Matahari pagi bersinar lembut di langit pesantren, menyinari dinding-dinding yang kokoh dan halaman luas yang dihiasi pepohonan rindang. Di bawah naungan masjid, para santri mulai beraktivitas—mereka belajar dan menjalani rutinitas dengan semangat. Namun di balik kedamaian yang nampak, ada sesuatu yang mengganggu hati Azmi, seorang santri senior yang telah empat tahun menuntut ilmu di pesantren ini.
Azmi selalu bangun lebih pagi dibanding santri lainnya. Selain menjalankan tahajjud dan dzikir, ia senang memperhatikan lingkungan sekitarnya—berjalan-jalan kecil menuju warung-warung di luar pesantren. Warung-warung itu selalu ramai setiap pagi, menjajakan makanan untuk para santri yang mungkin bosan dengan menu di dapur pesantren.
Namun, akhir-akhir ini, sesuatu berubah. Harga makanan di warung-warung itu semakin tinggi, dan kualitasnya semakin menurun. Jajan yang biasanya segar dan murah kini terasa hambar dan mahal. Banyak santri mengeluh, tetapi mereka tetap membeli, karena tidak punya pilihan lain.
Azmi mendengar desas-desus bahwa sewa tempat di sekitar pesantren kini melambung tinggi, dan beberapa pedagang bahkan dilarang berjualan, kecuali mereka membayar "upeti" kepada oknum tertentu di pesantren. Orang-orang ini mengklaim diri mereka sebagai pengurus yang memiliki wewenang menentukan siapa yang boleh berjualan dan siapa yang tidak. Ini semua dilakukan tanpa sepengetahuan Tuan Guru, sosok pemimpin pesantren yang sangat dihormati oleh para santri dan masyarakat sekitar.
Ketidakadilan ini bukan hanya menggerogoti ekonomi para pedagang, tetapi juga mengikis kepercayaan masyarakat terhadap pesantren. Azmi tak tahan lagi. Pagi itu, setelah selesai belajar kitab, ia memutuskan berbicara dengan salah satu pedagang yang ia kenal baik, Pak Mansur. Pak Mansur adalah penjual nasi bungkus yang setia membuka lapaknya sejak subuh hingga malam. Namun belakangan, ia tampak lebih murung, dan lapaknya tak seramai dulu.
"Pak Mansur, kenapa harga-harga di sini semakin mahal? Banyak santri mengeluh, tapi kami tetap membeli karena tak ada pilihan," tanya Azmi dengan nada prihatin.
Pak Mansur tersenyum pahit, mengusap keringat di dahinya yang mulai menua. "Nak Azmi, kami tidak ingin menjual mahal. Tapi apa daya, sewa tempat ini terus naik. Jika kami tak sanggup membayar, kami disuruh pergi. Kami hanya bisa pasrah."
Azmi tertegun. "Siapa yang menaikkan sewa, Pak? Apakah Tuan Guru tahu soal ini?"
Pak Mansur menggeleng pelan. "Tuan Guru tak tahu apa-apa. Ada beberapa oknum yang menguasai lahan di sekitar pesantren. Mereka mengambil keuntungan dari kami, para pedagang kecil. Jika tak sanggup bayar, kami harus tutup."
Kata-kata itu menghantam hati Azmi. Bagaimana mungkin, di tempat yang seharusnya menjadi oase kebaikan, tempat belajar agama dan menebar rahmat, terjadi ketidakadilan seperti ini? Ia merasa terpanggil melakukan sesuatu.
Malam itu, Azmi duduk merenung di kamar asramanya. Suara azan isya berkumandang dari masjid, namun pikirannya masih terpaku pada percakapan dengan Pak Mansur. Ia sadar bahwa ini bukan hanya masalah harga makanan, tetapi masalah prinsip dan keadilan. Bagaimana mungkin pesantren yang didirikan untuk mendidik santri menjadi manusia berakhlak mulia membiarkan praktik seperti ini terjadi di depan mata?
Esok paginya, Azmi mengumpulkan beberapa santri senior yang ia percaya untuk berdiskusi. Mereka berbincang panjang lebar tentang kondisi warung-warung di sekitar pesantren dan pengaruhnya pada kehidupan para santri. Semua sepakat bahwa tindakan ini tidak bisa dibiarkan.
"Kita harus bertindak, tapi dengan cara yang baik. Kita tak bisa langsung menuduh siapa pun, tapi kita bisa berbicara dengan Tuan Guru," kata Azmi mantap.
Para santri mengangguk setuju. Mereka merasa bahwa pesantren ini harus tetap menjadi tempat yang adil, tempat di mana para santri dan masyarakat sekitar bisa hidup harmonis tanpa ada monopoli dari segelintir orang.
Hari itu, setelah salat dzuhur, Azmi bersama beberapa santri lainnya menghadap Tuan Guru di rumah beliau. Rumah sederhana dengan kebun kecil di halamannya selalu menjadi tempat yang penuh ketenangan. Tuan Guru, dengan wajah teduhnya, menerima mereka dengan senyum hangat.
"Bagaimana kabar kalian, anak-anak?" tanya Tuan Guru dengan lembut.
Azmi mewakili teman-temannya, membuka percakapan dengan hati-hati. Ia menceritakan tentang keluhan para santri, tentang kenaikan harga makanan di warung-warung, dan bagaimana beberapa pedagang dilarang berjualan jika tidak membayar biaya yang tidak jelas.
Tuan Guru terdiam, wajahnya tampak berubah. Beliau mendengarkan setiap kata dengan seksama, dan ketika Azmi selesai, beliau menundukkan kepala sejenak.
"Anak-anak, saya sungguh tidak mengetahui hal ini," ucap Tuan Guru dengan suara rendah namun tegas. "Pesantren ini didirikan untuk menciptakan kebaikan, bukan untuk merugikan orang lain. Jika benar ada yang memanfaatkan pesantren ini untuk keuntungan pribadi, maka itu harus segera dihentikan."
Tuan Guru kemudian memanggil beberapa pengurus pesantren untuk berdiskusi lebih lanjut. Beliau menegaskan bahwa pesantren harus tetap menjadi tempat yang adil, bukan hanya untuk para santri, tapi juga untuk masyarakat sekitar. Tindakan cepat diambil—Tuan Guru memastikan bahwa para pedagang di sekitar pesantren bisa berjualan dengan tenang tanpa harus dibebani biaya tambahan yang tak wajar.
Namun, perjuangan belum berakhir. Beberapa oknum yang sebelumnya melakukan monopoli tidak tinggal diam. Mereka mulai menyebarkan rumor bahwa Azmi dan santri lainnya adalah pengganggu yang ingin merusak citra pesantren. Mereka berusaha mempermalukan para pedagang yang bersuara, bahkan ada yang berani mengancam agar mereka tidak lagi menjual dagangan di depan pesantren.
Pak Mansur menceritakan kepada Azmi bahwa ia pernah ditelepon oleh salah satu oknum yang mengatakan bahwa jika ia tidak membayar sewa yang diminta, ia akan kehilangan tempatnya berjualan. "Mereka mengatakan ini demi ketertiban pesantren, tetapi faktanya hanya untuk keuntungan mereka sendiri," keluh Pak Mansur.
Azmi tak bisa membiarkan ketidakadilan ini berlanjut. Ia dan beberapa santri lainnya berkumpul kembali, berdiskusi tentang langkah selanjutnya. "Kita harus mengumpulkan lebih banyak suara. Kita perlu menjelaskan kepada masyarakat bahwa ini bukanlah kebijakan dari Tuan Guru, tetapi ulah oknum yang ingin meraih keuntungan," ujar Azmi bersemangat.
Mereka pun merencanakan sebuah acara, di mana para santri dan masyarakat diundang berdialog. Acara ini bertujuan mendiskusikan kondisi yang terjadi dan mencari solusi bersama. Semua santri sepakat bersatu, melawan ketidakadilan dengan cara damai.
Hari yang ditunggu pun tiba. Ratusan santri dan masyarakat berkumpul di halaman pesantren. Azmi berdiri di depan, diiringi santri-satri lain, menyampaikan apa yang telah terjadi dan mengajak semua orang bersuara.
"Tuan Guru, kami sangat menghormati Anda. Namun kami juga perlu suara kami didengar. Kami tidak ingin pesantren ini menjadi tempat yang merugikan masyarakat. Mari kita bersatu menciptakan keadilan dan ketenteraman," serunya penuh semangat.
Acara itu berlangsung hangat, dan banyak yang memberikan pendapat. Tuan Guru pun hadir, mendengarkan semua keluhan dan harapan dari santri serta masyarakat. Dalam suasana penuh keakraban itu, Tuan Guru menegaskan kembali komitmennya mengatasi masalah ini. Beliau berjanji akan melakukan evaluasi terhadap semua oknum yang selama ini melakukan monopoli dan merugikan pedagang kecil.
Beberapa minggu kemudian, suasana pesantren mulai berubah. Harga makanan di warung-warung kembali normal, dan para pedagang kecil seperti Pak Mansur bisa bernapas lega. Para santri juga merasakan dampak positifnya. Mereka bisa membeli makanan dengan harga terjangkau, dan hubungan antara pesantren dengan masyarakat sekitar kembali harmonis.
Azmi merasa lega. Hari Santri kali ini bukan hanya perayaan, tetapi juga refleksi bagi dirinya dan bagi pesantren. Ia belajar bahwa keadilan bukanlah sesuatu yang bisa dibiarkan begitu saja, apalagi di tempat yang menjadi pusat pendidikan moral dan agama. Tindakan kecil yang mereka lakukan mungkin tampak sederhana, tapi bagi para pedagang seperti Pak Mansur, itu berarti dunia.
Kini, setiap kali Azmi melewati warung Pak Mansur, ia melihat senyuman yang tulus, bukan lagi senyuman yang tersembunyi di balik kegelisahan. Dan itulah kemenangan terbesar bagi seorang santri: memperjuangkan kebenaran dengan cara yang bijak dan penuh hikmah.
Di balik dinding pesantren, tidak hanya ilmu agama yang diajarkan, tetapi juga keberanian memperjuangkan kebenaran. Pesantren, yang seharusnya menjadi tempat yang penuh dengan rahmat dan keadilan, kini lebih dari sekadar tempat belajar; ia adalah ruang mencipta perubahan yang berarti.
—————————————————
SELAMAT HARI SANTRI - 22 OKTOBER
—————————————————
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI