru tidak cukup untuk menciptakan kesempatan yang setara bagi anak-anak mereka dalam mempersiapkan ujian.
Beberapa orang tua, sekitar 2%, menyatakan bahwa mereka menerima keputusan pemerintah tentang Ujian Nasional dengan sikap pasrah. Mereka menganggap bahwa pemerintah sudah memutuskan dan mereka akan menghadapinya dengan kemampuan yang ada.
“Apa boleh buat, kalau memang harus ujian, kami akan menjalani dengan apa adanya,” ujar salah satu orang tua. Sikap ini menunjukkan ketidakberdayaan yang dirasakan oleh sebagian besar orang tua di desa yang meyakini bahwa mereka tidak memiliki banyak pilihan selain menerima kenyataan yang ada.
Hal yang lebih memprihatinkan adalah sebagian orang tua yang mengaku tidak tahu apakah BLT dapat membantu anak-anak mereka mempersiapkan ujian. Hanya 5% yang menjawab tidak tahu, sementara sisanya merasa bahwa uang BLT tidak cukup untuk tujuan tersebut.
Ini menggambarkan adanya ketimpangan antara harapan dan kenyataan yang mereka hadapi. Uang yang seharusnya dapat digunakan untuk mendukung pendidikan anak-anak mereka justru lebih banyak digunakan untuk kebutuhan harian atau membayar hutang.
Dalam konteks ini, penting memperhatikan bahwa pendidikan tidak hanya bergantung pada kebijakan pemerintah yang mengharuskan siswa mengikuti ujian. Lebih dari itu, pendidikan yang bermutu memerlukan dukungan yang lebih holistik, termasuk perhatian terhadap kesejahteraan ekonomi keluarga.