Era digital telah membawa perubahan besar dalam cara masyarakat mengakses informasi. Salah satu teknologi yang semakin mendapat perhatian adalah chatbot AI Meta yang sedang marak di perpesanan WhatsApp.
Chatbot ini dirancang untuk membantu manusia dalam mencari jawaban, berdiskusi, atau sekadar memberikan hiburan. Namun, keberadaan teknologi ini juga menghadirkan keresahan, terutama ketika penggunaannya di desa menimbulkan dampak yang tidak diharapkan.
Keresahan ini muncul karena chatbot AI, termasuk yang dikembangkan oleh Meta, sering memberikan informasi yang keliru atau kadaluwarsa. Di beberapa kasus, jawaban yang diberikan bahkan tidak relevan dengan konteks budaya masyarakat setempat.
Hal ini menjadi masalah serius karena desa-desa di Indonesia memiliki keunikan lokal yang tidak bisa diabaikan. Ketidaksesuaian ini dapat menyebabkan misinformasi atau bahkan konflik sosial.
Sebagai contoh, ketika sebuah chatbot ditanya mengenai tradisi lokal seperti upacara adat atau praktik keagamaan, sering kali jawabannya terlalu general bahkan ngawur.
Informasi tersebut biasanya bersumber dari basis data global yang tidak selalu relevan dengan realitas lokal. Hal ini dikhawatirkan dapat mereduksi kekayaan budaya menjadi sekadar data statistik atau bahkan menimbulkan persepsi keliru di masyarakat.
Kelebihan chatbot AI, termasuk yang dikembangkan oleh Meta, terletak pada kecepatan dan skalabilitasnya. Dengan algoritma canggih, chatbot dapat memberikan informasi dalam hitungan detik, sesuatu yang sulit dicapai dengan metode konvensional.
Di desa-desa yang memiliki keterbatasan akses terhadap buku atau fasilitas pendidikan, chatbot ini bisa menjadi jendela baru untuk memperoleh pengetahuan dengan cara instan bagi masyarakat desa.
Namun, kecepatan ini tidak selalu berbanding lurus dengan akurasi. Salah satu kelemahan terbesar chatbot adalah ketergantungannya pada data yang sudah tersedia. Apabila data yang diakses tidak lengkap atau usang, maka informasi yang diberikan pun akan bermasalah.
Ini sering terjadi ketika chatbot diandalkan untuk menjawab pertanyaan spesifik, seperti kebijakan pemerintah desa maupun pemerintah di atasnya, atau isu lokal yang sedang hangat diperbincangkan.
Lebih dari itu, potensi penyalahgunaan chatbot AI menjadi perhatian penting. Di era post-truth, di mana fakta sering dikaburkan oleh opini, chatbot bisa menjadi alat untuk menyebarkan hoaks.
Dengan kemampuannya menjawab pertanyaan secara instan, chatbot bisa digunakan oleh pihak-pihak tertentu untuk mendistribusikan informasi palsu yang sulit diverifikasi terlebih di desa yang tingkat literasinya rendah.
Kasus-kasus penyebaran hoaks ini bukan hal yang baru. Sebuah studi dari University of California menyebutkan bahwa algoritma berbasis AI dapat dimanipulasi untuk memperkuat narasi tertentu, terutama di media sosial (Brynjolfsson & McAfee, 2022). Jika hal ini terjadi di desa, dampaknya bisa sangat merusak.
Chatbot AI juga berpotensi disalahgunakan untuk penipuan. Dengan kemampuan meniru percakapan manusia, chatbot dapat membujuk atau menipu. Misalnya, ada laporan kepala desa menerima pesan suara palsu yang meminta uang untuk biaya pengurusan bantuan pemerintah.
Beberapa laporan menyebutkan chatbot digunakan untuk menyebarkan informasi palsu tentang bantuan pemerintah. Pesan-pesan ini sering meminta data pribadi atau uang, sehingga menimbulkan kerugian bagi masyarakat desa yang menjadi target penipuan.
Masalah lain yang tidak kalah penting adalah bias dalam algoritma. Chatbot Meta, seperti halnya teknologi AI lainnya, dibangun berdasarkan data yang sudah ada. Jika data ini mengandung bias, maka output yang dihasilkan juga akan bias. Dalam konteks desa, bias ini bisa berbentuk stereotip yang merugikan atau informasi yang tidak mewakili keberagaman lokal.
Lalu, bagaimana kita seharusnya bersikap kritis terhadap chatbot AI ini? Pertama-tama, penting untuk memahami bahwa chatbot hanyalah alat, bukan sumber kebenaran mutlak. Pengguna di desa perlu diedukasi untuk selalu memverifikasi informasi yang diberikan, terutama jika informasi tersebut berkaitan dengan keputusan penting.
Kedua, pemerintah dan lembaga terkait harus memperkuat literasi digital di desa. Program pelatihan yang mengajarkan cara menggunakan teknologi secara bijak dapat membantu masyarakat desa mengidentifikasi informasi yang valid dan menghindari jebakan hoaks.
Ketiga, perlu adanya pengawasan terhadap pengoperasian chatbot AI. Meta dan pengembang lainnya harus bertanggung jawab memastikan bahwa teknologi yang mereka ciptakan tidak digunakan untuk tujuan yang merugikan.
Ini bisa dilakukan dengan mengintegrasikan sistem deteksi hoaks atau fitur yang memungkinkan pengguna melaporkan informasi bermasalah.
Keempat, perlu mengenali perbedaan antara suara chatbot dan suara manusia sangat penting untuk menghindari penipuan. Suara chatbot cenderung datar, terstruktur, dan tidak memiliki ekspresi emosional yang mendalam. Sebaliknya, suara manusia lebih bervariasi, dengan intonasi, perubahan nada, serta respons yang lebih alami dan spontan.
Terakhir, chatbot AI perlu diadaptasi agar lebih kontekstual dengan budaya lokal. Dalam hal ini, kerja sama antara pengembang teknologi, pemerintah, dan komunitas lokal sangat diperlukan. Dengan melibatkan masyarakat desa dalam proses pengembangan, chatbot bisa menjadi alat yang tidak hanya cerdas tetapi juga bijaksana.
Dalam memahami perbedaan antara chatbot AI dan Artificial Intelligence secara umum, penting untuk menekankan bahwa chatbot hanyalah salah satu aplikasi dari AI. AI mencakup berbagai bidang, mulai dari pengolahan gambar hingga analisis prediktif, sementara chatbot fokus pada interaksi berbasis teks atau suara. Dengan kata lain, chatbot adalah cabang kecil dari pohon besar AI.
Seperti yang dijelaskan oleh Tegmark (2017) dalam bukunya Life 3.0: Being Human in the Age of Artificial Intelligence, AI memiliki potensi besar untuk mengubah peradaban manusia, baik secara positif maupun negatif. Karenanya, implementasi teknologi ini, termasuk chatbot, harus selalu diawasi dengan prinsip etika dan keberlanjutan.
Chatbot AI Meta memang memiliki potensi besar untuk meningkatkan akses informasi di desa. Namun, tanpa pengawasan yang tepat, teknologi ini juga bisa menjadi alat yang berbahaya.
Oleh karena itu, pendekatan yang hati-hati, inklusif, dan berbasis literasi digital sangat diperlukan guna memastikan bahwa teknologi ini benar-benar memberikan manfaat yang maksimal bagi masyarakat.
Dalam sebuah wawancara yang dimuat di Harvard Business Review (2021), seorang peneliti AI mengatakan, "AI bukan tentang menggantikan manusia, tetapi melengkapi kemampuan manusia." Pernyataan ini menggarisbawahi pentingnya keseimbangan antara teknologi dan pemahaman manusia dalam memanfaatkan AI, termasuk chatbot, untuk kemajuan bersama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H