"Kalau Sambo mati, ya jelas aliran dana miliaran yang selama ini mengucur ke sejumlah pihak bisa terhenti. Macet. Makanya sekenario baru ini memaksa Sambo harus tetap hidup, meski tidak lagi jadi polisi. Sambo pasti sudah memegang kartu As setiap lembaga dan pejabat yang dapat aliran dana. Makanya kalau kita lihat wajahnya, Sambo itu tidak ada penyesalan," ujar Tris seolah menjadi pengamat psikologi.
"Mungkin, yang menyesalkan pihak lain yang khawatir kalau sampai Sambo mati, mereka tidak dapat kucuran dana dari bisnisnya Sambo!" sela Yus menambahi.
"Bener banget, Yus. Kali ini kamu cerdas, yang tadi kurang cerdas!" Tris kali ini menohok Yus yang sejak awal selalu berseberangan pendapat.
"Jadi, kalau kita ibaratkan sungai, aliran duitnya Sambo ini sudah mengalir sampai jauh. Seperti Sungai Musi yang punya sembilan anak sungai yang menjadi sumber kehidupan," kelakar Gus Pri membuat permisalan.
"Bukan sembilan lagi, Gus! Tapi sudah untuk persiapan sembilan keturunan Sambo, Gus! Kalau kito ni keturunan ke sepuluh jadi dak kebagian," ujar Bang Win berseloroh lagi.
Sesaat, obrolan terhenti ketika suara HP Gus Pri berbunyi. Ternyata hanya WA yang masuk. Tris, Yus, Bang Win dan lainnya menunggu Gus Pri selesai membaca WA. Tamu lain hanya sami'na wa atho'na. (mendengar dan mengikuti).
"Gus, mohon izin. Besok Gus harus kuliah subuh dan menerima setoran hafalan para santri. Kalau boleh saran, sebaiknya Gus istirahat dulu," sebuah WA dari isteri Gus Pri masuk.
"Malam ini kita ke mushola dulu. Tahajud, baru kita istirahat. Kita doakan Sambo diberikan balasan terbaik dari langit," ujar Gus Pri.
"Kok, yang terbaik, Gus? Bukan yang terburuk?!" ujar Yus.
"Terbaik dan terburuk untuk Sambo, bukan manusia yang menentukan," Gus Pri menekankan jawaban pada Yus.
"Iyo, Yus. Pacaklah Tuhan. Kito ni cuma pelaku!" ujar Bang Win menimpali sok bertauhid.