Namun kenyataannya, banyak di antara mereka yang tidak peduli atau bahkan tidak memahami fungsi dari data ini. SDGs Desa seolah dianggap sebagai beban administratif tambahan, dan bukan sebagai alat strategis untuk pembangunan desa yang berkelanjutan.
Konsultasi dengan atasan yang diharapkan dapat membantu menyelesaikan masalah teknis ini sering kali berujung nihil.
Para pendamping desa, khususnya di tingkat lapangan, akhirnya terpaksa mencari solusi sendiri untuk memperbaiki kesalahan tagging dan penginputan data tanpa bantuan yang memadai dari pimpinan yang lebih tinggi. Hal ini menunjukkan betapa minimnya koordinasi yang ada dalam pengelolaan SDGs Desa di banyak daerah.
Lebih parah lagi, ada laporan bahwa banyak pendamping desa yang melakukan tagging secara sembarangan karena kurangnya pelatihan khusus terkait SDGs Desa. Beberapa desa bahkan menggunakan gaji perangkat desa untuk ditagging dalam kategori "Desa Tanpa Kelaparan," hanya karena mereka tidak memahami bagaimana seharusnya anggaran dibagi dan dipetakan dalam kerangka SDGs.Â
Mungkin di pikiran mereka, dengan gaji tersebut, perangkat desa bisa memenuhi kebutuhan pangan mereka dan terhindar dari kelaparan. Namun, pemikiran ini jelas tidak mencerminkan pemahaman yang tepat tentang apa yang dimaksud dengan tujuan "Desa Tanpa Kelaparan."
Kurangnya Pemahaman Tupoksi SDGs Desa
Salah satu tugas utama pendamping desa adalah mendampingi desa dalam pemutakhiran data SDGs Desa. Namun kenyataannya, banyak pendamping desa yang tidak memiliki pemahaman mendalam tentang SDGs, meskipun itu termasuk dalam tugas pokok dan fungsinya (tupoksi). Hal ini menambah kompleksitas masalah dalam pelaksanaan SDGs Desa di lapangan.
Pendamping yang peduli akhirnya berinisiatif membentuk komunitas mandiri untuk belajar bersama melalui grup-grup diskusi informal seperti grup WhatsApp "Pegiat SDGs Desa."Â
Mereka berusaha saling berbagi informasi dan strategi terbaik untuk melaksanakan tugas pemutakhiran data SDGs secara lebih baik. Inisiatif ini patut diapresiasi, tetapi pada saat yang sama, ini menunjukkan lemahnya dukungan struktural dari tingkat atas.
Padahal, data SDGs Desa bukan sekadar angka yang dikumpulkan untuk memenuhi target administratif. Data ini menjadi dasar bagi perencanaan pembangunan desa yang lebih baik dan berkelanjutan. Ketika pendamping desa dan perangkat desa tidak memiliki pengetahuan yang cukup tentang bagaimana menggunakan data ini, dampaknya sangat merugikan.Â
Desa bisa salah dalam menentukan prioritas pembangunan, anggaran bisa tersalurkan dengan tidak tepat, dan yang paling parah, potensi desa untuk berkembang bisa terhambat.
Menteri yang Baru Harus Bertindak!
Dengan pergantian kepemimpinan di Kementerian Desa, diharapkan ada perubahan nyata dalam implementasi SDGs Desa. Menteri yang baru harus menyadari bahwa masalah ini bukan hanya persoalan teknis, tetapi juga persoalan mendasar dalam hal pemahaman dan komitmen terhadap SDGs Desa.
Pertama, diperlukan evaluasi menyeluruh tentang kinerja TPP di berbagai tingkatan. Mereka yang tidak memiliki kepedulian atau kemampuan dalam mendukung implementasi SDGs Desa perlu diberikan pelatihan ulang atau bahkan diganti dengan tenaga yang lebih kompeten. SDGs Desa adalah program penting yang tidak boleh dijadikan sekadar formalitas.