Burhan mengangguk sambil tertawa. "Ya, kau mungkin sudah lupa. Tapi kau pasti ingat satu hal. Mushalla sekolah. Ingat bagaimana kau kehilangan sebelah sepatumu setelah shalat zuhur? Itu aku yang mengerjai!"
Ingatan itu tiba-tiba menghantam Hendra. Ia ingat sekarang---momen di mushalla, di mana ia pernah kehilangan sebelah sepatu dan terpaksa pulang sekolah dengan sepatu berbeda. Saat itu, ia marah, tapi akhirnya semua berakhir dengan tawa. "Burhan! Ya, Tuhan... itu benar-benar kau!" seru Hendra, matanya melebar penuh keterkejutan.
Burhan mengangguk dengan senyum puas. "Ya, itu aku. Pindah setelah SMP karena orangtuaku harus kerja di kota lain. Dan lihatlah sekarang kita di sini, tempat yang... ya, sangat berbeda."
Mereka pun terlibat dalam percakapan panjang tentang masa lalu mereka. Meski hidup Burhan telah berubah drastis menjadi residivis kambuhan yang keluar masuk penjara, mereka masih bisa menemukan jejak persahabatan lama yang pernah ada. Burhan memang tak berubah banyak---tetap penuh tipu muslihat, penuh siasat, tapi kini lebih licik dan lihai karena pengalamannya selama di penjara.
"Gimana kau bisa masuk penjara?" tanya Burhan suatu sore, saat mereka duduk di bawah pohon besar di sudut lapangan. Hendra menjelaskan peristiwa fitnah yang dialaminya, tentang video rekayasa yang menghancurkan hidupnya. Burhan mendengarkan dengan serius, wajahnya tak lagi menampakkan canda.
"Video rekayasa, ya?" Burhan merenung sejenak. "Kau tahu, banyak orang di sini yang jatuh karena teknologi yang sama. Dunia sekarang memang mudah dimanipulasi, Hendra. Tapi, kalau kau punya cara untuk melawan balik... mungkin kau masih punya harapan."
Hendra terdiam, mengingat semua yang diajarkan Zaki kepadanya di lapas sebelumnya. Tapi masalahnya adalah, ia tak punya akses ke alat-alat digital, tak ada kesempatan untuk memeriksa bukti-bukti video yang menghancurkannya. Semuanya terasa mustahil di tempat ini.
Namun Burhan, dengan cara yang tak terduga, menawarkan bantuan. "Aku mungkin bukan ahli digital forensik, tapi aku tahu caranya menyelundupkan barang ke sini," kata Burhan dengan senyum penuh teka-teki. "Jika kau butuh alat atau apapun untuk membuktikan sesuatu, aku bisa carikan jalan."
Hendra menatap Burhan penuh harap. "Apa kau bisa... menyelundupkan handphone ke sini?" tanyanya hati-hati.
Burhan mengangguk perlahan, senyumnya semakin lebar. "Itu mudah. Tinggal tunggu waktu yang tepat."
Beberapa hari kemudian, Burhan benar-benar membuktikan ucapannya. Entah bagaimana caranya, ia berhasil mendapatkan sebuah handphone usang yang ia selundupkan melalui jaringan kenalannya di dalam penjara. Saat ia menyerahkan ponsel itu pada Hendra, ada secercah harapan yang kembali muncul di hati Hendra. Ini adalah kesempatan pertama yang ia miliki untuk memulai perjuangannya kembali.