Mohon tunggu...
Beryn Imtihan
Beryn Imtihan Mohon Tunggu... Konsultan - Penikmat Kopi

Saat ini mengabdi pada desa. Kopi satu-satunya hal yang selalu menarik perhatiannya...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Di Balik Dinding Pesantren

21 Oktober 2024   22:35 Diperbarui: 21 Oktober 2024   23:38 148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Malam itu, Azmi duduk merenung di kamar asramanya. Suara azan isya berkumandang dari masjid, namun pikirannya masih terpaku pada percakapan dengan Pak Mansur. Ia sadar bahwa ini bukan hanya masalah harga makanan, tetapi masalah prinsip dan keadilan. Bagaimana mungkin pesantren yang didirikan untuk mendidik santri menjadi manusia berakhlak mulia membiarkan praktik seperti ini terjadi di depan mata?

Esok paginya, Azmi mengumpulkan beberapa santri senior yang ia percaya untuk berdiskusi. Mereka berbincang panjang lebar tentang kondisi warung-warung di sekitar pesantren dan pengaruhnya pada kehidupan para santri. Semua sepakat bahwa tindakan ini tidak bisa dibiarkan.

"Kita harus bertindak, tapi dengan cara yang baik. Kita tak bisa langsung menuduh siapa pun, tapi kita bisa berbicara dengan Tuan Guru," kata Azmi mantap.

Para santri mengangguk setuju. Mereka merasa bahwa pesantren ini harus tetap menjadi tempat yang adil, tempat di mana para santri dan masyarakat sekitar bisa hidup harmonis tanpa ada monopoli dari segelintir orang.

Hari itu, setelah salat dzuhur, Azmi bersama beberapa santri lainnya menghadap Tuan Guru di rumah beliau. Rumah sederhana dengan kebun kecil di halamannya selalu menjadi tempat yang penuh ketenangan. Tuan Guru, dengan wajah teduhnya, menerima mereka dengan senyum hangat.

"Bagaimana kabar kalian, anak-anak?" tanya Tuan Guru dengan lembut.

Azmi mewakili teman-temannya, membuka percakapan dengan hati-hati. Ia menceritakan tentang keluhan para santri, tentang kenaikan harga makanan di warung-warung, dan bagaimana beberapa pedagang dilarang berjualan jika tidak membayar biaya yang tidak jelas.

Tuan Guru terdiam, wajahnya tampak berubah. Beliau mendengarkan setiap kata dengan seksama, dan ketika Azmi selesai, beliau menundukkan kepala sejenak.

"Anak-anak, saya sungguh tidak mengetahui hal ini," ucap Tuan Guru dengan suara rendah namun tegas. "Pesantren ini didirikan untuk menciptakan kebaikan, bukan untuk merugikan orang lain. Jika benar ada yang memanfaatkan pesantren ini untuk keuntungan pribadi, maka itu harus segera dihentikan."

Tuan Guru kemudian memanggil beberapa pengurus pesantren untuk berdiskusi lebih lanjut. Beliau menegaskan bahwa pesantren harus tetap menjadi tempat yang adil, bukan hanya untuk para santri, tapi juga untuk masyarakat sekitar. Tindakan cepat diambil—Tuan Guru memastikan bahwa para pedagang di sekitar pesantren bisa berjualan dengan tenang tanpa harus dibebani biaya tambahan yang tak wajar.

Namun, perjuangan belum berakhir. Beberapa oknum yang sebelumnya melakukan monopoli tidak tinggal diam. Mereka mulai menyebarkan rumor bahwa Azmi dan santri lainnya adalah pengganggu yang ingin merusak citra pesantren. Mereka berusaha mempermalukan para pedagang yang bersuara, bahkan ada yang berani mengancam agar mereka tidak lagi menjual dagangan di depan pesantren.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun