Mohon tunggu...
Beryn Imtihan
Beryn Imtihan Mohon Tunggu... Konsultan - Penikmat Kopi

Saat ini mengabdi pada desa. Kopi satu-satunya hal yang selalu menarik perhatiannya...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Dampak Chatbot AI Meta di Desa, Haruskah Kita Khawatir?

31 Desember 2024   09:29 Diperbarui: 31 Desember 2024   09:29 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Haruskah kita mengkhawatirkan AI Meta? (sumber: https://indianstartupnews.com/news/meta-launches-ai-chatbot-for-whatsapp-instagram-facebook-1392900)

Lebih dari itu, potensi penyalahgunaan chatbot AI menjadi perhatian penting. Di era post-truth, di mana fakta sering dikaburkan oleh opini, chatbot bisa menjadi alat untuk menyebarkan hoaks.

Dengan kemampuannya menjawab pertanyaan secara instan, chatbot bisa digunakan oleh pihak-pihak tertentu untuk mendistribusikan informasi palsu yang sulit diverifikasi terlebih di desa yang tingkat literasinya rendah.

Kasus-kasus penyebaran hoaks ini bukan hal yang baru. Sebuah studi dari University of California menyebutkan bahwa algoritma berbasis AI dapat dimanipulasi untuk memperkuat narasi tertentu, terutama di media sosial (Brynjolfsson & McAfee, 2022). Jika hal ini terjadi di desa, dampaknya bisa sangat merusak.

Chatbot AI juga berpotensi disalahgunakan untuk penipuan. Dengan kemampuan meniru percakapan manusia, chatbot dapat membujuk atau menipu. Misalnya, ada laporan kepala desa menerima pesan suara palsu yang meminta uang untuk biaya pengurusan bantuan pemerintah.

Beberapa laporan menyebutkan chatbot digunakan untuk menyebarkan informasi palsu tentang bantuan pemerintah. Pesan-pesan ini sering meminta data pribadi atau uang, sehingga menimbulkan kerugian bagi masyarakat desa yang menjadi target penipuan.

Masalah lain yang tidak kalah penting adalah bias dalam algoritma. Chatbot Meta, seperti halnya teknologi AI lainnya, dibangun berdasarkan data yang sudah ada. Jika data ini mengandung bias, maka output yang dihasilkan juga akan bias. Dalam konteks desa, bias ini bisa berbentuk stereotip yang merugikan atau informasi yang tidak mewakili keberagaman lokal.

Lalu, bagaimana kita seharusnya bersikap kritis terhadap chatbot AI ini? Pertama-tama, penting untuk memahami bahwa chatbot hanyalah alat, bukan sumber kebenaran mutlak. Pengguna di desa perlu diedukasi untuk selalu memverifikasi informasi yang diberikan, terutama jika informasi tersebut berkaitan dengan keputusan penting.

Kedua, pemerintah dan lembaga terkait harus memperkuat literasi digital di desa. Program pelatihan yang mengajarkan cara menggunakan teknologi secara bijak dapat membantu masyarakat desa mengidentifikasi informasi yang valid dan menghindari jebakan hoaks.

Ketiga, perlu adanya pengawasan terhadap pengoperasian chatbot AI. Meta dan pengembang lainnya harus bertanggung jawab memastikan bahwa teknologi yang mereka ciptakan tidak digunakan untuk tujuan yang merugikan.

Ini bisa dilakukan dengan mengintegrasikan sistem deteksi hoaks atau fitur yang memungkinkan pengguna melaporkan informasi bermasalah.

Keempat, perlu mengenali perbedaan antara suara chatbot dan suara manusia sangat penting untuk menghindari penipuan. Suara chatbot cenderung datar, terstruktur, dan tidak memiliki ekspresi emosional yang mendalam. Sebaliknya, suara manusia lebih bervariasi, dengan intonasi, perubahan nada, serta respons yang lebih alami dan spontan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun