Mohon tunggu...
Beryn Imtihan
Beryn Imtihan Mohon Tunggu... Konsultan - Penikmat Kopi

Saat ini mengabdi pada desa. Kopi satu-satunya hal yang selalu menarik perhatiannya...

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Artikel Utama

Beban Pajak dan Harapan dari Pelosok Desa

18 Desember 2024   11:12 Diperbarui: 18 Desember 2024   21:27 215
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (sumber: Gambar oleh wal_172619 dari Pixabay)

Kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen mulai 1 Januari 2025 membuka babak baru dalam reformasi perpajakan di Indonesia. Kebijakan ini, sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2024 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), ditujukan untuk meningkatkan penerimaan negara.

Fokus utama penerapan pajak ini adalah barang dan jasa mewah yang dikonsumsi oleh masyarakat mampu, seperti bahan makanan premium, layanan kesehatan eksklusif, pendidikan premium, dan listrik untuk rumah tangga berdaya tinggi (Kompas, 16/12/2024).

Namun, sejauh mana dampak kebijakan ini terasa di desa-desa yang jauh dari pusat kekuasaan?

Pemerintah menjelaskan bahwa barang kebutuhan pokok yang rinciannya diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2020 tidak akan terkena kenaikan tarif ini. Pernyataan ini mungkin menenangkan sebagian pihak.

Kenyataan di lapangan—terutama di desa, menunjukkan bahwa dampak kenaikan pajak tidak selalu bersifat langsung. Desa-desa, yang umumnya berada dalam strata ekonomi rendah hingga menengah, dapat merasakan tekanan dari kebijakan ini melalui mekanisme tidak langsung.

Sebagai ilustrasi, harga barang premium yang meningkat dapat memengaruhi rantai pasok hingga tingkat paling bawah. Misalnya, pedagang kecil di desa yang mengambil barang dari kota akan menghadapi biaya tambahan karena tingginya tarif pajak pada bahan makanan premium.

Meski barang kebutuhan pokok tidak dikenakan pajak, biaya distribusi yang terpengaruh oleh kenaikan ini dapat merembet hingga ke desa-desa. Efek ini sering kali disebut sebagai “spillover taxation” dalam literatur ekonomi (Stiglitz, 2012).

Selain itu, layanan kesehatan premium yang dikenakan tarif baru turut memengaruhi kualitas layanan di daerah. Banyak rumah sakit di kota besar yang menjadi rujukan warga desa untuk kebutuhan medis tingkat lanjut menyediakan fasilitas yang masuk kategori premium.

Dengan adanya pajak tambahan, biaya yang harus dibayar oleh pasien, termasuk mereka yang berasal dari desa, kemungkinan besar akan meningkat. Beban ini terasa berat, terutama bagi masyarakat desa yang kerap mengandalkan bantuan dari keluarga besar atau patungan masyarakat untuk membayar biaya medis (BPS, 2020).

Kenaikan PPN juga dapat memengaruhi pendidikan di daerah pedesaan. Lembaga pendidikan swasta yang dianggap premium sering kali menjadi pilihan bagi masyarakat desa yang ingin memberikan pendidikan terbaik bagi anak-anak mereka.

Dengan kenaikan pajak, biaya pendidikan ini berpotensi naik, menyulitkan keluarga-keluarga yang sudah berjuang keras untuk membiayai pendidikan anak-anak mereka.

Data dari Bank Dunia (2021) menunjukkan bahwa pengeluaran untuk pendidikan di Indonesia telah menjadi salah satu pengeluaran terbesar bagi rumah tangga, terutama di daerah pedesaan.

Sebagai negara dengan tingkat ketimpangan ekonomi yang cukup tinggi, dampak dari kebijakan ini tidak bisa dilepaskan dari struktur sosial ekonomi masyarakat Indonesia.

Masyarakat desa, yang mayoritas berada di desil 1 hingga 4 menurut pembagian tingkat pendapatan, sangat rentan terhadap kebijakan yang meningkatkan biaya hidup, bahkan jika itu secara tidak langsung.

Desil adalah alat statistik yang membagi populasi ke dalam 10 kelompok berdasarkan tingkat pendapatan. Desil 1 mencakup 10 persen penduduk berpendapatan terendah, sementara desil 10 mencakup mereka yang berpendapatan tertinggi (BPS, 2020).

Dalam konteks ini, kenaikan pajak yang secara langsung menyasar desil 9 dan 10 tidak serta-merta meningkatkan kesejahteraan bagi desil 1 hingga 4. Argumen pemerintah bahwa kebijakan ini didasarkan pada azas gotong royong memang terdengar logis.

Namun, tanpa distribusi ulang hasil pajak yang konkret ke desa-desa, kebijakan ini bisa kehilangan maknanya. Seperti yang dikatakan oleh T.H. Marshall dalam tulisannya tentang kewarganegaraan dan kesejahteraan sosial, keadilan sosial hanya bisa terwujud jika sumber daya yang diambil dari kelompok kaya benar-benar dialokasikan untuk meningkatkan kesejahteraan kelompok miskin (Marshall, 1950).

Masyarakat desa memerlukan kejelasan tentang bagaimana hasil pajak yang meningkat ini akan digunakan. Salah satu bidang yang bisa diperhatikan adalah infrastruktur dasar, seperti jalan, listrik, dan jaringan internet.

Desa-desa di pelosok sering kali menghadapi keterbatasan akses terhadap fasilitas ini, yang menghambat pertumbuhan ekonomi lokal. Jika dana pajak dapat dialokasikan untuk memperbaiki infrastruktur ini, maka kenaikan pajak bisa dirasakan manfaatnya oleh masyarakat desa.

Selain itu, program subsidi langsung bagi desa-desa miskin juga perlu diperkuat. Program seperti Dana Desa dan Bantuan Langsung Tunai Desa (BLT Desa) telah terbukti membantu masyarakat desa menghadapi berbagai tantangan ekonomi. Dengan tambahan dana dari kenaikan pajak, pemerintah memiliki kesempatan untuk meningkatkan efektivitas program-program tersebut (World Bank, 2022).

Kebijakan perpajakan seperti ini juga harus disertai dengan upaya mendidik masyarakat desa tentang hak dan kewajiban mereka sebagai warga negara. 

Banyak masyarakat desa yang tidak memahami bagaimana pajak yang mereka bayarkan, secara langsung maupun tidak langsung, berdampak pada kehidupan mereka.

Pendidikan publik yang baik dapat membantu menciptakan rasa kepercayaan dan partisipasi masyarakat dalam mendukung kebijakan pemerintah.

Dalam jangka panjang, keberhasilan kebijakan kenaikan pajak ini bergantung pada sejauh mana pemerintah mampu menciptakan narasi keadilan sosial yang dapat diterima oleh semua pihak.

Jika masyarakat desa hanya merasakan beban tanpa manfaat yang jelas, kebijakan ini akan dianggap sebagai bentuk ketidakadilan baru.

Jika pemerintah dapat membuktikan bahwa hasil pajak ini digunakan untuk memperbaiki kehidupan masyarakat miskin, maka kebijakan ini memiliki potensi untuk menciptakan perubahan yang signifikan.

Dari pelosok desa, harapan tetap hidup. Masyarakat desa tidak menolak kebijakan yang sulit selama mereka merasa diperhatikan. Kenaikan pajak untuk kelompok kaya dapat menjadi langkah awal menuju keadilan sosial.

Dengan catatan, langkah ini harus diikuti dengan keberanian untuk mendistribusikan hasil pajak secara adil dan merata. Tanpa itu, reformasi perpajakan hanya akan menjadi mimpi yang tertunda.

Dalam setiap kebijakan, ada risiko dan peluang. Bagi masyarakat desa, yang sering kali berada di pinggiran perhatian kebijakan nasional, risiko kenaikan pajak ini nyata.

Peluang memperbaiki kehidupan mereka juga ada, jika pemerintah mampu mendengar dan bertindak dengan bijak. Harapan itu kini ada di tangan mereka yang memegang kendali kebijakan.

Apakah mereka akan menjadikan beban pajak ini sebagai peluang untuk menciptakan keadilan sosial? Atau justru sebaliknya, membiarkan harapan dari pelosok desa tetap menjadi suara yang terabaikan?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun