"Kan kita tidak tahu apa yang terjadi dalam perjalanan. Contohnya Ayah. Motor rusak, duit dak cukup untuk service. Akhirnya jadi gelisah kan? Itu juga pelajaran buat kita, supaya jangan terjadi pada orang lain yang kita udang ke sini," tegas isteri saya. Spontan dalam pikiran saya membenarkan.
"Ketiga, meskipun itu tidak cukup untuk menghidupi yang bersangkutan, tapi yang namanya jasa tetap harus dibayar, supaya berkah," kalimat isteri saya, kali itu seperti menggelontor begitu saja. Saya masih mendengarkan kelanjutannnya.
"Keempat, apa, Bun?" kata saya sembari berseloroh.
"Sudah itu saja!" kali itu isteri saya mengakhiri pesan hikmah dari rusaknya sepeda motor dalam perjalanan saya sore itu.
"Masih ada lagi, Bun," tambah saya.
"Apa?" kata Isteri saya penasaran.
"Dua kemacetan yang ayah alami, menjadi ruang kita untuk bersedekah. Pertama kepada penjual bensin, dan yang kedua kepada tukang bengkel," kata saya menambahi.
"Nah, kan ayah membayar dengan dua orang itu. Perama penjual bensin.Â
"Dan satu hal yang tidak bisa kita duga, jangan-jangan dengan rusaknya sepeda motor dua kali, saat pulang dan pergi, Allah sedang menghindarkan kecelakaan, yang mungkin akan menimpa Ayah dan Azriel dalam perjalanan," kata saya.
Dialog saya dan isteri sore itu, ternyata membuat saya tersadar dari kekesalan yang sering menimpa saya, saat sata dilanda kemacetan. Baik saat mengdendari sepeda motor, atau sedang naik mobil.
Boleh jadi, kekesalan serupa juga sering dirasakan oleh kita. Apakah itu berhadapan dengan kemacetan, kerusakan sepeda motor dan mobil, pecah ban, taksi yang lambat datang atau apapun bentuknya, seharunsya tidak kita hadai dengan emosi dan kemarahan.