Mohon tunggu...
Beryn Imtihan
Beryn Imtihan Mohon Tunggu... Konsultan - Penikmat Kopi

Beryn, lahir di Pulau Seribu Masjid, saat ini mengabdi pada desa sebagai TPP BPSDM Kementerian Desa dengan posisi sebagai TAPM Kabupaten. Sebelumnya, ia aktif mengajar di beberapa perguruan tinggi. Beryn memiliki minat pada isu sosial, budaya, dan filsafat Islam. Saat kuliah, Beryn pernah mencoba berbagai aktivitas umumnya seperti berorganisasi, bermain musik, hingga mendaki gunung, meskipun begitu satu-satunya hal yang selalu menarik perhatiannya adalah menikmati secangkir kopi.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Tagging Asal-asalan, Gaji Perangkat Dimasukkan ke Desa Tanpa Kelaparan

24 Oktober 2024   17:48 Diperbarui: 25 Oktober 2024   09:06 401
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tulisan ini merupakan versi lama dengan beberapa pembaruan. Disajikan sebagai bentuk otokritik semata.

----------

Pendataan Sustainable Development Goals (SDGs) Desa yang digadang-gadang menjadi langkah besar dalam mempercepat pembangunan di tingkat desa, telah menemui banyak tantangan yang sulit diatasi. Salah satu masalah serius yang muncul dalam proses penginputan data adalah praktik tagging atau pengklasifikasian data yang dilakukan secara sembarangan. 

Ironisnya, saat monitoring perencanaan desa ke beberapa desa, gaji perangkat desa, yang jelas-jelas masuk dalam kategori belanja rutin, malah dimasukkan ke dalam kategori "Desa Tanpa Kelaparan" – salah satu tujuan SDGs Desa yang seharusnya berfokus pada menghapus kemiskinan dan meningkatkan akses pangan.

Ini bukan hanya kesalahan teknis, tetapi cerminan dari kurangnya pemahaman yang mendalam mengenai pentingnya pengelolaan data berbasis SDGs Desa. Bagaimana bisa gaji perangkat desa, yang seharusnya ditempatkan dalam kategori pengeluaran administrasi, diposisikan dalam prioritas pembangunan seperti penghapusan kelaparan? Kejadian ini memperlihatkan bahwa kesadaran dan pemahaman terkait pengimplementasian SDGs di tingkat desa masih sangat rendah.

Mengapa Tagging Asal-Asalan Terjadi?

Salah satu penyebab utama adalah kurangnya pendampingan dan edukasi yang memadai terkait SDGs Desa, baik kepada pendamping desa maupun perangkat desa.

 Meskipun SDGs Desa diatur dalam Permendesa PDTT Nomor 21 Tahun 2020, kenyataannya, masih banyak perangkat desa dan pendamping desa yang belum sepenuhnya memahami bagaimana menggunakan data yang telah mereka kumpulkan secara efektif. Padahal, data SDGs Desa diharapkan dapat menjadi landasan untuk menyusun perencanaan pembangunan desa yang lebih tepat sasaran.

Dalam praktiknya, penginputan data ke dalam dashboard SDGs Desa sering kali dilakukan dengan tergesa-gesa, dan minimnya panduan yang jelas memicu kesalahan dalam klasifikasi. Proses pendataan yang tadinya diharapkan berjalan lancar malah berubah menjadi ajang kebingungan di mana data yang seharusnya dikategorikan dalam pengeluaran rutin justru masuk dalam kategori-kategori yang tidak sesuai.

Pengklasifikasian yang sembarangan ini tidak hanya merusak validitas data yang dikumpulkan, tetapi juga berpotensi merugikan desa dalam jangka panjang. Karena setiap kategori data SDGs Desa berkaitan dengan tujuan-tujuan pembangunan yang berbeda, kesalahan seperti ini dapat mengganggu perencanaan pembangunan desa yang lebih luas.

Ketidakpedulian pada Tingkat TPP

Masalah lain yang tak kalah penting adalah ketidakpedulian teknis yang terjadi di tingkat Tenaga Pendamping Profesional (TPP). Secara struktural, pendamping desa di tingkat provinsi hingga desa memiliki peran penting dalam memastikan kelancaran dan ketepatan pengumpulan data SDGs Desa. 

Namun kenyataannya, banyak di antara mereka yang tidak peduli atau bahkan tidak memahami fungsi dari data ini. SDGs Desa seolah dianggap sebagai beban administratif tambahan, dan bukan sebagai alat strategis untuk pembangunan desa yang berkelanjutan.

Konsultasi dengan atasan yang diharapkan dapat membantu menyelesaikan masalah teknis ini sering kali berujung nihil.

Para pendamping desa, khususnya di tingkat lapangan, akhirnya terpaksa mencari solusi sendiri untuk memperbaiki kesalahan tagging dan penginputan data tanpa bantuan yang memadai dari pimpinan yang lebih tinggi. Hal ini menunjukkan betapa minimnya koordinasi yang ada dalam pengelolaan SDGs Desa di banyak daerah.

Lebih parah lagi, ada laporan bahwa banyak pendamping desa yang melakukan tagging secara sembarangan karena kurangnya pelatihan khusus terkait SDGs Desa. Beberapa desa bahkan menggunakan gaji perangkat desa untuk ditagging dalam kategori "Desa Tanpa Kelaparan," hanya karena mereka tidak memahami bagaimana seharusnya anggaran dibagi dan dipetakan dalam kerangka SDGs. 

Mungkin di pikiran mereka, dengan gaji tersebut, perangkat desa bisa memenuhi kebutuhan pangan mereka dan terhindar dari kelaparan. Namun, pemikiran ini jelas tidak mencerminkan pemahaman yang tepat tentang apa yang dimaksud dengan tujuan "Desa Tanpa Kelaparan."

Kurangnya Pemahaman Tupoksi SDGs Desa

Salah satu tugas utama pendamping desa adalah mendampingi desa dalam pemutakhiran data SDGs Desa. Namun kenyataannya, banyak pendamping desa yang tidak memiliki pemahaman mendalam tentang SDGs, meskipun itu termasuk dalam tugas pokok dan fungsinya (tupoksi). Hal ini menambah kompleksitas masalah dalam pelaksanaan SDGs Desa di lapangan.

Pendamping yang peduli akhirnya berinisiatif membentuk komunitas mandiri untuk belajar bersama melalui grup-grup diskusi informal seperti grup WhatsApp "Pegiat SDGs Desa." 

Mereka berusaha saling berbagi informasi dan strategi terbaik untuk melaksanakan tugas pemutakhiran data SDGs secara lebih baik. Inisiatif ini patut diapresiasi, tetapi pada saat yang sama, ini menunjukkan lemahnya dukungan struktural dari tingkat atas.

Padahal, data SDGs Desa bukan sekadar angka yang dikumpulkan untuk memenuhi target administratif. Data ini menjadi dasar bagi perencanaan pembangunan desa yang lebih baik dan berkelanjutan. Ketika pendamping desa dan perangkat desa tidak memiliki pengetahuan yang cukup tentang bagaimana menggunakan data ini, dampaknya sangat merugikan. 

Desa bisa salah dalam menentukan prioritas pembangunan, anggaran bisa tersalurkan dengan tidak tepat, dan yang paling parah, potensi desa untuk berkembang bisa terhambat.

Menteri yang Baru Harus Bertindak!

Dengan pergantian kepemimpinan di Kementerian Desa, diharapkan ada perubahan nyata dalam implementasi SDGs Desa. Menteri yang baru harus menyadari bahwa masalah ini bukan hanya persoalan teknis, tetapi juga persoalan mendasar dalam hal pemahaman dan komitmen terhadap SDGs Desa.

Pertama, diperlukan evaluasi menyeluruh tentang kinerja TPP di berbagai tingkatan. Mereka yang tidak memiliki kepedulian atau kemampuan dalam mendukung implementasi SDGs Desa perlu diberikan pelatihan ulang atau bahkan diganti dengan tenaga yang lebih kompeten. SDGs Desa adalah program penting yang tidak boleh dijadikan sekadar formalitas.

Kedua, Kementerian Desa harus memperkuat pelatihan dan edukasi tentang SDGs Desa, terutama bagi perangkat desa dan pendamping desa. Ini tidak bisa hanya berupa pelatihan satu kali, tetapi perlu diadakan secara berkelanjutan agar semua pihak yang terlibat benar-benar memahami pentingnya data SDGs dan bagaimana cara menggunakannya secara tepat.

Ketiga, perlu ada perbaikan dalam sistem penginputan data SDGs Desa. Dashboard yang sering kali bermasalah harus segera diperbaiki agar data dapat diakses dan diinput secara efisien. Kegagalan teknologi dalam hal ini bukanlah alasan yang bisa diterima, mengingat pentingnya data ini bagi perencanaan pembangunan.

Kesimpulan

Tagging asal-asalan seperti memasukkan gaji perangkat desa dalam kategori "Desa Tanpa Kelaparan" bukan hanya mencerminkan kurangnya pemahaman teknis, tetapi juga mencerminkan lemahnya komitmen terhadap SDGs Desa. 

Perangkat desa, pendamping, dan pemerintah harus bekerja lebih serius untuk memastikan bahwa data yang dikumpulkan sesuai dengan kategori yang benar dan dapat digunakan untuk mempercepat pembangunan desa. 

Menteri yang baru memiliki tugas besar untuk membenahi masalah ini dan memastikan bahwa SDGs Desa benar-benar bisa menjadi alat yang efektif dalam mencapai pembangunan berkelanjutan.

Tulisan ini merupakan refleksi dari pengalaman saya sebelumnya, dengan sedikit pembaruan. Ini juga menjadi bentuk otokritik, mengingat perlunya peningkatan kesadaran dan pemahaman di kalangan semua pihak terkait. 

Kita tidak boleh lagi menganggap enteng peran dan fungsi data SDGs Desa. Hanya dengan pemahaman yang baik dan kolaborasi yang kuat, kita bisa mencapai tujuan pembangunan yang berkelanjutan dan nyata di tingkat desa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun