Mohon tunggu...
Beryn Imtihan
Beryn Imtihan Mohon Tunggu... Konsultan - Penikmat Kopi

Saat ini mengabdi pada desa. Kopi satu-satunya hal yang selalu menarik perhatiannya...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bertahan di Tengah Belantara Kebijakan Ekonomi 2025

30 Desember 2024   17:44 Diperbarui: 30 Desember 2024   17:44 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bertahan. (Sumber: Gambar oleh sandid dari Pixabay)

Memasuki tahun 2025, perekonomian Indonesia dihadapkan pada tantangan yang tidak bisa dianggap remeh, seperti inflasi yang terus merangkak naik dan tekanan ekonomi global yang memperburuk daya beli masyarakat serta stabilitas fiskal nasional. Di tengah optimisme pemerintah dengan skema pajak baru, muncul kekhawatiran dari masyarakat, khususnya kelas menengah, terhadap berbagai dampak kebijakan fiskal tersebut.

Prediksi menunjukkan, daya beli masyarakat berpotensi tergerus, memperparah stagnasi pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang dalam tiga triwulan terakhir hanya berada di bawah lima persen (Kompas, 2024).

Di sisi lain, masyarakat dihadapkan pada kemungkinan kenaikan harga barang kebutuhan sehari-hari. Misalnya, harga beras yang telah meningkat hingga 15 persen sejak triwulan terakhir 2024, diikuti oleh kenaikan signifikan pada bahan bakar dan obat-obatan generik (Kompas, 2024).

Kategori barang seperti pakaian, sepatu, alat elektronik, perlengkapan kebersihan, obat, dan kosmetik diprediksi akan mengalami lonjakan harga seiring dengan naiknya pajak dan dampak inflasi global yang terus meningkat.

Fenomena ini tidak hanya menambah beban ekonomi tetapi juga memaksa rumah tangga untuk melakukan penyesuaian anggaran secara signifikan. 

Ketidaksiapan dalam menghadapi kondisi ini berpotensi memperburuk situasi, mengingat kecenderungan sebagian besar masyarakat tetap terjebak dalam pola konsumsi berbasis FOMO (fear of missing out).

Langkah adaptasi menjadi kebutuhan mendesak. Bagi sebagian kalangan, mencari penghasilan tambahan, atau side job, bisa menjadi solusi guna menambal kantong yang mulai kempis.

Pertanyaannya, apakah langkah ini cukup efektif? Secara psikologis, menambah jam kerja atau mengalokasikan waktu untuk pekerjaan sampingan membutuhkan energi ekstra, yang pada akhirnya juga bisa memengaruhi produktivitas pekerjaan utama.

Sebagai pendamping desa, kami memahami betapa pentingnya perencanaan berbasis kebutuhan yang realistis. Dengan gaji pokok dan biaya operasional yang tidak pernah disesuaikan sejak tahun 2015, langkah pertama yang harus akan kami lakukan adalah evaluasi menyeluruh terhadap anggaran rumah tangga.

Pengeluaran dibagi menjadi dua kategori besar: kebutuhan pokok dan kebutuhan sekunder. Kategori pertama meliputi makanan, transportasi, dan tempat tinggal, sementara kategori kedua mencakup hiburan, gaya hidup, dan pembelian barang non-esensial.

Walaupun kebutuhan sekunder sebagai pendamping desa jarang dapat terpenuhi, kecuali mengandalkan pembiayaan pihak ketiga, tapi upaya untuk menyeimbangkan anggaran tetap menjadi prioritas utama.

Efisiensi pengeluaran menjadi langkah strategis. Sebagai contoh, membeli barang dalam jumlah besar sering kali menjadi pilihan tepat untuk mengurangi frekuensi belanja. Selain menghemat biaya transportasi, langkah ini juga memungkinkan mendapatkan harga grosir yang lebih ekonomis. 

*(Perlu diperhatikan bahwa pembelian dalam jumlah besar harus disesuaikan dengan kebutuhan agar tidak memicu pemborosan yang justru menjadi kontraproduktif).

Sebagai referensi, penelitian dalam buku Economics of Household Behavior (Varian, 2018) menyebutkan bahwa rumah tangga yang secara konsisten menyusun anggaran dan memprioritaskan kebutuhan pokok cenderung lebih tangguh menghadapi gejolak ekonomi. 

Di Indonesia, model ini juga relevan, khususnya bagi keluarga dengan pendapatan tetap yang terpapar kebijakan fiskal baru.

Mengurangi pengeluaran pada aspek tertentu juga menjadi kunci. Misalnya, kebutuhan hiburan dialihkan ke opsi yang lebih murah, seperti menikmati kegiatan outdoor atau memanfaatkan fasilitas gratis yang tersedia di lingkungan sekitar.

Selain itu, masyarakat bisa mulai mempertimbangkan konsumsi barang lokal untuk menggantikan produk impor yang harganya relatif lebih mahal. Langkah ini, selain membantu penghematan, juga mendukung perekonomian desa yang berkontribusi pada keberlanjutan ekonomi nasional.

Namun, tantangan tidak hanya datang dari sisi pengeluaran. Pendapatan juga menjadi isu krusial, terutama bagi mereka yang bekerja di sektor informal. 

Menurut laporan Badan Pusat Statistik (BPS), pekerja sektor informal di Indonesia mencapai lebih dari 60 persen pada 2024. Dengan kondisi ini, ketidakpastian pendapatan menjadi salah satu masalah utama yang harus diatasi.

Salah satu cara untuk menstabilkan pendapatan adalah melalui diversifikasi sumber penghasilan. Sebagai contoh, beberapa desa di Lombok Barat, para petani berhasil mengembangkan usaha pengolahan hasil panen menjadi produk olahan seperti keripik singkong, yang kini dipasarkan secara lokal.

Bagi masyarakat desa, peluang ini dapat dimanfaatkan melalui pengelolaan potensi lokal, seperti pengembangan usaha berbasis pertanian, kerajinan, atau wisata desa. 

Kebijakan Dana Desa yang diproyeksikan meningkat pada 2025 hingga Rp71 triliun juga dapat menjadi peluang bagi desa untuk mengoptimalkan program pemberdayaan masyarakat (Kemendesa, 2024).

Namun, keberhasilan strategi ini memerlukan pendampingan intensif dari berbagai pihak. Penguatan kapasitas masyarakat dalam bidang kewirausahaan dan manajemen keuangan menjadi faktor kunci guna memastikan setiap peluang dimanfaatkan secara maksimal. 

Selain itu, peran pemerintah daerah dalam memberikan akses permodalan dan pelatihan sangat diperlukan untuk meningkatkan daya saing masyarakat.

Di tengah berbagai upaya penyesuaian, penting untuk tetap menjaga keseimbangan antara kebutuhan jangka pendek dan panjang. Investasi kecil-kecilan, seperti menabung atau membeli emas, dapat menjadi langkah cerdas mengantisipasi kebutuhan di masa depan.

Buku Your Money or Your Life (Dominguez & Robin, 2008) menggarisbawahi pentingnya pendekatan yang lebih sadar terhadap keuangan pribadi, di mana setiap pengeluaran harus selaras dengan nilai dan tujuan hidup seseorang.

Akhirnya, langkah-langkah berhemat memang tidak bisa dihindari. Namun, hemat bukan hanya tentang mengurangi pengeluaran, melainkan juga tentang menciptakan peluang baru guna menghadapi tantangan dengan lebih cerdas dan optimis.

Sebagai catatan, hemat bukan berarti mengorbankan kualitas hidup. Melainkan, satu cara menciptakan kehidupan yang lebih terencana dan bebas dari tekanan finansial. Dengan mengadopsi gaya hidup sederhana tetapi tetap produktif, masyarakat dapat menghadapi 2025 dengan lebih optimis.

Sebagai orang desa, kami berharap masyarakat tidak hanya sekadar bertahan tetapi juga mampu beradaptasi dan berkembang. Kolaborasi antara pemerintah, pendamping, dan masyarakat menjadi kunci untuk mewujudkan hal tersebut.

Karena, seperti yang dikatakan oleh Amartya Sen dalam bukunya Development as Freedom (1999), pembangunan ekonomi sejatinya adalah tentang memperluas pilihan dan kebebasan bagi setiap individu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun