---Sebelumnya Cahaya di Lingkar Kabut Bagian 1 | Bagian 2 | Bagian 3 | Bagian 4
Petugas itu tak memberi penjelasan lebih lanjut, hanya menyuruhnya bersiap. Hendra tahu bahwa ini adalah bagian dari permainan yang lebih besar. Mungkin pihak yang menjebaknya telah mengetahui bahwa ia sedang mendekati sebuah kebenaran yang bisa membongkar rekayasa jahat itu.
Malam itu, Hendra tak bisa tidur. Ia memikirkan Zaki, tentang semua pelajaran yang telah ia dapatkan, dan tentang bagaimana cara mengungkap kebenaran setelah ia bebas nanti. Tapi, kini ada tantangan baru yang menghadang. Dengan dipindahkannya ia ke penjara lain, akankah Hendra masih bisa melanjutkan perjuangannya?
Pagi itu, ketika ia hendak dipindahkan, Zaki mendekatinya untuk kali terakhir. "Jangan lupa, Hendra," bisiknya pelan. "Kebenaran selalu bisa ditemukan, asal kau tak pernah menyerah mencarinya."
Hendra mengangguk. Di hatinya, ada semangat yang masih menyala. Tapi ia tahu, jalan di depan akan semakin sulit dan penuh dengan jebakan. Langkahnya berat saat ia dibawa keluar dari penjara itu, menuju ke tempat yang lebih jauh, lebih gelap. Namun di tengah segala ketidakpastian itu, Hendra tetap berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia akan terus berjuang.
Hendra berjalan perlahan melewati lorong panjang yang pengap, dipindahkan ke lapas yang lebih suram dari sebelumnya. Setiap langkah terasa berat, tak hanya karena suasana, tetapi karena beban yang ia tanggung. Di tempat ini, segalanya terasa asing, orang-orang yang ia lihat juga berbeda, jauh lebih keras, dan penuh dengan pandangan tajam yang mengawasi setiap gerak-geriknya. Ia merasa sendirian, ditinggalkan di tempat yang jauh dari harapan.
Hari-hari berlalu tanpa banyak peristiwa penting, sampai pada suatu sore, ketika Hendra sedang duduk di pojok lapangan penjara, seorang pria bertubuh besar menghampirinya dengan senyum licik. "Hendra, ya?" tanya pria itu. Suaranya serak, dengan sorot mata yang seolah-olah mengenalnya dengan baik.
Hendra menatap pria itu penuh kebingungan. Ia merasa pernah melihat wajah itu di suatu tempat, tapi di mana? Ia mencoba mengingat, tapi ingatan masa lalu terlalu kabur.
"Kau nggak ingat aku?" Pria itu tertawa kecil, menyeringai. "Aku Burhan. Dulu kita pernah sekolah di SMP yang sama."
Hendra menatapnya dalam-dalam, berusaha keras mengingat. Nama itu terasa samar, tapi belum cukup untuk memunculkan gambaran jelas. "Burhan?" gumamnya pelan.
Burhan mengangguk sambil tertawa. "Ya, kau mungkin sudah lupa. Tapi kau pasti ingat satu hal. Mushalla sekolah. Ingat bagaimana kau kehilangan sebelah sepatumu setelah shalat zuhur? Itu aku yang mengerjai!"
Ingatan itu tiba-tiba menghantam Hendra. Ia ingat sekarang---momen di mushalla, di mana ia pernah kehilangan sebelah sepatu dan terpaksa pulang sekolah dengan sepatu berbeda. Saat itu, ia marah, tapi akhirnya semua berakhir dengan tawa. "Burhan! Ya, Tuhan... itu benar-benar kau!" seru Hendra, matanya melebar penuh keterkejutan.
Burhan mengangguk dengan senyum puas. "Ya, itu aku. Pindah setelah SMP karena orangtuaku harus kerja di kota lain. Dan lihatlah sekarang kita di sini, tempat yang... ya, sangat berbeda."
Mereka pun terlibat dalam percakapan panjang tentang masa lalu mereka. Meski hidup Burhan telah berubah drastis menjadi residivis kambuhan yang keluar masuk penjara, mereka masih bisa menemukan jejak persahabatan lama yang pernah ada. Burhan memang tak berubah banyak---tetap penuh tipu muslihat, penuh siasat, tapi kini lebih licik dan lihai karena pengalamannya selama di penjara.
"Gimana kau bisa masuk penjara?" tanya Burhan suatu sore, saat mereka duduk di bawah pohon besar di sudut lapangan. Hendra menjelaskan peristiwa fitnah yang dialaminya, tentang video rekayasa yang menghancurkan hidupnya. Burhan mendengarkan dengan serius, wajahnya tak lagi menampakkan canda.
"Video rekayasa, ya?" Burhan merenung sejenak. "Kau tahu, banyak orang di sini yang jatuh karena teknologi yang sama. Dunia sekarang memang mudah dimanipulasi, Hendra. Tapi, kalau kau punya cara untuk melawan balik... mungkin kau masih punya harapan."
Hendra terdiam, mengingat semua yang diajarkan Zaki kepadanya di lapas sebelumnya. Tapi masalahnya adalah, ia tak punya akses ke alat-alat digital, tak ada kesempatan untuk memeriksa bukti-bukti video yang menghancurkannya. Semuanya terasa mustahil di tempat ini.
Namun Burhan, dengan cara yang tak terduga, menawarkan bantuan. "Aku mungkin bukan ahli digital forensik, tapi aku tahu caranya menyelundupkan barang ke sini," kata Burhan dengan senyum penuh teka-teki. "Jika kau butuh alat atau apapun untuk membuktikan sesuatu, aku bisa carikan jalan."
Hendra menatap Burhan penuh harap. "Apa kau bisa... menyelundupkan handphone ke sini?" tanyanya hati-hati.
Burhan mengangguk perlahan, senyumnya semakin lebar. "Itu mudah. Tinggal tunggu waktu yang tepat."
Beberapa hari kemudian, Burhan benar-benar membuktikan ucapannya. Entah bagaimana caranya, ia berhasil mendapatkan sebuah handphone usang yang ia selundupkan melalui jaringan kenalannya di dalam penjara. Saat ia menyerahkan ponsel itu pada Hendra, ada secercah harapan yang kembali muncul di hati Hendra. Ini adalah kesempatan pertama yang ia miliki untuk memulai perjuangannya kembali.
Dengan bantuan handphone itu, Hendra mulai mencoba mempraktekkan semua yang diajarkan oleh Zaki. Ia menelusuri rekaman-rekaman video yang ada di ingatannya, mencoba memahami bagaimana rekayasa digital dilakukan, dan dengan alat seadanya, ia mulai mencari jalan untuk membuktikan kebenaran.
Burhan, meski bukan ahli teknologi, tetap berada di sampingnya, sesekali memberi bantuan teknis untuk mengakali batasan-batasan di penjara. Mereka berdua seperti dua sahabat lama yang terjebak dalam permainan hidup yang sama, meskipun dengan latar belakang yang sangat berbeda.
Namun, tantangan terbesar Hendra belum selesai. Sementara ia mulai memahami cara-cara untuk membuktikan bahwa video itu palsu, ada satu hal yang ia butuhkan untuk menyelesaikan perjuangannya: rekaman asli dari video yang menjebaknya. Video itu kini ada di luar penjara, di tangan pihak berwenang, dan ia tidak memiliki akses langsung untuk mendapatkannya.
"Kita harus bisa dapatkan rekaman itu, Burhan," kata Hendra suatu hari, ketika mereka tengah berdiskusi di sudut lapangan.
Burhan mengangguk, tapi wajahnya tampak penuh kekhawatiran. "Itu nggak mudah, Hendra. Rekaman seperti itu pasti disimpan dengan sangat ketat."
Hendra tahu itu. Tapi ia juga tahu bahwa tanpa rekaman asli itu, usahanya untuk membuktikan bahwa ia difitnah tak akan pernah berhasil. Semua yang dia pelajari dari Zaki, semua teknik yang sudah ia kuasai, tak akan ada gunanya jika ia tak bisa mendapatkan bukti fisik untuk dianalisis.
Namun, saat Burhan tengah mencari cara untuk bisa menyelundupkan rekaman itu ke dalam penjara, tekanan dari luar semakin kuat. Orang-orang yang dulu menjebaknya, terutama Arman dan sekutunya, tampak semakin leluasa bergerak. Hendra mendengar desas-desus bahwa ada rencana untuk menyingkirkannya secara permanen, karena mereka tahu bahwa Hendra semakin mendekati kebenaran.
Malam-malam Hendra semakin panjang, penuh dengan pikiran gelisah. Ia tahu bahwa waktunya terbatas, bahwa langkah-langkah mereka semakin dekat. Tetapi, di balik itu semua, Hendra tetap percaya bahwa kebenaran bisa ia temukan, asal ia tetap berjuang.
Saat fajar tiba, dan cahaya suram memasuki selnya, Hendra menatap keluar dari jeruji besi, bertanya-tanya kapan perjuangannya akan berakhir. Namun, di balik ketidakpastian itu, ada satu hal yang terus membakar semangatnya: keyakinan bahwa kebenaran pada akhirnya akan terungkap.
Dan di luar sana, di dunia bebas, kebenaran menanti untuk ditemukan.
-----
Beberapa bulan setelah perjuangan panjang di balik jeruji besi, tiba-tiba ada secercah harapan yang tak terduga. Pengacara yang tak pernah Hendra kenal sebelumnya datang ke lapas, memperkenalkan diri sebagai perwakilan pengadilan yang diutus untuk meninjau kembali perkaranya. Peninjauan kembali (PK) yang telah lama dia ajukan, yang sebelumnya ditolak mentah-mentah, kini tiba-tiba diterima.
Hendra, yang telah hampir kehilangan kepercayaan pada sistem hukum, terkejut sekaligus bingung. Mengapa tiba-tiba permohonannya diterima? Pengacara tersebut menjelaskan bahwa kuat dugaan ada kesalahan atau kekhilafan dalam putusan hakim sebelumnya. "Ada saksi kunci yang tidak dihadirkan dalam persidangan Anda, Hendra," kata pengacara itu dengan nada serius. "Dan ini bisa menjadi titik balik."
Hendra menatap pengacara itu penuh pertanyaan. "Saksi kunci? Siapa? Mengapa tidak dihadirkan?"
---Bersambung ke Cahaya di Lingkar Kabut Bagian 6
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H