Terakhir, chatbot AI perlu diadaptasi agar lebih kontekstual dengan budaya lokal. Dalam hal ini, kerja sama antara pengembang teknologi, pemerintah, dan komunitas lokal sangat diperlukan. Dengan melibatkan masyarakat desa dalam proses pengembangan, chatbot bisa menjadi alat yang tidak hanya cerdas tetapi juga bijaksana.
Dalam memahami perbedaan antara chatbot AI dan Artificial Intelligence secara umum, penting untuk menekankan bahwa chatbot hanyalah salah satu aplikasi dari AI. AI mencakup berbagai bidang, mulai dari pengolahan gambar hingga analisis prediktif, sementara chatbot fokus pada interaksi berbasis teks atau suara. Dengan kata lain, chatbot adalah cabang kecil dari pohon besar AI.
Seperti yang dijelaskan oleh Tegmark (2017) dalam bukunya Life 3.0: Being Human in the Age of Artificial Intelligence, AI memiliki potensi besar untuk mengubah peradaban manusia, baik secara positif maupun negatif. Karenanya, implementasi teknologi ini, termasuk chatbot, harus selalu diawasi dengan prinsip etika dan keberlanjutan.
Chatbot AI Meta memang memiliki potensi besar untuk meningkatkan akses informasi di desa. Namun, tanpa pengawasan yang tepat, teknologi ini juga bisa menjadi alat yang berbahaya.
Oleh karena itu, pendekatan yang hati-hati, inklusif, dan berbasis literasi digital sangat diperlukan guna memastikan bahwa teknologi ini benar-benar memberikan manfaat yang maksimal bagi masyarakat.
Dalam sebuah wawancara yang dimuat di Harvard Business Review (2021), seorang peneliti AI mengatakan, "AI bukan tentang menggantikan manusia, tetapi melengkapi kemampuan manusia." Pernyataan ini menggarisbawahi pentingnya keseimbangan antara teknologi dan pemahaman manusia dalam memanfaatkan AI, termasuk chatbot, untuk kemajuan bersama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H