Mohon tunggu...
Beryn Imtihan
Beryn Imtihan Mohon Tunggu... Konsultan - Penikmat Kopi

Saat ini mengabdi pada desa. Kopi satu-satunya hal yang selalu menarik perhatiannya...

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Cahaya di Lingkar Kabut (8)

29 Oktober 2024   07:33 Diperbarui: 29 Oktober 2024   07:46 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

---- Sebelumnya Cahaya di Lingkar Kabut Bagian 1 | Bagian 2 | Bagian 3 | Bagian 4| Bagian 5 | Bagian 6 | Bagian 7

Dalam perjalanan menuju lapas baru, Hendra terus memikirkan apa yang akan ia hadapi. Ia tahu waktu terus berdetak, dan musuh-musuhnya tak akan berhenti sampai dia benar-benar dihancurkan. Dalam benaknya, berbagai pertanyaan muncul: Siapa yang mengendalikan semua ini? Apa yang sebenarnya terjadi di desa itu? Dan apakah dia masih bisa bertahan melawan konspirasi sebesar ini?

Saat mobil penjara yang mengangkutnya melaju di jalan yang gelap, Hendra menatap jendela kecil di sisi mobil, mencoba merangkai rencana berikutnya. Dia tahu, langkah selanjutnya bisa menentukan hidupnya---dan kebenaran yang selama ini dikubur dalam-dalam oleh mereka yang berkuasa.

Namun, saat itu, ia sadar bahwa ada sesuatu yang lebih besar dari dirinya sendiri yang harus ia ungkap. Dan perjalanan menuju kebenaran ini baru saja dimulai.

-----

Di Lapas baru, Hendra merasa seperti berada di ujung kewarasan. Sendiri, dikelilingi tembok-tembok kelabu, tanpa teman bicara, tanpa tempat untuk bersandar. Ia tidak lagi bertemu Burhan atau Zaki. 

Keterasingan itu makin lama makin menghimpit. Setiap hari berlalu dengan kesunyian yang menyakitkan, membuat pikirannya terus menerus berputar pada nasib dirinya dan desa dampingannya. Desa yang begitu ia cintai, desa yang kini terancam menjadi korban eksploitasi karena dirinya tak mampu melindunginya.

Ia berulang kali berdoa, membaca shalawat Nariyah, shalawat yang selalu diajarkan oleh almarhum papuq tuan-nya (kakeknya). Selawat itu menjadi satu-satunya sumber ketenangan di tengah badai yang mengguncang hidupnya. "Ya Allah, selamatkan aku dari kejahatan orang-orang zalim," ucapnya berulang-ulang dalam hati.

Pagi itu, selepas shalat subuh, Hendra mendengar suara seseorang yang begitu tenang melantunkan shalawat Nariyah dari kejauhan. Sayup-sayup, suara itu menggetarkan hati Hendra. Ia terkejut. Ada seseorang di lapas ini yang juga melantunkan selawat yang sama? Sejak kapan tahanan baru itu ada di sini? Mengapa suaranya terasa begitu akrab dan menenangkan?

Setelah olahraga pagi selesai, Hendra mencoba mendekati tahanan baru itu. Pria itu tampak lebih tua darinya, wajahnya tirus dan matanya tajam, namun menyimpan kesedihan yang dalam. Ada sesuatu pada dirinya yang menarik perhatian Hendra, sesuatu yang membuatnya merasa ada koneksi yang lebih dari sekadar sesama tahanan.

"Aku mendengar kau membaca selawat tadi pagi," ujar Hendra perlahan, membuka percakapan. "Shalawat Nariyah."

Pria itu menoleh perlahan, menatap Hendra dengan sorot mata yang penuh arti. "Iya, selawat itu selalu mengingatkanku pada banyak hal. Pada perlindungan Allah... dan pada segala sesuatu yang hilang."

Hendra terdiam, merasa bahwa pria di depannya bukan orang biasa. "Namamu siapa?" tanyanya, mencoba lebih akrab.

"Namaku Karim, dulu aku dipanggil Eki" jawab pria itu sambil tersenyum tipis. "Aku tahu siapa kau, Hendra. Kau tidak seharusnya berada di sini."

Hendra terkejut. "Kau tahu aku?"

Karim menatapnya dalam-dalam, seolah membaca isi hatinya. "Aku tahu lebih banyak daripada yang kau kira. Aku tahu tentang desamu, tentang orang-orang yang mencoba menghancurkanmu. Mereka, yang sama-sama mencoba menghancurkanku."

Hendra merasa jantungnya berdetak kencang. "Apa maksudmu? Siapa yang kau maksud?"

Karim menghela napas panjang, lalu dengan suara berat, ia berkata, "Aku dulunya bekerja untuk mereka. Jenderal-jenderal dan menteri-menteri itu. Aku bagian dari mereka yang ditugaskan mengamankan proyek-proyek. Tugas kami memastikan desa-desa kecil tidak tahu apa yang sedang terjadi di bawah tanah mereka. Tapi semua berubah saat keluargaku... dibunuh."

Hendra terpaku, menatap Karim dengan tak percaya. "Dibunuh? Apa maksudmu?"

"Mereka membuatnya terlihat seperti kecelakaan pesawat. Waktu itu, keluargaku sedang dalam perjalanan menghadiri hajatan keluarga besar kami di Sumbawa. Pesawat yang mereka naiki jatuh. Awalnya aku mengira itu memang kecelakaan. Sampai suatu hari aku mendengar pembicaraan telepon rekan kerjaku yang lupa dimatikan. Dalam percakapan itu, aku mendengar mereka mengatakan bahwa pesawat itu sengaja dijatuhkan."

Hendra terperangah. "Kenapa mereka melakukannya? Kenapa keluargamu yang menjadi korban?"

Karim menggertakkan giginya, tampak menahan amarah yang dalam. "Mereka tahu aku mulai meragukan apa yang kami lakukan. Mereka tahu aku mulai melihat betapa kejamnya permainan ini. Mereka pikir dengan membunuh keluargaku, mereka bisa membuatku tunduk. Tapi mereka salah."

Hendra merasa darahnya berdesir. "Lalu apa yang kau lakukan?"

"Aku berbalik arah. Aku mulai mencari tahu siapa yang benar-benar mengendalikan semua ini. Mereka bukan hanya orang-orang di lapangan seperti Arman. Jauh di atas, ada jaringan konspirasi yang lebih besar. Mereka tidak peduli dengan hukum, tidak peduli dengan keadilan. Yang mereka inginkan hanya satu: kontrol atas semua sumber daya yang ada, termasuk yang terkubur di desa dampinganmu."

Suasana hening sejenak. Karim menatap Hendra dengan mata yang penuh kesungguhan. "Mereka tahu bahwa desa itu adalah kunci. Jika warga desa sadar akan kekayaan yang mereka miliki, maka semuanya akan hancur. Itu sebabnya mereka ingin menyingkirkanmu."

Hendra merasa dunianya terbalik. "Lalu, kenapa kau ada di sini? Kenapa kau melawan mereka?"

Karim tersenyum getir. "Aku tidak punya pilihan lain. Setelah keluarga ku dibunuh, aku tahu bahwa aku harus membongkar apa yang mereka lakukan, walaupun risikonya besar. Aku tahu, cepat atau lambat, mereka akan mencoba menyingkirkanku juga. Tapi sebelum itu terjadi, aku harus melakukan sesuatu."

"Dan sekarang kau di sini," kata Hendra, suaranya hampir berbisik. "Apa rencanamu selanjutnya?"

Karim terdiam sejenak, matanya menatap jauh, seolah mencoba mencari jawaban yang selama ini ia pendam. "Aku tidak tahu, Hendra. Tapi yang jelas, kita tidak bisa membiarkan mereka menang. Kebenaran harus terungkap, apa pun yang terjadi."

Namun, di balik kalimat penuh semangat itu, Hendra merasakan sesuatu yang lain---ketidakpastian. Bagaimana mereka bisa melawan konspirasi sebesar ini? Apa yang bisa dilakukan dua orang tahanan di dalam penjara, melawan kekuatan yang begitu besar dan tersembunyi?

Dan yang lebih penting, siapa sebenarnya orang-orang di balik konspirasi ini? Siapa yang mengendalikan semuanya dari balik bayang-bayang?

Pertanyaan-pertanyaan itu menghantui Hendra, menutup percakapan mereka pagi itu dengan keheningan yang berat. Hendra tahu, pertempuran belum selesai. Tapi seberapa jauh ia bisa bertahan? Apakah kebenaran yang ia cari benar-benar bisa diungkap? Atau apakah ia akan selamanya terkubur dalam gelap, terjebak di dalam permainan yang terlalu besar untuk ia pahami?

Semua itu terus berputar di benaknya, sementara dunia di luar penjara tampak semakin jauh dari jangkauannya...

---bersambung

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun